Iblis Geryon dan Dewi Kadence |
Setiap hari selama ratusan tahun, sang Dewi mengunjungi neraka dan setiap hari itu pula Geryon mengawasi dari tempatnya bertugas, hasrat memanaskan darahnya lebih dari api kutukan di luar posnya. Seharusnya sejak awal ia tak mengamati sang Dewi, menjaga agar tatapannya terus tertuju ke bawah sepanjang waktu. Ia adalah budak dari Pangeran Kegelapan, dibuahi oleh kejahatan. Sedangkan perempuan itu seorang dewi, tercipta dari cahaya. Ia tak mungkin memiliki sang Dewi, pikir Geryon sambil mengepalkan tangan. Tak peduli betapa ia menghendaki yang sebaliknya. Lagi pula, mana mungkin sang Dewi menginginkannya. Obsesi ini... tak ada gunanya, dan tak memberinya apa-apa selain rasa putus asa. Dan, ia tak butuh rasa putus asa lebih banyak lagi. Namun, tetap saja ia mengawasi sang Dewi hari ini saat perempuan itu melayang melewati gua tandus, jemari berkuku warna koral menelusuri bebatuan bergerigi yang memisahkan bawah tanah dengan dunia kematian. Ikal-ikal keemasan tergerai di punggung yang elegan dan membingkai wajahnya yang begitu sempurna, teramat jelita, bahkan Aphrodite sendiri tak bisa menandinginya. Mata secemerlang bintang itu menyipit, warna merah merona membias di pipinya yang semulus batu pualam.
“Dinding ini retak,” ucap sang Dewi, suaranya bagai seuntai lagu di tengah-tengah desisan api di dekat sana – dan jeritan tak wajar yang selalu menyertai.
Geryon menggeleng, yakin benar ia hanya membayangkan kata-kata itu. selama berabad-abad bertemu, mereka tak pernah bertegur sapa, tak pernah sekalipun menyimpang dari rutinitas mereka.