Laman

Kamis, 28 Juli 2011

Sebuah Awal yang Salah

1 Maret 2008

Sebagai seorang wanita, seperti juga halnya diriku, tentunya wajar apabila mendambakan pendamping yang sempurna. Seorang lelaki yang rupawan, gagah, sabar, penuh pengertian dan tanggungjawab, dan tentu saja mapan. Itulah harapanku kelak kalau aku menikah nanti. Walaupun soal kemapanan bukan prioritas buatku, karena akupun sudah memiliki karir yang cukup lumayan. Dan seperti telah menjadi suratan takdirku, ternyata Tuhan mengabulkan cita-citaku. Aku dipertemukan dengan seorang lelaki sebagaimana yang kuidam-idamkan selama ini, dan kami pun menikah dengan penuh kebahagiaan.
Sebagai seorang wanita yang cukup terpelajar, tentu saja pengetahuanku mengenai hubungan suami-istri (sex) cukup memadai pula, walaupun sepanjang masa-masa pacaran, kami tak pernah melakukan hal-hal yang melampaui batas. Barulah pada saat kami menikah, segala tabu antara aku dan suamiku, segala rahasia yang terpendam, semua rasa ingin tahu yang dulu ingin menyeruak, kini telah kulanggar, kuterobos dengan cara yang sah menurut agama. Aku serasa terhanyut dalam samudera berahi yang tak bertepi, segala yang bisa aku rengkuh, aku rengkuh dengan semaksimal mungkin. Pada malam-malam yang indah bagi kami berdua itu, aku merasa menjadi wanita yang seutuhnya. Kami menjadi sepasang manusia dengan nanluri-naluri hewaniah yang satu sama lain minta dipenuhi. Aku telah memberikan yang terbaik bagi suamiku, kesucian yang selama ini selalu aku jaga dengan sebaik mungkin, dan aku juga telah memberikan pelayanan yang menurutku paling baik, sekaligus ingin merengkuh kebahagiaan duniawi bagi diriku sendiri yang selama ini hanya aku dengar dari teman-teman yang sudah married.


Sepanjang hari, selagi kami berdua masih dalam masa cuti menikah, seperti tak ada yang terlewatkan dengan cumbu-rayu yang panjang dan teramat sangat melelahkan. Dan aku benar-benar merasakan kebahagian lahir dan batin.

Begitulah perjalanan perkawinanku dengan suamiku, hingga menginjak masa 2 tahun tanpa persoalan dan pertengkaran yang berarti. Pendeknya aku terus menjaga dan memelihara api cinta ini agar tak lekas padam, begitu pula yang kurasakan pada diri suamiku.

Masa pernikahan 2 tahun bukanlah masa yang singkat, sekalipun tidak dapat dikatakan terlalu lama. Walaupun aku belum dikaruniai momongan, dan frekuensi hubungan kami sudah menurun karena berbagai kesibukan dan rutinitas, tak seperti masa-masa pengantin baru dulu, dan tak lagi menggebu-gebu, tetapi bagiku pribadi, ini bukanlah persoalan yang terlalu penting. Aku merasa sudah cukup dengan apa yang aku jalani selama ini, aku telah menerima keadaan ini dengan ikhlas sebagai sesuatu yang alamiah belaka, tanpa keinginan-keinginan untuk berbuat neko-neko. Toh walaupun tidak terlalu sering, ketika aku berhubungan dengan suamiku, aku masih bisa mereguk kebahagiaan duniawi.

Terus terang aku bukanlah seorang perempuan yang bertampang buruk. Setidaknya itu menurut suamiku. Aku tak perlu menyebutkan seperti apa kelebihanku secara fisik karena menurutku itu kurang patut. Cukuplah bagiku, pendapat dari suamiku sendiri ketika dia senantiasa mengingatkanku untuk selalu menjaga diri dan kehormatanku sewaktu bekerja. Menurutnya, aku sangat cantik, bahkan setelah menginjak tahun ke-2 perkawinan kami, di usiaku yang menapaki 29 tahun, kata suamiku aku sama sekali tak berubah secara fisik, mungkin ini karena aku belum dikasih momongan sehingga badanku tidak berubah sebagaimana sebelum menikah.
Dan akupun, tak bermaksud ge-er atau memuji-muji diri. Di kantorku, maupun di lingkunganku bekerja, tidak sedikit lelaki tampan dan berkedudukan yang menaruh hati padaku, baik itu rekan sekerja, atasan, maupun rekanan-rekanan perusahaan tempatku bekerja. Ajakan makan siang bersama dari rekanan perusahaan, nonton bareng, ngobrol lewat telepon yang bernada ngeres, dan ajakan kencan buta, sudah bukan hal yang asing lagi bagiku. Tapi semua itu tak pernah menggoyahkan hatiku. Aku selalu bisa menghindarinya dengan halus dan sopan. Karena aku selalu beranggapan bahwa kesetiaan sebagai seorang istri adalah segala-galanya bagiku. Aku sudah merasa cukup bahagia dalam perkawinanku, aku tak perlu neko-neko lagi untuk kesenangan-kesenangan sesaat, dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan merusak ketentraman rumah tangga yang telah kubina cukup lama.

Setidaknya itulah pandanganku mengenai kesetiaan dan kebahagiaan dalam mengarungi bahtera rumah tangga, sampai pada suatu titik dimana aku ternyata tidak mampu mempertahankan prinsipku dikarenakan oleh suatu sebab yang sebenarnya sangat sepele dan sangat tidak bermartabat….

##########################

Pada suatu hari aku berkesempatan mengunjungi orangtuaku yang sebenarnya masih satu kota denganku. Aku datang ke sana sendirian karena suamiku harus mengurusi pekerjaannya ke luar kota. Sebenarnya walaupun tinggal di satu kota, aku tergolong jarang bertandang ke rumah orangtuaku karena kesibukanku. Rata-rata aku hanya berkunjung sebulan sekali. Entah mengapa saat itu di rumah orangtuaku terlihat sepi, tak terlihat tamu-tamu yang biasanya menjadikan rumah orangtuaku sebagai pangkalan pertemuan, maklumlah orangtuaku adalah salah satu sesepuh partai besar di negeri ini. Jadi agak terasa janggal melihat suasana rumah begitu sepi, karena biasanya tamu-tamu ayahku selalu datang silih berganti seperti tak mengenal waktu.

Saat itu di rumah hanya ada ayah-ibuku, Mbak Erni kakak kandungku, dan Pak Siraj yang menjadi tukang pijat ayahku sekaligus penasehat spiritual ayahku sejak aku SMA dulu. Aku pun nimbrung dan ngobrol-ngobrol dengan mereka semua. Sesekali kulihat ayahku yang meringis kesakitan karena telapak kakinya di-refleksi oleh P. Siraj.

Ayahku sudah cukup lama mengidap diabet, bahkan sering keluar-masuk rumah sakit kalau gula darahnya melonjak di atas normal, tidak jarang pula ayahku harus menjalani terapi insulin karena pankreasnya sudah kurang berfungsi. Tetapi entah kenapa dia masih tak percaya dengan pengobatan medis dan lebih memilih pengobatan alternatif. Untuk satu hal itu dia mempercayakan ke P. Siraj yang setahuku sudah jadi langganan keluargaku sejak lama sekali. Adapun P. Siraj sendiri setahuku hanyalah tukang pijit biasa yang tak punya kelebihan supranatural seperti yang sering dibicarakan keluargaku. Umurnya sekitar 67-an, kulit gelap, kurus tinggi. Penampilan khasnya yang sejak dulu tak pernah berubah adalah dia selalu berbaju safari pemberian ayah, berpeci hitam, bersarung gelap yang sudah pudar warnanya, dan selalu berkacamata tebal. Sejauh aku mengenalnya, aku tak pernah bicara dengannya walaupun sudah kenal lama. Hanya saja pada pertemuan kali ini, aku bisa melihat sesekali ia mencuri-curi pandang ke arahku. Sambil memijat telapak kaki ayahku, mulutnya tak henti mengisap rokok kretek yang menebarkan bau khas tembako yang terbakar. Sering kali aku pergoki sudut matanya menatap ke arahku dengan pandangan yang sulit kutebak maknanya. Aku selalu memalingkan muka, berpura-pura tak tahu kalau sedang menatapku, dan aku juga tak merasa perlu berbasa-basi dengannya karena kurasa memang kurang perlu.

Di tengah keasyikan aku berbincang ngobrol-ngobrol dengan ayah-ibuku dan Mbak Erni, tiba-tiba Ibuku menawari aku untuk diterapi / dipijat P. Siraj. Katanya, dia dan Mbak Erni juga baru saja selesai dipijat.
“Coba kamu dipijat Wi, biar kamu tahu apa penyakitmu. Siapa tahu P. Siraj bisa bantu kamu mengetahui masalah kandunganmu..”

Aku cuma tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. “Engga perlu Bu, aku ga ada masalah kok,” tolakku dengan halus. “Lagian aku ke sini cuma sebentar, rumah lagi kosong, ngga enak ditinggal lama-lama.” Aku mencoba memperhalus penolakanku. Tapi alasanku ditimpali rajukan Mbak Erni, “Ayolah Wi, nggak ada salahnya kan kamu coba, siapa tahu ada gangguan yang lain..” cerocos Mbak Erni mencoba membujukku. Aku tetap menggeleng. Aku memang enggan pijat, apalagi dipijat oleh laki-laki. Untuk menghindari bujukan mereka aku segera berdiri dan pamitan. Tapi di luar dugaanku, ayahku menyela, “Wi, kamu sekarang pijat dululah. Siapa tahu ada yang salah dengan kesehatanmu. Bapak sudah merasakan khasiatnya kok. Buktinya sekarang gula darah Bapak ngga pernah naik-naik lagi,” kata ayahku mencoba meyakinkan. Akhirnya dengan perasaan segan aku pun menyetujui permintaan ayahku karena sedari dulu aku memang paling segan menolak kalau ayahku sudah meminta, sementara secara sepintas aku melihat P. Siraj hanya tenang-tenang saja mendengarkan perdebatan kami, mungkin dia merasa tak enak juga kalau aku bersedia dipijat karena dipaksa.

“Di kamar Ibu saja, Wi,” saran Ibuku. Mbak Erni mendukung saran Ibuku. ” Iya Wi, tadi tempatnya sudah kurapikan lagi kok.” Mau tak mau dengan perasaan enggan aku pun masuk ke kamar ibuku yang tempatnya tak jauh dari ruang tamu, sementara P. Siraj membuntuti langkahku dari belakang.

Sesampai di dalam kamar ibuku, aku membiarkan pintu tetap terbuka sementara aku langsung tengkurap di ranjang. Tetapi di luar dugaan P. Siraj menyuruhku berganti baju dulu.

“Maaf Jeng, saran saya, sebaiknya Jeng Dewi pake sarung atau kain saja, supaya mudah memijatnya,” katanya.

Puh! Tentu saja aku keberatan, berarti aku bakalan setengah telanjang dong di depan dia. Wajahku yang mendadak berubah kesal langsung tertangkap mata lelaki tua itu. Tetapi tampaknya dia memahami keenggananku. Dengan sopan dia mencoba memberi pengertian yang sebenarnya aku sudah tahu. “Jeng Dewi, sampeyan mungkin sudah tahu kalau busana yang ketat memang kurang baik untuk kesehatan, apalagi celana semacam itu,” katanya sambil memandang celana jins ketatku. “Kalau saya pijat seperti itu, nanti hasilnya malah kurang baik, soalnya mengganggu peredaran darah,” katanya memberi alasan. Lagi-lagi aku terpaksa kehabisan akal untuk menolak bujukan orang tua ini. Aku terpaksa bergegas membuka-buka lemari ibuku, mencari-cari kain atau sarung. Setelah aku temukan kain sarung ibuku yang masih belum sempat terpakai, aku segera membawanya ke dalam kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur orang-tuaku. Terpaksalah aku tanggalkan kaus oblongku, celana jins ketatku, tinggallah bh dan celana dalamku yang keduanya berwarna krem. Aku segera memakai sarung untuk kujadikan kemben. Dan mungkin agak terlalu pendek karena sarung yang kupakai hanya menutupi bagian dadaku sampai sedikit di atas pahaku. Namun sebelum keluar dari kamar mandi entah kenapa aku tergerak untuk berkaca di depan cermin besar yang ada di dalam kamar mandi itu. Aku terhenyak. Entah mengapa, tiba-tiba aku merinding memandangi pantulan tubuhku sendiri yang masih nampak sangat sempurna. Apakah cermin ini yang salah??? Mendadak hatiku dipenuhi perasaan aneh yang tak pernah kualami sebelumnya. Suatu perasaan yang sangtat sukar kulukiskan dengan kata-kata… Aku terpesona dengan kesempuranaan tubuhku sendiri… aku merasa sangat sexy dengan penutup kemben ini. Tetapi aku berusaha menepis perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar ini, dan aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi hanya untuk mengagumi diri sendiri.

Sesaat aku merasa ragu-ragu untuk keluar dari kamar mandi dengan busana seperti ini. Karena sejujurnya aku merasa malu kalau harus tampil dengan busana minim ini di depan orang lain selain suamiku. Tetapi serasa ada dorongan yang demikian kuat yang mengalahkan perasaan maluku, sehingga akhirnya aku hanya bisa menyerah pada keberanian dan keinginantahuan aneh yang tiba-tiba menyeruak dari dalam hatiku.

Dan benar saja dugaanku. Sekeluarku dari kamar mandi, sekalipun dengan gerakan yang beringsut menutupi “keterbukaanku”, aku melihat P. Siraj memandangiku dengan ternganga… matanya seakan melompat… dan jakunnya bergerak-gerak seakan-akan menelan ludahnya sendiri. Aduh… betapa malunya aku dipandangi orang tua ini. Walaupun hanya sesaat, aku bisa merasakan ketakjuban luar biasa dari orang tua ini… dan anehnya, ini di luar kebiasaanku, aku merasa tersanjung dan senang menerima kekaguman dari lelaki lain yang sesungguhnya hanya pantas menjadi kakek buyutku.

Sesaat aku menyadari bahwa pintu kamar ibuku telah ditutup sehingga tak bisa nampak dari luar, dan AC pendingin ruangan juga telah dinyalakan. Begitu beraninya orang tua ini melakukan sesuatu di rumah orang lain tanpa meminta ijin dari sang empunya rumah?

“Silahkan tengkurap, Jeng!” instruksi P. Siraj membuyarkan lamunanku. Dengan perasaan berdebar-debar yang tak kumengerti aku segera tengkurap di ranjang ibuku dengan tetap merapatkan kain kembenku. Aduh… mengapa hatiku jadi dag… dig…dug tak keruan begini? Belum lagi pertanyaan hatiku terjawab, aku tiba-tiba merasakan ranjang pegas ibuku bergoyang ditimpa beban tubuh P. Siraj di sampingku. Dia mengambil posisiku di sebelah kiri betisku dan mulai memegang telapak kakiku. Dan lagi-lagi aku merasakan debaran di dadaku bertambah kencang saja.

Aku merasa telapak kakiku sebelah kiri di angkatnya dan ditumpangkan ke atas kedua pahanya. Secara refleks aku berusaha merapatkan kedua pahaku agar dia tak bisa mencuri-curi pandang sela-sela pahaku. Dia membalurkan minyak yang berbau rempah di atas telapak kakiku, mungkin semacam minyak tawon yang biasa aku pakai kerokan kalau lagi masuk angin. Aku merasakan suatu tekanan yang lembut namun kuat di permukaan telapak kakiku. Sungguh aneh, aku sama sekali tak merasakan sakit atau ngilu. Sebaliknya perasaan nyaman seperti mulai menyelimuti diriku. Jika sebelumnya aku merasakan ketegangan dan perasaan malu yang teramat sangat karena harus berbusana minim di depan kakek tua ini, kini rasa tegang dan malu itu berangsur-angsur sirna. Sesekali jari-jari kakiku diurutnya juga, dan entah mengapa pijatannya seperti mengalirkan perasaan rileks pada diriku.

Sekalipun begitu aku tak berusaha menunjukkan kerelaanku ketika di”sentuh” olehnya. Aku hanya membenamkan wajahku di atas bantal karena rasa malu dan gengsi sesekali masih menyeruak dalam diriku. Ruangan dalam kamar ibuku serasa sunyi, hanya terdengar keriut pegas ranjang yang bergoyang karena gerakan tubuh P. Siraj yang sesekali mengubah posisi, kadang di sebelah kananku, lalu kembali lagi ke sebelah kiri. Hampir lima menit berlalu kami berdua tak mengucapkan kata-kata basa-basi sepatah pun. Sampai suatu ketika aku mendengar suara serak dan berat dari P. Siraj memecah kekakuan ini.

“Jeng Dewi sering kena sakit lambung?” tanya P. Siraj sambil tetap mengurut-urut telapak kakiku, kali ini yang sebelah kanan, jemarinya ditekan dalam-dalam seperti mendeteksi masalah kesehatanku. Aku hanya bisa menggerakkan kepalaku ke atas-ke bawah, membenarkan diagnosisnya. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati, mengapa tebakannya bisa tepat sekali …

“Ini ada kaitannya dengan masalah kandungan Jeng Sari,” katanya lagi. “Kenapa tidak dulu-dulu Jeng Sari periksa ke saya?”

Aku hanya diam tak menjawab. Wajahku semakin kubenamkan ke dalam bantal karena entah mengapa aku menduga P. Siraj pasti sedang memandangi bagian belakang tubuhku yang tertutup kain sarung.

Tiba-tiba tanpa permisi P. Siraj menyentuh bagian tumitku, mata kaki, betis sebelah dalam, lipatan lutut, dari kedua kakiku. Dan yang membuat aku terhenyak, dia juga menekan area perbatasan paha dan pantatku sembari berkata, “Titik-titik ini yang bermasalah dan harus segera diterapi, Jeng.”
Terus terang, sekalipun P. Siraj sudah menjelaskan seperti itu aku merasa tidak terima dengan perlakuannya yang tanpa permisi dulu itu. Tetapi alih-alih aku memprotes kelakuannya itu… yang keluar dari mulutku justru… “Sakit engga ya Pak kalau diterapi di situ?”
“Ya tergantung seberapa gangguannya. Moga-moga belum parah, Jeng, supaya lekas pulihnya, tapi tidak bisa diterapi satu kali terus langsung sembuh lho..”
Aku diam saja tak berusaha menanggapi.

Giliran kedua betisku sekarang dilumuri minyak urut, lalu diratakannya dengan mengusap-agar merata hingga aku merasakan licin sekali. Kemudian diurutnya dengan tekanan yang lembut, dari arah bawah dekat mata kaki ke atas sampai lipatan lututku. Entah mengapa aku tak merasa sakit sama sekali, sebaliknya justru aku merasa enak bercampur geli sehingga beberapa kali secara refleks aku menggelinjang menahan geli. Akibatnya kain sarungku malah tertarik ke atas akibat gerakanku. Aku berusaha membetulkannya tapi tanganku tak sampai. Aku berusaha menggapai kain sarungku agar kembali ke tempatnya semula, tetapi gerakanku yang agak tegang itu malah membuat kain sarungku makin terangkat lebih tinggi, hingga akhirnya aku terpaksa menyerah, kuputuskan untuk membiarkan saja. Aku hanya berharap semoga P. Siraj tidak berusaha mengintip lebih jauh. Entah mengapa aku merasa tegang sekali saat itu karena suatu sebab yang tidak aku pahami. Mungkin aku merasa tidak terima karena tubuhku disentuh lelaki selain suamiku, atau malah sebaliknya, aku hanya ingin mengingkari saja. Apalagi tanpa kusadari aku mulai bisa menerima dan merasa nyaman dengan pijatan pak tua ini.

Lambat-laun keteganganku berangsur-angsur sirna manakala P. Siraj semakin intens mengurut kedua betisku, terutama pada area yang tadi dikatakannya sebagai salah satu titik bermasalah. Ditambah lagi minyak urut yang dioleskan ke betisku semakin banyak, jadi makin terasa licin dan enak ketika jemari pak tua yang kasar itu meluncur di atasnya. Keadaan ini membuat aku merasa tak perlu jaga imej lagi, dan aku merasa jauh lebih rileks daripada sebelumnya. Dan silih berganti betisku yang sebelah kanan dan kiri diurutnya secara bergantian. Malahan sesudah itu kedua betisku diurutnya secara bersama-sama dari bawah ke atas dengan polesan minyak urut yang lumayan banyak.

Makin lama aku merasakan pijatan P. Siraj mulai menjalar naik ke lipatan lututku sebelah kanan dan kiri bersamaan. Entah mengapa ketika itu aku merasa geli bukan main, tetapi bukan rasa geli yang membuat orang menggeliat-geliat, sebaliknya malah menerbitkan rasa nyaman yang tak terkira. Tetapi entah mengapa tiba-tiba hatiku gelisah, tiba-tiba saja perasaan aneh yang sempat kurasakan di kamar mandi tadi menyeruak lagi bersamaan dengan pijatan-pijatan lembut yang dilakukan P. Siraj yang terkadang menyentuh paha dalamku. Aku merasa seluruh pori-pori di tubuhku meremang, dan permukaan kulitku makin sensitif karenanya. Pijatan-pijatan P. Siraj lambat-laun seakan menjalarkan sensasi-sensasi aneh dalam tubuhku, sensasi yang membuat tubuhku terkadang menggelinjang tanpa kusadari.
Hatiku semakin kebat-kebit tak keruan manakala pijatan itu mulai naik ke kedua pahaku, terlebih lagi, tanpa permisi P. Siraj menyingkap kain sarungku hingga tepat ke bawah pantatku. Dinginnya AC langsung menerpa kedua pahaku yang sekarang terbuka. Aku mendadak menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan aku menyadari bahwa P. Siraj sekarang bisa memandangi seluruh pahaku dengan leluasa. Yang lebih memalukan lagi, mungkin dia juga dapat melihat celana dalamku.

Belum apa-apa badanku tiba-tiba gemetar, padahal P. Siraj baru mengoleskan minyak urut ke permukaan kedua pahaku. Ketika dia meratakannya ke seluruh pahaku tak terkecuali paha bagian dalam, mendadak tubuhku serasa tersengat arus listrik yang membuatku menggeling tanpa kusadari. Entah sengaja atau tidak jemari P. Siraj menyentuh dan menekan pantat dan bagian dalam selangkanganku, membuat perasaan aneh dalam diriku makin menguat. Aku merasa tubuhku mulai bergejolak. Ya Tuhan… lindungilah aku…

Sesaat terbersit kesadaran bahwa aku harus berhenti… tidak… tidak… hal ini tak boleh terjadi, tak boleh diteruskan. Tetapi sebelum sempat aku menyatakan keinginanku, tiba-tiba kurasakan kedua pahaku sudah mulai diurut secara bersamaan… diurut dari lipatan lutut… bergerak naik… betapa kurasakan tangkupan telapak tangan P. Siraj yang besar lagi kasar itu yang sebelah menekan paha dalamku, dan yang sebelah lagi menekan paha luarku. Dan aku seperti tak berdaya… menanti… menunggu dengan perasaan yang tak menentu. Saat itu yang kurasakan justru tekanan jari-jari P. Siraj yang tergelincir pada paha dalamku semakin kuat..dan terus bergerak naik..perlahan… menyusup ke dalam sarung yang kukenakan dan akhirnya…

Uhh.. aku hanya bisa menggelinjang saat jemari yang kasar itu akhirnya menekan tepat di dalam lipatan pantatku… tepat pada pinggir kewanitaanku yang masih tertutup celana dalam. Tetapi hal itu sudah cukup mengalirkan getaran pada bagian tubuhku yang paling peka. Dan tanpa bisa kutahan-tahan lagi, membersitlah cairan tubuhku, membersit dari dalam kewanitaanku, meleleh membasah kepermukaan celana dalamku. Aduh aku merasa malu sekali. Mengapa bisa seperti ini? Mengapa aku jadi bergejolak hanya karena disentuh oleh lelaki tua yang seharusnya lebih pantas menjadi kakek-buyutku? Tuhan… aku semakin tak berdaya… dan semakin berulang bersitan-bersitan hangat dari dalam kewanitaanku ketika bagian selangkanganku tersentuh lagi, entah disengaja atau tidak. Aku merasakan geli yang luar biasa sekaligus sensasi yang luar biasa pula. Aku mulai kehilangan pikiran jermihku. Memang, ketika bagian selangkanganku tersentuh dengan sepenuh tekanan tidaklah mengena langsung pada syarafku yang paling peka. Tetapi ketika jemarinya yang menekan selangkanganku itu ditarik lagi dengan sepenuh tekanan ke arah bawah, betapa kurasakan bagian tubuhku yang paling peka seakan-akan seperti tertarik pula keluar. Akibatnya sungguh tak kusangka-sangka… aku belum pernah mengalami sensasi secepat dan senyaman ini ketika dengan suamiku… aku merasa jemari bapak tua ini menjalarkan sensasi yang aneh pada kewanitaanku… sekalipun aku mencoba mengingkarinya, aku tetap tak bisa mengelak bahwa saat ini aku telah benar-benar basah… suatu pertanda bahwa aku sudah siap sepenuhnya… Aduh malunya aku…

Aku serasa tak bisa menahan diri lagi ketika sentuhan pada kewanitaanku semakin sering, dan kebasahanku seakan membanjiri permukaan celana dalamku. Aku merasakan pantatku terjingkat-jingkat secara refleks, seakan-akan memberikan keleluasaan kepada pak tua ini untuk menyentuh lebih jauh. Tiba-tiba saja aku menyadari bahwa jemari P.Siraj sudah tidak hanya berhenti pada batas celana dalamku, tetapi jemari-jemari itu kurasakan tergelincir melewati pembatas celana dalamku…dan langsung menekan permukaan kewanitaanku secara langsung.

Aduh… aku kaget setengah mati, seakan tak percaya pada apa yang baru kualami. Rasa malu yang luar biasa berkelindan dalam hatiku karena pak tua ini mengetahui kebasahanku. Tetapi tak berlangsung lama, jemari itu kurasakan makin liar mengurut dari lututku..ke atas…tergelincir pada paha dalamku… semakin naik menyusup ke balik sarungku…menekan selangkanganku…. menyelusup dengan lembut batas celana dalamku… dan akhirnya berhenti pada bagian genitalku yang paling peka yang sudah sangat basah…

Tiba-tiba saja, antara percaya dan tidak, aku merasakan suatu kegelian yang hebat mulai menyemut dalam rongga panggulku, membuatku merasa melayang-layang dan cairanku tertumpah semakin banyak… aku merasakan suatu gejolak yang hebat seperti gelombang yang hendak menerjang bendungan pertahananku, aku merasa limbung… dan tak berdaya… sekalipun waktu itu aku mulai menyadari bahwa P. Siraj dengan berani dan tanpa seijinku mulai menarik karet celana dalamku sembari kurasakan jemarinya yang lain masih setia menyusup ke dalam celana dalamku, berkelindan, menekan, merabai kelenjar syarafku yang paling peka…

Uhh.. dengan tanganku aku berusaha menahan agar celana dalamku tak lepas dari tubuhku, sekalipun sensasi-sensasi yang tak keruan makin menguat memporakporandakan pertahanku… karena jemari-jemari yang nakal itu masih saja mencecar kewanitaanku silih berganti. Sampai tiba-tiba aku merasa tak sanggup lagi bertahan karena perasaanku serasa sudah mulai melayang-layang, kesadaranku mulai nanar, pandanganku kabur, sedangkan rongga dalam kewanitaanku mulai berkedut-kedut makin kuat…

Dan ketika kurasakan celana dalamku semakin melorot menjauhi pantatku…
Uhhh… tiba-tiba aku merasakan hantaman gelombang kenikmatan yang susah kulukiskan yang bersumber dari kelanjar syarafku yang paling peka… gelombang itu serasa meledak begitu saja menerjang bendungan pertahanku… membuat tubuhku bergetar dan menggelinjang tak keruan tanpa kusadari… membuat tubuhku terbang ke awang-awang… membuat selangkanganku berkedut-kedut ribuan kali, seperti memancarkan kehangatan sepanjang kewanitaanku… Aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda yang datang begitu cepat… yang belum pernah aku rasakan selama aku bercumbu dengan suamiku… kurasakan tubuhku menggeletar dengan gerakan yang tak bisa aku kontrol, sementara dalam sisa kesadaranku aku masih bisa merasakan jemari pak tua nakal itu masih terus menari di selangakanganku, sementara yang lainnya terus menarik celana dalamku…

Sesaat… aku merasakan kesadaranku pulih, setelah kurasakan keliaran jemari pak tua ini berubah menjadi ngilu pada selangkanganku. Aku malu sekali, menyadari celana dalamku telah melorot hingga ke paha… menyadari bahwa pak tua ini pasti telah menyaksikan auratku yang paling rahasia dari arah belakangku, yang paling aku jaga agar tak terjamah oleh lelaki lain selain suamiku… aku merasa sangat terhina…

Secepatnya aku menepis tangan P. Siraj yang masih ingin meneruskan aktifitasnya pada selangkanganku. Dan secepat itu pula aku segera beringsut menjauh dari tempat tidur dengan perasaan benci yang amat sangat setelah kubetulkan celana dalamku yang melorot. Kupandangi wajah P. Siraj yang melongo sambil kurapikan kain kembenku yang sudah terbuka di sana-sini, kulihat gurat-gurat ketakutan pada kedua matanya…

Kudengar P. Siraj bersuara lirih, “… kenapa Jeng? Kan belum selesai…”
Belum selesai dengkulmu, rutukku dalam hati sambil berjalan ke kamar mandi. Aku acuhkan dia dan kubuat wajahku seketus mungkin. Bagaimanapun Aku malu sekali, sangat malu, dan sangat terhina… bagaimana aku bisa membiarkan diriku terlena oleh orang tua yang buruk rupa ini? Di dalam kamar mandi tanpa kusadari tiba-tiba aku menangis, aku merasa berdosa sekali pada suamiku, dan aku berusaha membersihkan diriku sebersih-bersihnya, serasa ada noda yang menempel pada badanku, yang susah sekali kubersihkan… Entah berapa jam aku membersihkan diri dan merenung-renung. Setelah aku merasa cukup tenang dan bisa menguasai diri, dengan sangat terpaksa sekali aku memakai celana dalamku yang ternyata masih basah dan lengket-lengket…

Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat pintu kamar ibuku sudah terbuka, AC sudah mati, dan pak tua itu sudah tidak ada di kamar. Aku merasa tak punya nyali untuk melangkah lebih jauh, karena mungkin P. Siraj masih di ruang tamu. Tetapi menyadari bahwa aku sudah terlampau lama meninggalkan rumah, terpaksa aku bernaikan diri keluar dari kamar ibuku. Dan ternyata benar dugaanku, kudapati P. Siraj sedang ngobrol-ngobrol dengan ayahku, sambil merokok. Aku sempat bersirobok pandang dengannya, tetapi menyadari apa yang baru saja terjadi di kamar ibuku barusan, mendadak aku merasa malu sekali, mukaku entah mau kutaruh dimana. Aku merasakan wajahku memerah ketika kupergoki dia sedang memandangiku. Lagi-lagi aku merasa terhina. Aku hanya menunduk saja sewaktu pamitan kepada ayah dan ibuku. Mbak Erni tidak tampak di antara mereka bertiga… “Jeng Dewi, tiga hari lagi tolong ke sini lagi ya, terapinya belum selesai…” P. Siraj ternyata masih berani mencoba-coba menawarkan terapi yang tak senonoh ini, setelah dia dengan sengaja berani menjahili tubuhku. Tetapi yang membuatku sangat dipermalukan adalah aku sama sekali tidak berdaya dan tidak protes sewaktu P. Siraj berbuat jahil terhadapku, bahkan aku membiarkannya…

########################

Di rumah, perasaan bersalah terus menghantuiku hingga petang. Aku menunggu menunggu kepulangan suamiku dengan perasaan cemas tak terkira. Aku ingin segera bertemu dengannya, tetapi sekaligus aku takut. Perasaan berdosa karena telah berkhianat terhadap kepercayaan yang telah diberikan suamiku benar-benar menjadi beban, tak kusadari tiba-tiba air mataku telah melompat keluar membasahi pipiku. Ah, seandainya saja tadi siang aku bisa menolak tawaran ayahku untuk tidak pijat, saat ini pasti aku sudah bisa beristirahat dengan tenang. Tak berapa kudengar suara mobil suamiku tiba, aku merasa gemetar dan gugup. Kusambut suamiku dengan perasaan yang kacau, tetapi aku berusaha bersikap sewajarnya sehingga dia tidak curiga.

Malam itu dengan perasaan gelisah aku tak bisa menolak ketika dia meminta jatahnya padaku. Entah mengapa, malam itu dia terasa begitu tangguh, dan lama ketika mencumbuku. Sebaliknya dengan diriku, entah apa yang terjadi, aku sangat sulit untuk meresponnya dengan baik, sebaliknya aku merasa kesakitan, pedih, dan perih, sekalipun bak seorang artis aku tetap berpura-pura menikmati setiap percumbuan dengan hangat dan menggelora. Rasa perih yang kurasakan menjadi-jadi manakala suamiku bergerak lebih cepat, dan rasa sakitku tak bisa kusembunyikan lagi. Aku mengaduh… sungguh sakit rasanya. Aku merasa kering. Tetapi suamiku salah menduga, dikiranya aku malah menikmati percumbuan ini sehingga makin bersemangat saja dia. Terpaksalah kutahan-tahan penderitaanku yang seolah tak berujung itu, sampai suamiku akhirnya melepaskan hajatnya.
Aduh, aku merasa sakit, perih, dan memar sehingga aku tertaih-tatih ketika berjalan menuju kamar mandi. Kukuat-kuatkan tubuhku sebisa mungkin, hitung-hitung sebagai penebus dosa yang telah kulakukan siang tadi.

Esok hari di kantorku, aku masih saja dipenuhi rasa bersalah terhadap suamiku. Entah kenapa aku sulit sekali melupakan peristiwa kemarin. Aku masih merasa jijik dan hina dengan diriku sendiri. Dan entah sampai kapan akan kutanggung rasa ini. Tetapi setidaknya aku masih beruntung, karena aku masih bisa menguasai diri sehingga tak terjadi hal-hal yang lebih hina lagi.

Hari-hari berikutnya, sedikit demi sedikit aku mulai bisa melupakan rasa bersalahku. Dan aku berjajnji pada diriku sendiri untuk tidak sekali-kali membiarkan kebodohan ini terjadi lagi pada diriku. Sampai pada suatu hari, Kamis malam, ketika aku sedang bersantai dengan suamiku, tiba-tiba kudengar telpon rumahku berdering.

“Hallo… dengan Jeng Dewi?” kudengar suara laki-laki yang asing di telingaku, parau suaranya.
“Ya, saya sendiri, dengan siapa ini?”
“Saya Jeng Dewi, saya Siraj,”
Deg.. kaget bukan kepalang aku, darimana dia tahu nomor telponku? Dengan perasaan berdebar kudengarkan suara di telpon itu.
“Anu jeng, tadi saya disuruh Bapak mengingatkan Jeng untuk terapi lagi, kenapa siang tadi jeng Dewi tidak ke rumah Bapak?”
“Mmm… anu Pak ngga usah, terima kasih.” segera kututup gagang telponku. Perasaanku tiba-tiba berdebar dan dipenuhi rasa takut tak terkira.
“Siapa yang telpon Ma?” tanya suamiku. Dia seperti menyelidik perubahan yang terjadi pada raut mukaku.
“Bapak Pah, dia meminta aku datang, katanya kambuh lagi.” jawabku sekenanya. Terpaksalah aku berbohong supaya suamiku tidak bertanya-tanya lagi jauh.
“Ya sudah, besok kamu ke sana saja, minta ijin dulu ke bossmu.”

Tiba-tiba telpon berdering lagi, dengan gemetar kuangkat gagang telpon itu.
“Kenapa ditutup Jeng?” ternyata suara P. Siraj lagi..
“Anu Bapak, iya… maaf, saya belum bisa ke sana.”
“Kalau besok gimana?” kata P. Siraj lagi.
Mendengar aku terkesan menghindar, suamiku tiba-tiba menukas,”Ma besok kamu ke rumah Bapak, kalau perlu aku antar.”
“Ii..iya Bapak, besok saya usahakan ke sana kalau ada waktu luang,” jawabku agak panik. Gagang telpon cepat-cepat kututup agar masalah cepat selesai. Tetapi suamiku tampak tidak puas. “Kenapa Mama enggan ke rumah Bapak?” tanya suamiku.
“Anu Pah, soalnya ngga enak sama orang kantor,” kelitku.
“Kalau begitu sore saja, habis jam kantor,” kata suamiku mendesakku. Oh Tuhan, andai saja suamiku tahu apa yang telah terjadi padaku kemarin, tentu hari ini dia tak bakal ngasih ijin, mungkin aku malah akan dikurung selama-lamanya, engga boleh kerja lagi..

Malam itu aku gelisah tak bisa tidur, sedang suamiku sudah terbuai mimpi. Entah mengapa kejadian pelecehan P. Siraj kepadaku muncul lagi berseliweran di dalam benakku, membuat aku makin susah memejamkan mata. Tetapi kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Sudah tak ada lagi rasa terhina, jijik, maupun rasa bersalah yang kemarin-kemarin menghantuiku. Sebaliknya kali ini, aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam dalam diriku. Entah kenapa aku jadi teringat kembali saat-saat ketika P. Siraj menyentuh tubuhku untuk yang pertama kali, menyentuhi bagian-bagian genitalku yang paling peka, dan mengantarkanku pada kenikmatan ragawi yang berbeda, yang membuatku melayang di awang-awang. Lalu akupun jadi gemetar membayangkan peristiwa itu, aku merasa seluruh pori-pori tubuhku mengembang, aku seakan masih merasakan jari-jemari pak tua meraba-raba dan mencecar seluruh area sensitifku, hingga aku menyadari bahwa celana dalamku sudah terasa sangat lembab dan lengket…

to be continued…

By: Sari Dewi

5 Tanggapan

  1. waaahh…. bikin penasaran nih….
    keep up the good work…
  2. Wadoh… Cerita bersambung lagi… Rasanya udeh banyak deh boz yang gak tamat2…
  3. duh, kentang bgt neh… keren intronya… cenggur deh heehhee…
  4. Yg ini baru heboh, ceritanya gw banget deh.
    Terusin yah, kita tunggu niii….
  5. sip..
    coba kalau setting nya masih jaman kolonial, yang segala tetek bengek soal tabu masih kental tapi sisi liar manusianya mau banget sensasinya,
    wuah pasti masuk deh alur ceritanya….
    besok bikinin yang kayak gitu ya jeng..

1 komentar: