Laman

Jumat, 12 Agustus 2011

The Click 2: The Neighbor's Desires

14 Maret 2009

Siang ini aku tidak punya kerjaan. Tugas kuliah sih ada, tapi gampang masih ada si Nina pikirku. Nina adalah teman kuliah sekelasku sejak dari semester awal bahkan ospek dulu. Entah kenapa sering kali kami mengambil mata kuliah yang sama dan mendapatkan kelas yang sama pula. Anaknya selain ramah juga berotak encer alias cerdas. IP-nya selalu diatas rata-rata. Minimal nilai tiap mata kuliah pasti B. Sayangnya pembawaannya agak kalem. Hanya punya beberapa teman dekat saja. Termasuk aku sendiri. Sahabatnya mungkin hanya aku yang cowok. Entah mengapa aku bisa dekat padahal teman-teman yang lain tidak. Mungkin salah satunya karena dia ternyata sebenarnya enak diajak diskusi mengenai banyak hal. Karena mungkin pula sering menempuh mata kuliah yang sama jadi sering ketemu? Ah entahlah, yang jelas dia banyak membantuku dalam urusan belajar. So, aku selalu bisa lulus ujian mata kuliah yang kutempuh.

Terbayang wajahnya yang halus tanpa jerawat, sedikit tirus berkaca mata minus, tapi sebenarnya cukup cantik membuatku senyum-senyum sendiri mengingat nampaknya dia ada hati padaku. Sering kali cara dia menatap dan berbicara seolah-olah kemalu-maluan, padahal diriku bersikap santai padanya.

“Apa perlu kupacari dia?” sering aku berpikir demikian. Tapi rasanya aneh saja. Terus terang aku lebih suka gadis yang lebih aktif dan menggoda ketimbang yang aleman. Rasanya membuatku lebih hidup dan bersemangat. Dan di kampusku sendiri banyak incaran yang perlu diperhatikan. Rata-rata cantik, tajir dan berani mengenakan pakaian yang terbuka nan seksi. Dijamin gak bakalan konsentrasi kuliah, pasti bawaannya ngaceng melulu.



Lho..lho..salah! Aku harusnya mikir rencana nanti malam. Bukan berkhayal yang tidak-tidak. Memikirkan mbak Rita dan pengalamanku kemarin, membuat badanku sedikit gerah membayangkan pengalaman bercinta kami yang teramat panas itu.

Gara-gara benda ini..kutimang-timang The Click ditanganku. Entah dimana Professor Suparman sekarang. Tak kuduga bisa mewarisi alat perangsang seksual ini. Tapi ternyata enak juga, gara-gara alat ini aku bisa bercinta dengan mbak Rita si Ibu muda nan menggairahkan itu. Dan nanti malam tampaknya akan terjadi pertempuran sengit lagi antara aku dan mbak Rita.

“Hmm aku harus minum penambah energi nih biar gak KO hehe..” pikirku ngeres. Aku segera bergegas membawa perbekalan beberapa pakaian ganti. Rencanaku aku mau pamitan menginap ke rumah Professor Suparman. Sehingga memudahkan menyelinap ke rumah mbak Rita untuk bercinta.

Aku kemudian ke ruangan makan tempat mama dan adikku si Dini sedang makan siang. Kakakku mbak Sarah sepertinya keluar bersama teman-temannya entah kemana.

Aku mengatakan pada mama kalo Profesor Suparman minta tolong padaku untuk menjaga rumahnya selama dia pergi. Dan aku juga mengatakan kalo aku ingin mandiri dan juga menjaga kepercayaan yang diberikan Profesor. Mama adalah orang tuaku tunggal sejak kecelakaan papa waktu aku masih SD dulu. Dia orang yang kuhormati karena mampu membesarkan ketiga anaknya dengan berkecukupan. Selain melanjutkan perusahaan pribadi milik papa, ia juga aktif menekuni usaha jual beli perhiasan sebagai sampingan. Karena itu dia senang akan niatku untuk mandiri dan bla..bla…bla… “Nice excuses Joe.”, pikirku dalam hati.

“Boleh aja, Joe. Niat kamu kan baik. Tapi kamu juga jangan tidur sana terus, mama bisa kangen sama anak mama. Dan kalo waktunya makan, kamu pulang aja. Mama tahu kamu nggak bisa masak, jadi kamu makan disini aja.”, kata mama memberikan persetujuannya. Aku bersorak dalam hati.

“Oke, ma.”, jawabku.

“Mandiri apan tuh? Perginya cuma ke ujung gang, trus makannya masih numpang disini.”, si Dini menyeletuk sambil menyedot jus apel kesukaannya.

“Hei brengsek, udah ngambil coklat kakak, pake nyela lagi ya?!”

“Idiiih gitu aja sewot! Iya deh, kakakku yang baek, nanti Dini ganti ama coklat laen napa sih?”

“Enak aja, itu coklat mahal dari Amrik tau! Amrik!! Mana bisa ada gantinya?”

“Udah..udah jangan ribut melulu kalian ini” sergah mamaku.

“Joe kamu boleh nginap tapi jangan macam-macam disana ya?!” kata mama kemudian.

“Beres Mam!”

Aku buru-buru pamitan dan tidak lupa menghadiahi adikku sebuah jitakan ringan di jidatnya

“Kak Joe jelekkk!!!!” serunya. Tapi aku sudah kabur duluan sebelum dibalas si bengal itu.

Tak terasa sore menjelang saat aku selesai bolak-balik dari rumahku ke rumah Professor Suparman, lalu membenahi semua barang bawaanku itu di kamar tidur milik Profesor. Lalu aku pun mandi. Usai mandi aku berdandan sebentar agak tampak lebih macho. Kukenakan baju kaos oblong dan jeans favoritku. Setelah itu sebotol minuman berenergi kuhabiskan buat cadangan stamina nanti.

Menunggu hari agak gelap, dan sepi aku segera masuk ke pekarangan rumah mbak Rita.

“Ting!! Tong!!”

Tak lama pintu terbuka. Aku terkesiap memandang mahluk dihadapanku.
Rita

Mbak Rita, ia nampak cantik sekali malam ini. Hanya mengenakan daster tipis berwarna gelap yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Ia tersenyum melihatku.

“Akhirnya kamu datang juga ya jagoan” godanya padaku.

“Gimana enggak mbak, ada bidadari yang secantik mbak siapapun jadi gak tahan” balasku nakal.

“Iih sekarang kamu udah pintar ngerayu ya?” sahut mbak Rita sambil menarikku masuk ke dalam.

“Mau minum apa Joe?” tanyanya lembut.

“Apa aja deh mbak, maunya sih susunya mbak Rita..heheeh” ujarku menahan rasa malu juga.

“Iiih maunya” tersipu mbak Rita sambil menjewer telingaku.

“Aku ambilkan coke dingin aja yah, lainnya abis..” sambungnya lagi.

“Makasih mbak!”

Selanjutnya setelah ngobrol ngalur ngidul, perlahan mbak Rita mengeser duduknya hingga merapat denganku. Segera aku menyambar aroma wangi dari tubuhnya hingga membuat jantungku berdetak tidak seperti biasanya. Bahkan kemudian ia melanjutkan membuat detak jantungku semakin kencang dengan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Sesaat kemudian kusadari bibirnya dengan lembut telah melumat bibirku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku dan semakin dalam pula aroma wangi tubuhnya terhirup napasku, yang bersama tindakannya melumat bibirku, kemudian mengalir dalam urat darahku sebagai sebuah sensasi yang indah.

Ia terus melumat bibirku. Lalu tangannya pelan-pelan membuka baju kaosku. Setelah lepas, ia menarik resleting jeansku. Begitu pula yang kulakukan dengannya, kutarik dan membuka dasternya. Kemudian ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan membuka matanya.

Saat itu aku terbelalak melihat keindahan yang ada di depan mata. Payudaranya montok penuh, begitu indah dan terlihat kencang dibungkus bra hitam bepotongan pendek berenda yang membuat barang indah itu tampak semakin indah. Payudaranya seolah mengundangku untuk menaklukkannya dengan hasrat yang paling liar. Dan menengok ke bawah, aku semakin dibuat terkesan serta jantungku juga semakin berdetak kencang. Di balik celana dalam dengan potongan yang pendek yang juga berwarna hitam berenda yang indah, tersembul bukit venus yang menggairahkan. Di tepi renda celana itu, tampak rambut yang menyembul indah melengkapi keindahan yang sudah ada.

Kulihat mbak Rita juga tersenyum menatap lonjoran tegang di balik celana dalamku. Tangannya yang lembut mengelus pelan lonjoran itu. Sensasi yang menjelajahi aliran darahku kemudian menggerakkan tanganku mengelus bukit venusnya. Ia tampak memejam sesaat dengan erangan yang pelan ketika tanganku menyentuh daging kecil di tengah bukit venus itu. Ia kemudian melanjutkan tindakannya melumat bibirku dengan lembut. Bibirnya yang lembut serta napasnya yang wangi kembali membuatku dialiri sensasi yang memabukkan. Ia rupanya memang sabar dan tidak terburu-buru untuk segera menuju ke puncak kenikmatan. Berbeda sewaktu ia bercinta karena pengaruh The Click sewaktu di rumah Professor Suparman yang begitu buas.

Bibirnya kemudian ia lepaskan dari bibirku dan ia menyelusuri leherku dengan bibirnya. Napasnya membelai kulit leherku sehingga terasa geli namun nikmat. Kadang-kadang ia mengginggit leherku namun rupanya ia tidak ingin meninggalkan bekas. Benar-benar wanita yang berpengalaman dan hati-hati.

Ia kemudian turun ke dadaku dan mempermainkan puting susuku dengan mulutnya, yang membuat aliran darahku dialiri perasaan geli tapi nikmat. Semakin ke bawah ia diam sesaat menatap batang yang tersembunyi di balik celana dalamku, yang waktu itu juga berwarna hitam. Sesaat ia mempermainkannya dari luar. Ia kemudian dengan lembut menarik celana dalamku. Ia tersenyum ketika menyaksikan penisku yang tegak dan kencang, seperti mercu suar yang siap memandu pelayaran gairah libido kewanitaannya.

Dengan lembut ia kemudian mengulum penisku. Maka aliran hangat yang bermula dari permukaan syaraf penisku pelan-pelan menyusuri aliran darah menuju ke otakku. Aku serasa diterbangkan ke awan pada ketinggian tak terukur. Mbak Rita terus mempermainkan lonjoran daging kenyal penisku itu dengan kelembutan yang menerbangkanku ke awang-awang. Caranya mempermainkan barang kejantananku itu sangat lembut seolah tak ingin melewatkan seluruh bagian syaraf yang ada di situ.

Ketika perjalananku ke awang-awang kurasakan cukup, kutarik penisku dari dekapan mulut lembutnya. Giliran aku yang ingin membuat dia terbang ke awang awang. Maka kubuka bra yang menutupi payudara indahnya. Semakin terperangahlah aku dengan keindahan yang ada di depan mataku. Di depanku bediri dengan tegak bukit kembar putih besar yang indah sekaligus menggairahkan. Mungkin karena masih menyusui si Andi anaknya yang baru berusia setahun. Di sekitar puncak bukit itu, di sekitar putingnya yang merah kecoklatan, tumbuh bulu-bulu halus. Menambah keindahan buah dadanya. Tapi aku tidak memulainya dari situ. Aku hanya mengelus putingnya sebentar. Itupun aku sudah menangkap desah halus yang keluar dari bibir indahnya.

Kumulai dari lehernya. Kulit lehernya yang halus licin seperti porselen dan wangi kususuri dengan bibirku yang hangat. Ia mendesah terpatah-patah. Apalagi ketika tanganku tak kubiarkan menganggur. Jari-jariku memijit lembut bukit kenyal di dadanya dan kadang-kadang kupelintir pelan puting merah kecoklat-coklatan yang tumbuh matang di ujung buah dadanya itu. Kurasakan semakin lama puting itu pun semakin keras dan kencang. Setelah puas menyusuri lehernya, aku turun ke dadanya. Dan segera kulahap puting yang menonjol merah coklat itu. Ia menjerit pelan. Tapi tak kubiarkan jeritannya berhenti.

Kusedot puting itu dengan lembut. Ya, dengan lembut karena aku yakin gaya seperti itulah yang diinginkan orang seperti mbak Rita. Mulutku seperti lebah yang menghisap kemudian terbang berpindah ke buah dada satunya. Tapi tak kubiarkan buah dada yang tidak kunikmati dengan mulutku, tak tergarap. Maka tangankulah yang melakukannya. Kulakukan itu berganti-ganti dari buah dada satu ke buah dadanya yang lain.

Setelah puas aku turun bukit dan kususuri setiap jengkal kulit wanginya. Dan saat aku semakin turun kucium aroma yang khas dari barang pribadi seorang perempuan. Aroma dari vaginanya. Semakin besarlah gairah yang mengalir ke otakku. Tapi aku tidak ingin langsung menuju ke sasaran. Cara mbak Rita membuatku melayang rupanya mempengaruhiku untuk tenang, sabar dan pelan-pelan juga membawanya naik ke awang-awang. Maka dari luar celana dalamnya, kunikmati lekuk bukit dan danau yang ada di situ dengan lidah, bibir dan kadang-kadang jari-jemariku. Kusedot dengan nikmat bau khas yang keluar dari sumur yang ada di situ.

Setelah cukup puas, baru kutarik celana dalamnya pelan-pelan. Aku tersentak menyaksikan apa yang kulihat. Bukit venus yang indah itu ditumbuhi rambut yang lebat. Tapi terkesan bahwa yang ada di situ terawat. Meski lebat, rambut yang tumbuh di situ tidak acak-acakan tapi merunduk indah mengikuti kontur bukit venus itu. Walaupun aku sudah pernah menikmati apa yang tumbuh di situ, tapi aku tidak mengira seindah itu karena sekarang aku bercinta dengan penuh kesadaran, tanpa pengaruh The Click.

Segera berkelebat pikiran dalam otakku, betapa menyenangkannya tersesat di hutan teduh dan indah itu. Maka aku segera menenggelamkan diri di tempat itu, di hutan itu. Lidahku segera menyusuri taman indah itu dan kemudian melanjutkannya pada sumur di bawahnya. Mbak Rita menjerit kecil ketika lidahku menancap di lubang sumur itu. Di lubang vaginanya. Bau khas vagina yang keluar dari lubang itu semakin melambungkan gairahku. Dan jeritan kecil itu kemudian di susul jeritan dan erangan patah-patah yang terus menerus serta gerakan-gerakan serupa cacing kepanasan. Dan kurasa ia memang kepanasan oleh gairah yang membakarnya.

Aku menikmati jeritan itu sebagai sensasi lain yang membuatku semakin bergairah pula menguras kenikmatan di lubang sumur vaginanya. Lendir hangat khas yang keluar dari dinding vaginanya terasa hangat pula di lidahku. Kadang-kadang kutancapkan pula lidahku di tonjolan kecil di atas lubang vaginanya. Di klitorisnya. Maka semakin santerlah erangan-erangan mbak Rita yang mengikuti gerakan-gerakan menggelinjang. Demikian kulakukan hal itu sekian lama.

Kemudian mbak Rita membebaskan diri dari seranganku, ia segera merubah posisinya. Ah rupanya dia ingin dipangku. Segera ia membimbing daging kenyal yang melonjor tegang dan keras itu masuk ke dalam vaginanya dan ia duduk di atas pangkuanku. Maka begitu penisku amblas ke dalam vaginanya, terdengar jeritan kecil yang menandai kenikmatan yang ia dapatkan. Aku juga merasakan kehangatan mengalir mulai ujung penisku dan mengalir ke setiap aliran darah. Ia memegangi pundakku dan menggerakkan pinggulnya yang indah dengan gerakan serupa spiral. Naik turun dan memutar dengan pelan tapi bertenaga. Sofa tempat kami bercinta berderak-derak elastis sesuai pergerakan tubuh kami.

Suara gesekan pemukaan penisku dengan selaput lendir vaginanya menimbulkan suara kerenyit-kerenyit yang indah sehingga menimbukan sensasi tambahan ke otakku. Demikian juga dengan gesekan rambut kemaluannya yang lebat dengan rambut kemaluanku. Suara-suara erangan dan desahan napasnya yang terpatah-patah, suara gesekan penis dan selaput lendir vaginanya serta suara gesekan rambut kemaluan kami berbaur dengan lembut.

Lampu di ruangan itu remang-remang setelah mbak Rita tadi mematikan lampu yang terang. Dengan suasana seperti itu, rasanya aku tidak ingin membiarkan setiap hal yang menimbulkan kenikmatan menjadi sia-sia. Maka aku tidak membiarkan payudaranya yang ikut bergerak sesuai dengan gerakan tubuhnya menggodaku begitu saja. Kulahap buah dadanya itu. Semakin lengkaplah jeritannya. Sekian lama kemudian ia menjerit panjang sambil meracau..

“Ah.. Aku.. Akuuu orgasme, Joe!”

Sesaat ia terdiam sambil menengadahkan wajahnya ke atas, tapi matanya masih terpejam. Kemudian ia melanjutkan gerakannya. Barangkali ia ingin mengulanginya dan aku tidak keberatan karena aku sama sekali belum merasakan akan sampai ke puncak kenikmatan itu. Sebisa mungkin aku juga menggoyangkan pinggulku agar dia merasakan kenikmatan yang maksimal. Jika tanganku tidak aktif di buah dadanya, kususupkan di selangkangannya dan mencari daging kecil di atas lubang vaginanya, yang dipenuhi oleh penisku.

Meskipun mbak Rita sudah menikah dan sudah punya seorang anak, aku merasa lubang vaginanya tetap rapat dan singset. Otot vaginanya seakan mencengkeram dengan kuat otot penisku. Mungkin setelah setahun melahirkan liang kemaluannya dengan cepat rapat kembali. Benar-benar anugrah bagi suaminya mas Dimas yang punya istri demikian. Gerakan pinggulnya untuk menaik turunkan bukit venus vaginanya menimbulkan kenikmatan yang luar biasa. Dan untunglah sejauh ini aku tidak merasakan tanda-tanda lahar panasku akan meledak.

Tapi mbak Rita memang luar biasa, ia seperti tahu menjaga tempo permainannya agar aku bisa mengikuti caranya bermain. Ia seperti tahu menjaga tempo agar aku tidak cepat-cepat meledak. Memang sama sekali tidak ada gerakan liar. Yang dilakukannya adalah gerakan-gerakan lembut, tapi justru menimbulkan kenikmatan yang luar biasa, terutama karena aku tidak pernah bercinta dengan perempuan lembut seperti itu. Sekian lama kemudian aku mendengar lagi ia meracau..

“Ah.. Ah.. Ini yang kedua.. Joe, aku orgasme.. Uhh!” Di susul jeritan panjang melepas kenikmatan itu.

Tapi kemudian ia memintaku mengangkatnya ke ranjang dikamarnya, tanpa melepaskan penisku yang masih menancap di lubang vaginanya. Ia memintaku menidurkannya di ranjang tapi tak ingin melepaskan vaginanya dari penisku, yang sejauh ini seperti mendekap sangat erat. Kulakukan pemintaannya itu, meski gentar memasuki kamar yang seharusnya sangat pribadi milik mas Dimas dan mbak Rita. Tapi dasar kucing garong aku yang sudah terlalu merasa kenikmatan jadi tebal muka pada hati nurani. Maka begitu ia telentang di ranjang, aku masih ada di atasnya. Penisku pun masih masuk penuh di dalam vaginanya.

Kami melanjutkan permainan cinta yang lembut tapi panas itu. Kini aku berada di atas, maka aku lebih bebas bermanuver. Karena aku juga ingin segera mencapai puncak, aku menyodoknya dengan cepat dan bertenaga. Tapi sesaat kemudian ia merintih dan berbisik dengan mata yang masih terpejam..

“Pelan-pelan saja, Joe…Ak.k.. Aku masih ingin orgasme…… “

Aku tersadar apa yang telah kulakukan. Maka kini gerakanku pelan dan lembut seperti permintaan mbak Rita. Kini erangan dan desahan patah-patahnya kembali terdengar. Ia menarik punggungku agar aku lebih dekat ke badannya. Aku maklum. Tentu ia ingin mendapatkan kenikmatan yang maksimal dari gesekan-gesekan bagian tubuh kami yang lain. Dan mbak Rita memang benar, begitu dadaku bergesekan dengan buah dadanya, semakin besarlah sensasi kenikmatan yang kudapat. Kurasa demikian juga dengannya, karena jeritannya berubah semakin keras. Apalagi saat aku juga melumat bibir merahnya yang menganga, seperti bibir vaginanya sebelum aku menusukkan penisku di situ.

Meskipun jeritannya agak bekurang karena kini mulutnya sibuk saling melumat bersama mulutku, tapi aku semakin sering mendengar ia mengerang dan terengah-engah kenikmatan. Hingga beberapa saat kemudian aku mendengar ia meracau seperti sebelumnya..

“Aku.. Ah.. Aku.. Uh.. Yang ketiga.. Aku orgasme, Joe.. Ahh…..”

Setelah jeritan panjang itu, matanya terbuka. Tampak sorot matanya puas dan gembira. Kemudian ia berbisik terengah-engah..

“Aku.. Aku.. Sudah cukup, Joe. Saatnya untuk kamu”.

Aku tahu yang dia maksudkan, maka kemudian pelan-pelan semakin kugenjot gerakanku dan semakin bertenaga pula. Ia kini membiarkanku melakukan itu. Kurasa mbak Rita memang sudah puas mendapatkan orgasme sampai tiga kali. Sekian lama kemudian kurasakan lahar panasku ingin meledak. Penisku berdenyut-denyut enak, menandai bahwa sebentar lagi akan ada ledakan dahsyat yang akan melambungkanku ke awang-awang. Maka aku berusaha menarik penisku dari lubang vaginanya yang nikmat itu. Tapi mbak Rita menahan penisku dengan tangan lembutnya.

“Biar.. keluarkan.. di dalam saja Joe.. Aku ingin merasakan sensasi cairan hangat itu.. Di dalam rahimku.. Uhh.. Uhh”.

Mendapat angin, aku melupakan pikiran aku bisa menghamilinya jika kukeluarkan di dalam. Maka ketika lahar panas dari penisku benar-benar meledak, kubiarkan ia mengendap di sumur vagina milik mbak Rita, dengan diiringi teriakan nikmatku.

Setelah itu, mbak Rita memintaku untuk tetap berada di atas tubuhnya barang sesaat. Dengan lembut ia menciumi bibirku dan tangannya mengusap-usap puting susuku. Aku juga melakukan hal yang sama dengan mengusap-usap buah dadanya yang saat itu basah karena keringat. Dan memang sensasi yang kurasakan luar biasa.

Pendinginan yang diinginkan mbak Rita itu membuatku merasa seakan-akan aku sudah sangat dekat dengan mbak Rita. Aku merasa ia seperti kekasihku yang sudah sering dan sangat lama bermain cinta bersama. Aku merasa sangat dekat. Maka begitu aku merasa sudah cukup, aku menarik penisku yang sebenarnya masih sedikit tegang dari lubang vaginanya. Tampak air muka mbak Rita sedikit kacau. Wajahnya berkeringat dan anak rambutnya satu dua menempel di dahinya. Kami kemudian pergi ke kamar mandi pribadinya di kamar itu. Kamar mandinya juga wangi. Sambil bergurau, aku menggodanya..

“Mbak Rita…mbak justru kelihatan lebih cantik setelah bercinta”. Ia hanya tertawa mendengar gurauanku.
“Memang setelah bercinta denganmu tadi, seluruh pori-poriku seperti terbuka. Aku sedikit capai tapi merasa segar”, jawabnya dengan berbinar-binar.

Ia tampaknya memang puas dengan permainan cinta kami. Di bawah shower, kami membersihkan diri dengan mandi bersama-sama. Kadang-kadang kami saling membersihkan satu sama lain. Ia membersihkan penisku dengan sabun dan aku membersihkan sekitar vaginanya juga. Ia tertawa geli saat aku dengan halus mengusap-usap vaginanya dan rambut kemaluannya yang lebat itu.

Setelah itu, kami duduk-duduk saja di sofa di depan TV. Kami menonton TV, sambil mengobrol dan menikmati kopi panas yang ia buat.

“Kamu tadi luar biasa, Joe” katanya memujiku.
“Meskipun masih muda, kamu bisa bercinta dengan sabar. Aku sampai mendapat orgasme tiga kali”. Ia tersenyum. Matanya berbinar-binar.
“Ah, itu juga karena mbak Rita juga yang sabar dan lembut membuat saya juga terpengaruh.”

Ia kemudian berkata, “Menginap di sini saja, Joe. Ini sudah malam. Besok pagi-pagi sekali kamu bisa pulang atau menyebrang ke rumah Professor temanmu itu.”

“Waduh kayaknya biar aman saya langsung nyebrang aja mbak, maklumlah pamitnya tadi ke rumah teman. Ntar kalo teman saya di telepon mama biar gak ada masalah”

“Yah sayang sekali” sahutnya agak kecewa.

“Tenang aja mbak, kapan saja kan kita bisa ulangi lagi kalo ada kesempatan, hehe”

“Ah kamu ini!” katanya tersipu. Tampak makin cantik saja dia di mataku.
Ia kemudian menatapku lama, sambil bertanya, “Kamu tidak capek, Joe?”.
“Tidak”, jawabku.
“Kamu pasti suka ngeseks juga ama pacar-pacarmu ya? Abis kamu jago gitu” kata mbak Rita.

“Sejujurnya baru dua kali kok mbak”

“Bohong ah”

“Beneran kok! Selain mbak yah ama mantan saya dulu”

Sekali lagi ia menatapku lama lalu tangannya merangkul leherku dan sesaat kemudian ia telah melumat bibirku kembali dengan lembut.

“Joe, makasih ya sayang” ujar mbak Rita lembut.

Aku hanya bisa menggangguk. Kurapikan pakaianku dan pamitan untuk kembali ke rumah Professor Suparman dengan mengendap-endap.

Wah hari ini benar-benar melelahkan pikirku. Besok untungnya aku kuliah siang. Jadi masih bisa istirahat lebih…

to be continued part 3

Copyright (c) Dread80, March 2008
(Thank you for all your support & permission)

****************

3 Tanggapan

  1. wow..
    thanks buat ceritanya om dread :)
  2. Gile jg tuh mbak Rita….G’ tw apa dy udh pnya anak ma suami…
  3. pada 2 Juni 2010 pada 07:05 | Balas Hidaka Banri
    Wow…
    Part IIInya kapan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar