Disclaimer :
- Cerita ini akan mengandung tema berbagai aktivitas seksual, mulai dari masturbasi, pelecehan, perselingkuhan, bahkan gangbang, ekshibisionisme, dll sesuai dengan fantasi penulis. Tapi penulis sama sekali tidak menganjurkan pembaca untuk melakukan ataupun meniru tindakan seks amoral serta pelecehan sebagaimana tertulis dalam cerita ini.
- Penulis tidak memaksa siapapun untuk membaca ataupun mengkoleksi karyanya. Kalau pembaca tidak suka dengan tema di atas dengan alasan apapun, tidak ada yang melarang pembaca untuk meninggalkan halaman ini. Kalau pembaca merasa cukup dewasa untuk membaca cerita dengan tema yang sudah disebut di atas, silakan untuk terus membaca.
- Cerita ini beserta seluruh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya adalah 100% FIKSI, bukan KENYATAAN.
- Cerita ini adalah karya asli ‘enamsembilan’, walau terinspirasi dari beberapa kisah yang pernah ada.
- Cerita ini sejak awal dibuat untuk ditampilkan di blog kisahbb. Enamsembilan selaku penulis tidak mengijinkan Cerita ini dimuat di situs apapun, dalam bentuk apapun, selain di blog kisahbb.
- Walaupun menyinggung tentang Negara tertentu, atau ras tertentu, penulis sama sekali tidak bermaksud SARA, menghina, atau menyinggung siapapun di dalam cerita ini.
- Penulis bukan orang Jepang, dan tidak pernah tinggal di Jepang. Penulis hanya mengandalkan informasi sekedarnya tentang Jepang. Oleh karena itu, sebisa mungkin penulis menghindari penulisan bahasa, istilah, nama tempat, atau apapun yang berkaitan dengan Jepang secara khas untuk meminimalisir kesalahan (Kalaupun masih ada kesalahan mohon maklum ^_^). Penulis mengharapkan sharing wawasan atau ide dari pembaca sekalian lewat: posisifavorit@yahoo.com
Paulin |
The Arrival
Aku terjaga setelah mendengar pengumuman dari pilot. Sebentar lagi pesawat ini akan mendarat di Bandara Narita Tokyo. Kulongok keluar jendela. Cuaca begitu cerah. Entah jam berapa sekarang di Jepang, tapi kupikir sudah hampir sore. Istriku masih tampak terlelap. Aku enggan membangunkannya. Nanti sajalah kalau pesawat sudah benar-benar mendarat. Sepanjang perjalanan kami lebih sering diam atau tidur. Bisa dikatakan ini bukanlah masa-masa paling romantis dalam kehidupan rumah tangga kami. Namaku Wawan. Bulan depan usiaku genap 32 tahun. Wanita cantik yang terlelap di sampingku ini adalah Paulin istriku. Ya, dia begitu cantik, kalau tidak boleh dikatakan sempurna. Semua ciri standar kecantikan wanita yang hampir disepakati semua pria manapun di dunia ini ada pada istriku. Kulit yang putih mulus tanpa noda, tubuh yang langsing namun tidak ceking, rambut lurus yang panjang terurai, hidung yang mancung, alis tebal, leher jenjang, pokoknya semuanya. You name it… Tinggi badan yang 167 cm sangat pas dan sempurna buatku yang tingginya hanya 173 cm. Begitu juga dengan bentuk payudaranya yang besar alami. Tidak terlalu besar tentu saja. Bentuknya pas dan sempurna seakan ditatah dengan sangat hati-hati oleh penciptanya. Yah, bagian tubuh yang satu itu memang favoritku. Dan lagi, Paulin masih sangat muda. Usiaku dengannya terpaut cukup jauh. Baru 2 bulan yang lalu dia berulangtahun yang ke 24. Masih sangat muda dibanding karirnya yang begitu cemerlang. Yah, sebenarnya karirnya itulah yang kini menjadi ganjalan dalam hatiku. Semenjak dipecat 2 tahun lalu hingga kini aku tidak bekerja, sementara sebaliknya karir Paulin sedang menanjak naik. Walhasil selama 2 tahun ini dialah yang membuat ‘dapur rumahku tetap mengepul’. Sebenarnya Paulin sendiri tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja ada semacam perasaan ‘kalah’ di dalam hatiku sebagai laki-laki. Kedatangan kami ke Jepang ini sendiri adalah dalam rangka lonjakan karirnya. Dia dipercaya bosnya yang asli Jepang untuk mengelola perusahaan barunya di Tokyo. Walhasil diriku ini seperti suami yang ‘nunut’ istri saja.
Pesawat kami sudah mendarat di Narita. Benar-benar kagum aku melihat bandara yang sangat besar, jauh lebih besar dari bandara di Jakarta yang tadinya juga sempat kukagumi karena besarnya, tapi ternyata tidak ada apa-apanya dibanding bandara di ibukota Jepang ini. Diam-diam terselip lagi perasaan iri terhadap istriku yang akan segera meniti karir di Negara yang sangat maju ini. Tak ada orang yang menjemput kami, tapi dengan pede Paulin sudah tahu harus kemana hanya dengan melihat catatan kecil yang diberi bosnya. Paulin sedikit menguasai percakapan dalam bahasa Jepang, jadi ketika ada sedikit kebingungan dengan luwes dia bertanya pada petugas atau orang lain di sekitar situ. Kami tidak naik taksi melainkan kereta untuk menuju tujuan berikut yang ternyata cukup jauh juga dari bandara. Bahkan karena lamanya perjalanan, kami melewati terbenamnya matahari di dalam kereta itu. Barulah saat sampai di stasiun yang aku tak sempat mengetahui namanya, kami segera menyambung lagi dengan taksi menuju tempat singgah sementara kami di Tokyo. Saat itu hari sudah agak malam. Tempat singgah kami malam ini adalah rumah dari kerabat bos Paulin. Kami akan menginap 1 malam di sana dan besok baru akan mulai menempati tempat tinggal baru yang entah dimana. Agaknya semua sudah dipersiapkan oleh bos Paulin. Rumah ini sangatlah besar dan luas. Aku sempat canggung ketika memasukinya. Akan tetapi orang-orang di situ tampak begitu ramah. Lebih ramah dibanding dengan orang Indonesia kurasa. Yang menemui kami hanya 2 orang laki-laki dan perempuan yang tampak sudah berumur. Entah mereka itu siapanya bos Paulin, atau apakah mereka pasangan suami istri atau bukan, aku tidak tahu dan tidak terlalu ambil pusing. Istriku bercakap2 sebentar dengan mereka, entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi Paulin yang supel tampak langsung akrab dengan mereka. Tak lama kemudian mereka memanggil pelayan untuk mengantar kami ke kamar yang telah disediakan. Pelayan perempuan setengah baya itu tampak begitu cantik dengan kimono yang dipakainya. Dia juga tampak begitu sopan dan penurut. Sering menunduk, tidak pernah menatap langsung, dan juga tidak banyak bicara. Paulin sempat mencubit aku yang berkali-kali mencuri pandang pada pelayan itu. Dengan ‘ndeso’nya aku berpikir, “Secantik itu di sini hanya jadi pelayan, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang iklan dia…”
Rumah yang begitu besar itu tampak sunyi. Tak kulihat penghuni lain selain 2 orang yang menerima kami tadi, pelayan ini, serta pelayan lain yang tadi membukakan pintu untuk kami. Sesampai di kamar, Paulin menanyakan sesuatu pada pelayan itu, kemudian pelayan itu menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk tempat di dalam kamar. Entah apa yang ditanyakannya. Setelah mandi, berganti baju, dan menyiapkan tempat tidur, dengan masih mengenakan piyama mandinya, Paulin sudah membuka-buka laptopnya dan mencoba mengakses internet. Agaknya dia ingin segera mengabari teman-teman terdekatnya. Aku sendiri mulai berbaring. Terasa lemas badan ini. Mataku menerawang menatap langit-langit. Tak ada yang kulamunkan, pikiranku kosong saat itu. Entah berapa lama aku begitu, atau mungkin aku sempat tertidur tanpa sadar, yang jelas tahu-tahu kudapati Paulin sudah berbaring di sebelahku, memelukku dan merebahkan kepalanya di pundakku sambil menggumam manja. Kucium wangi rambutnya, dan aku pun balas mendekapnya. Kami kemudian saling bertatapan tanpa bicara. Entah kenapa aku merasa canggung dan kagok dengan istriku sendiri itu. Mungkin karena sikap diamku sejak keberangkatan kami hingga sekarang ini.
“Mas…” gumam Paulin pelan.
“Yaa…?” Jawabku.
Paulin terdiam. Agaknya dia juga bingung merangkai kata-kata. Dibelainya pipiku lembut. Jempolnya kemudian menarik ujung bibirku seakan memaksaku tersenyum.
“Mas kok kayaknya cemberut aja dari tadi…?” Tanyanya gusar.
Aku menghela napas. “Masa sih…? Aku gapapa kok…” Jawabku.
“Yah yang jelas raut muka mas itu loh… kayaknya gak bersemangat banget.” Ucapnya lagi.
“Yah… Gak tau deh, namanya juga baru pindah di tempat baru yang jauh dan asing banget… biasalah…” Jawabku.
Paulin tersenyum manis. “Gak marah kan?” Tanyanya manja.
“Ya gaklah… kenapa harus marah…?” Sahutku.
“Soal pesta itu…” Istriku tidak meneruskan kalimatnya. Wajahnya kini terlihat sayu.
Aku gantian membelai pipi lembutnya, “Udah ga usah diungkit-ungkit lagi sayang…” jawabku.
Paulin pun tersenyum lagi. Pelukannya bertambah erat, kepalanya beringsut direbahkan di atas dadaku. Kucium rambutnya dengan perasaan sayang, pelukanku juga kueratkan, mataku kembali menerawang.
“Kita pasti bahagia di sini mas… Kamu pasti betah. Jepang Negara yang menyenangkan…” Ucap Paulin tanpa menatap kembali ke arahku. Aku diam tak menjawab. “Kalau ternyata tidak berhasil, kita bisa kembali kapan saja…” Lanjutnya.
“Ssst…” Sahutku pelan.
“Kita baru sampai, jangan bicara yang nggak-nggak…” Lanjutku menenangkan.
Paulin tidak menjawab lagi. Mungkin dia sudah mencoba untuk tidur. Dan aku pun kembali menerawang sambil membelai-belai rambutnya. Teringat tadi saat di dalam taksi Paulin sempat menanyakan hal yang sama, yaitu soal diamnya aku. Dia menanyakan apakah aku marah tentang ‘pesta itu’. Walau tadi sudah kujawab bahwa aku tidak marah sejak awal, tapi rasanya sikap diamku yang berlanjut masih membuatnya penasaran. Diamku ini memang bukan ngambek gara-gara ‘pesta itu’. Walau bukan berarti juga ‘pesta itu’ tak kupikirkan sama sekali, bahkan kini aku pun kembali terngiang-ngiang mengingatnya. Yaitu pesta malam perpisahan istriku dengan rekan-rekan kantornya di Indonesia. Masih detail kuingat dalam kepalaku bagaimana keseluruhan pesta itu berlangsung.
#################################
Flashback…
Yah, peristiwa itu masih tetap terbayang secara detil di dalam benakku. Bahkan, ingatanku pun jadi menerawang lebih mundur lagi ke beberapa hari sebelum pesta perpisahan itu. Yah, kalau diceritakan memang harus bermula dari situ. Yaitu peristiwa perselingkuhan Paulin dengan bosnya. Ya. Perselingkuhan. Sulit untuk dipercaya aku mendapati Paulin berselingkuh. Paulin dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga dengan kultur Jawa yang kental. Kakeknya memang orang Jerman, jadi sedikit banyak istriku itu blasteran Jawa dan Jerman. Tapi dia lahir di Jawa, bapak ibunya juga lahir di Jawa dan dia pun dibesarkan dengan didikan kultur Jawa. Saat berpacaran, kami juga tidak pernah melakukan seks bebas. Keperawanannya baru kucicipi saat malam pertama pernikahan kami. Bisa dibayangkan betapa istimewanya saat itu bagiku. Pernikahanku yang berjalan 5 tahun lebih, nyaris tanpa prahara. Kehidupan kami sangat bahagia meskipun kami belum juga dikaruniai momongan. Setelah diselidiki lebih lanjut, ketahuanlah bahwa ternyata benihkulah yang kurang ‘unggul’ dan sangat lemah. Walau tidak sampai dicap mandul, perasaanku sangat hancur saat itu. Dokter menasehati supaya berusaha lebih keras, bersabar dan berdoa. Dokter juga menyarankan banyak menu2 makanan yang baiknya kukonsumsi. Paulin sendiri sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. Dengan penuh pengertian dia senantiasa menghiburku. Begitu juga saat aku di-PHK oleh perusahaan. Paulin juga menenangkanku dengan mengatakan bahwa penghasilannya saja sudah cukup untuk menghidupi kami berdua. Saat aku mulai frustasi karna tak juga segera mendapat pekerjaan, istriku mengatakan untuk tidak terlalu ‘ngoyo’ dan terbebani, Dia bahkan menyarankanku untuk beristirahat saja. Sebagai laki-laki aku jelas merasa harga diriku jatuh di mata istriku. Aku benar-benar merasa seperti pecundang. Namun Paulin selalu menunjukkan sikap untuk meyakinkanku bahwa dirinya tidak pernah mengeluh dengan keadaanku. Begitulah istriku yang teramat istimewa bagiku. Itulah mengapa aku seakan tidak percaya ketika mengetahui tentang perselingkuhannya. Barangkali aku terlalu naif, karena kecantikan Paulin tentu memikat banyak rekan-rekan prianya. Saat itu kuingat Paulin menangis memohon ampun. Dapat kulihat betapa besar penyesalannya. Padahal entah kenapa, aku sendiri sama sekali tidak meledak marah saat itu. Ya, aku lebih banyak terdiam seribu bahasa. Aku seakan bingung bagaimana harus bersikap meski perasaanku begitu hancur. Aku teramat menyayangi istriku. Tidak tega rasanya memarahi dirinya. Melihatnya menangis saja sudah membuat hatiku trenyuh dan luluh. Terlebih aku menyadari betapa peranku yang sangat kecil dibanding Paulin dalam membangun rumah tangga kami. Aku benar-benar merasa tidak berarti saat itu. Rasa-rasanya aku tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kupeluk dan kubelai rambutnya untuk menunjukkan bahwa aku memaafkannya. Tangisnya pun berangsur reda. Paulin membalas pelukanku dengan erat. Aku pun makin luluh. Malam itu kami tidur berpelukan seakan tidak terjadi apapun.
Perusahaan tempat Paulin bekerja bergerak di bidang periklanan dan multimedia. Dia sering bercerita bahwa suasana di kantornya sangat menyenangkan dan jauh dari suasana formal. Mungkin memang begitu harusnya sebuah industri yang erat kaitannya dengan seni dan kreatifitas itu. Hubungan antar karyawan, dan bahkan dengan bos sekalipun sangat cair dan akrab. Canda dan tawa sudah biasa untuk menghilangkan kepenatan dalam bekerja. Kebebasan seperti itulah yang membuat Paulin sangat menikmati perjalanan karirnya. Keesokan harinya, dalam suasana santai istriku membuka percakapan mengenai perselingkuhannya. Sungguh tak kuduga-duga dia akan menyinggung hal itu. Padahal aku sendiri ingin membuang jauh-jauh ingatan itu dan menganggapnya tak pernah terjadi. Tapi kini istriku sendirilah yang malah mengungkitnya. Yang mengherankan, mimiknya terlihat santai seolah hendak membicarakan sesuatu yang biasa saja.
“Mas… mengenai semalam… Mas bener-bener nggak marah kan?” Tanyanya.
Aku menghela napas tanpa menjawab. Kuperlihatkan raut muka ketus supaya ia paham bahwa aku sama sekali tak ingin membicarakan hal itu. Meskipun tampak menyadarinya, ternyata Paulin tak bergeming.
“Yoshi memang mata keranjang dan sudah lama dia mengincar aku…” Lanjut Paulin.
Yoshi adalah nama bosnya yang asli Jepang. Begitulah, memanggil bosnya saja langsung dengan namanya tanpa embel-embel “pak”. Aku makin bersungut-sungut membayangkan bagaimana keakraban di antara mereka.
“Sebelum aku lanjutin, mas perlu tahu bahwa aku sama sekali gak mengkhianati mas, aku gak mengkhianati pernikahan kita. Aku tetep cinta mas sepenuh hati…” Ujar Paulin.
“Lin, hal itu gak usah diungkit-ungkit lagi… ok?” Akhirnya aku menanggapinya.
“Nggak mas, justru aku ingin membicarakannya…” Sahut Paulin tegas. Aku agak terkejut mendengarnya. Entah apa maunya istriku ini.
“Aku nggak tahu kenapa mas nggak marah. Bukan berarti aku ingin mas marah, lagipula memang tidak seharusnya mas marah… Hanya saja normalnya tiap suami mustinya marah kalo istrinya selingkuh.” Jelas Paulin mbulet. Aku tertegun mendengarnya.
“Maksudmu apa sih?” Tanyaku gusar.
“Aku takut mas nggak marah tapi memendam dendam di hati.” Jawab Paulin.
“Bukan begitu, aku justru ingin melupakannya. Sudah. Itu sudah berlalu… Aku akan menganggapnya tidak pernah terjadi.” Jawabku.
“Tapi itu kan terjadi mas. Hanya karena mas gak mau membicarakannya bukan berarti hal itu tidak pernah terjadi…” Sahut Paulin. Nadanya meninggi.
“Lalu maumu bagaimana…?” Aku semakin gusar.
“Pertama aku ingin mas percaya bahwa secuil pun rasa cintaku pada mas gak hilang. Dan bahwa aku ingin terus hidup bersama mas sampai akhir hayat… Aku ingin mas tidak meragukannya.” Paulin menunjukkan raut serius. Aku manggut-manggut saja tanpa menjawab.
“Please, aku ingin mas yakin itu…” Lanjut Paulin mendesak.
“Sayang…. Aku mempercayainya sebesar aku ingin mempercayainya. Aku juga nggak ingin kehilangan kamu… Laki-laki bodoh mana yang mau melepas istri sebaik dan secantik kamu…” Aku mencoba meyakinkan istriku. “Aku tahu pasti bukan hanya bosmu aja kan yang ngincer kamu? Temen-temen kantor kamu juga pastilah menginginkan kamu.” Lanjutku. “Aku ingat bagaimana aku dulu begitu tergila-gila sama kamu. Aku masih ingat karna sampai sekarang pun aku masih tergila-gila sama kamu…” Aku memungkasi. Kuharap Paulin bisa tenang dengan kata-kataku yang jujur itu. Benarlah, wajahnya memerah. Dia pun tersenyum dan mengecup pipiku lembut. “Makasih mas…” bisiknya.
“Sebagai wanita aku juga seneng dan bangga ditaksir banyak laki-laki…” Ucapnya kemudian.
“Dasar perempuan, seneng banget ya jadi pusat perhatian…?” Godaku ketus.
“Iyalah… Udah naluri…” Jawab Paulin tertawa kecil.
“Tapi bukan berarti kamu bisa jatuh ke pelukan laki-laki lain dong… kamu kan udah punya aku.” Sindirku.
Paulin tersenyum. Dia menatapku kemudian mencubit hidungku gemas. “Nah… kepikiran juga kan…?” Godanya.
“Temen-temen di kantorku itu gila semua mas… Kamu kan udah sering kuceritai tentang suasana di kantorku yang sangat cair…?” Lanjutnya.
“Yang namanya cowok kalo lihat yang bening dikit aja udah blingsatan. Trus jadi nakal, suka menggoda-goda cari perhatian… Kadang sampe ganggu banget…” Paulin terus nyerocos.
“Tapi pria-pria di kantorku itu jauh lebih gila lagi. Lebih nakal lagi… Parah deh pokoknya!” Istriku terus bercerita dengan semangat. Kalau sudah begini biasanya aku akan jadi pendengar yang baik. Paulin pun melanjutkan, “Kalau cowok lain paling cuma suit-suit atau merayu-rayu dengan konyol. Tapi pria di kantorku udah kebangetan deh pornonya…”
Terhenyak aku mendengar istriku mengucap kata ‘porno’.
“Yaah kita biasa bercanda gitu di kantor. Tahulah…” Lanjut Paulin.
“Ya kamu kan udah biasa cerita itu…” Jawabku gusar.
“Ya tapi aku belum pernah cerita bercandanya kayak gimana kan?” Sahut Paulin. Aku terdiam. “Yah awal-awal sih bercanda biasa aja. Sedikit menggoda kukira wajar. Tapi lama-kelamaan seiring dengan makin akrabnya kita, mereka udah pada berani main tangan. Colek-colek gitu deh… bahkan remas pantat itu udah biasa banget. Makanan sehari-hari!” Lanjutnya. Aku tertegun mendengarnya. Rekan kerja pria Paulin biasa meremas pantatnya? Pikiranku cukup terusik. Perhatianku pun mulai tertarik kepada cerita Paulin.
“Di kantorku yang cewek kan bukan hanya aku aja mas. Selain aku ada 4 orang lagi. Yenni dan Susan kamu udah kenal kan? Lainnya ada Lisa sama Ai…” Lanjut Paulin.
Aku mengangguk. Yenni dan Susan yang disebut Paulin sudah beberapa kali datang ke rumah sehingga aku mengenal mereka. “Hmmm, si Lisa sama Ai itu apa juga secantik Jenni dan Susan?” Selidikku.
Paulin tertawa kecil. Dicubitnya pinggangku. “Nah itu mas, kami berlima semuanya cantik-cantik! Kayaknya si Yoshi emang sengaja memperkerjakan cewek cantik saja… Udah kubilang kan dia kayak gimana. Nah di antara para pria itu, yang paling parah ya si Yoshi itu!” Jawab Paulin bersemangat. Heran aku melihatnya. Dia menceritakan kenakalan teman-teman pria di kantornya tapi bukan dengan nada sewot melainkan dengan nada riang. Aku cukup terusik dengan kenyataan itu. Tapi entah kenapa aku sendiri juga ingin mendengarkan lebih lanjut.
“Lebih parah gimana maksudmu…?” Tanyaku.
“Yaah, namanya juga bos, dia yang paling berani… Kita lengah dikit aja deh, dada kita langsung diremasnya!” Jelas Paulin berbinar. Aku jelas terkejut mendengarnya.
“Haah dia suka mencuri-curi meremas dada begitu??” Tanyaku gusar.
“Iya mas. Bahkan dia suka memprovokasi karyawan cowok lainnya. Kalo udah berhasil meremas dada dia suka memamerkan kemenangannya dan mengejek mereka. Kalo yang lain kan hanya berani remas pantat, nah dia menantang keberanian yang lain untuk melakukan hal yang sama kayak dia.” Jelas Paulin.
“Sayang… Bukankah itu pelecehan namanya? Kalian harusnya bisa melaporkannya kan…?” Aku makin gusar.
Mendengar pertanyaanku yang lugu itu Paulin tertawa. “Yaah ga perlu sampe gitu lah mas… Semuanya kan hanya dalam rangka bercanda saja. Itu gambaran suasana di kantorku yang bebas dan akrab berbeda dengan kantor-kantor lainnya. Yah, hampir semua karyawan kantorku itu kan seniman. Total yang kerja di situ hanya 13 orang. 9 pria dan 5 wanita. Dan itu sudah 3 tahun tidak berganti. Tak ada yang keluar, dan nggak ada juga orang baru yang masuk. Ya kita jadi akrab dan saling mengenal satu sama lain dengan baik.” Paulin menjelaskan panjang lebar. Walau begitu masih sukar bagiku untuk mempercayainya.
“Yang jelas itu suasana di kantorku sehari-hari. Itu kultur kerjaku. Bercandanya ya begitu itu. Kalopun hanya obrolan, seringkali obrolannya menjurus ke hal-hal yang cabul. Tentu nggak langsung begitu pada awalnya. Semua itu setelah kami sudah sangat akrab. Aku nggak tahu gimana menjelaskannya padamu, mungkin kamu harus melihat atau mengalaminya sendiri supaya paham. Yang jelas itu bukan hal yang membuat kami para wanita risih…” Paulin meneruskan ceritanya.
Aku terus mendengarkannya dengan seksama dan gilanya tanpa kusadari penisku mulai mengalami ereksi. Damn! Aku sendiri tak percaya dan seakan ingin marah pada diriku sendiri. Aku pun menyilangkan kaki supaya Paulin tidak menyadarinya.
“Kami para wanita menyadari bahwa Yoshi itu memperkerjakan kami karna memilih kecantikan kami. Dan kami juga sadar sehari-harinya kami jadi objek pemanis di kantor. Yah, apalagi dengan ditambahi semua godaan-godaan dan obrolan-obrolan cabul itu, semua itu justru kadang membuat kami ge-er dan yaahh… kamu tahulah, kami sedikit bangga karenanya…” Sambil mengatakan itu Paulin melirik mataku, ingin mengetahui bagaimana reaksiku mendengarnya.
Tapi aku sendiri nyaris tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Mungkin karena sibuk menyembunyikan ereksiku. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bersikap begitu. Wanita cantik yang duduk di sampingku ini istriku sendiri. Milikku. Harusnya tidak aneh jika aku yang sedang ereksi ini langsung menubruk dan menggaulinya saat ini juga. Tapi aku malah memilih mendengarkan ceritanya lebih lanjut.
“Kami sudah terbiasa dengan suasana itu dan kurasa memang begitulah sewajarnya reaksi pria manapun terhadap wanita cantik. Si Lisa sama Susan yang belum menikah malah mengawali dengan berani bersikap bitchy loh… Mereka memang nekat. Dari cara bicaranya sampai pakaiannya semuanya ‘mengundang’. Awalnya, aku, Yenni, dan Ai tertawa saja dengan tingkah mereka berdua. Kadang kami malah ikut memprovokasi mereka supaya lebih nakal lagi supaya pria-pria itu makin blingsatan. Terutama si Yoshi itu…” Ujar Paulin terkekeh. Dengan bersemangat dia melanjutkan. “Menyenangkan sekali melihat bagaimana reaksi pria ketika ‘mupeng’. Lama kelamaan kami semua terpancing juga untuk tampil seksi seperti Lisa dan Susan itu.”
Apa? Istriku juga ikut-ikutan tampil seksi? Sepertinya aku salah dengar. “Sayang, bukankah selama ini kulihat penampilanmu sewajarnya saja kalau berangkat kerja?” Tanyaku lugu.
Paulin tertawa. “Ya kalo dari rumah udah seksi gimana di jalan nanti?” Jawabnya.
Ya, istriku memang sederhana. Itu salah satu dari banyak kelebihan yang membuat aku jatuh cinta padanya. Dia lebih suka berangkat kantor menggunakan taksi ketimbang menyetir mobil sendiri. Waktu kutawarkan untuk memperkerjakan seorang sopir, dia juga menolaknya. Bahkan waktu awal-awal Bus TransJakarta beroperasi, semangat sekali dia ingin mencobanya. Sampai sekarang dia juga terkadang masih suka menggunakan Bus umum itu.
“Kami tampil bitchy ya hanya di kantor saja mas… Jadi kamu nggak usah khawatir, semua itu hanya untuk suasana di kantor saja. Aku tentu nggak berani sembarangan juga di luar.” Lanjut Paulin. Aku tak tahu bagaimana logikanya bahwa aku nggak perlu khawatir bahwa dia tampil nakal hanya di kantornya saja. Tapi toh aku mencoba untuk bersikap biasa saja.
“Kami bersenang-senang dengan itu. Terkadang kami pamer-pamer sedikit untuk memanaskan suasana…” Lanjut Paulin. Matanya berbinar ketika mengucapkannya.
“Pa… Pamer gimana maksudmu??” Tanyaku.
“Yaah, kamu tahulah… Pamer tubuh sedikit dengan menyingkap paha atau sekedar belahan dada. Lisa itu yang paling berani. Dia bahkan pernah mengekspos payudaranya ketika salah satu karyawan pria berhasil meremasnya. Dia pura-pura kesal dan membuka dadanya, ‘apa-apaan sih gini aja pada penasaran, nih aku kasih semuanya!’ Paulin mencoba menirukan kata-kata Lisa.
“Gila, berani sekali dia menantang-nantang begitu. Semua karyawan pria di situ jelas kegirangan dan kami para wanita juga tanpa sadar turut mengelu-elukannya. Dada Lisa memang paling montok di antara kami. Dan jelas sekali Lisa bangga dan menikmatinya… Menjadi pusat perhatian dan dikagumi seperti itu.” Jelas Paulin melanjutkan.
“Lalu apa yang terjadi setelahnya?” Tanyaku penasaran.
Paulin tertawa. “Yah, ketika pria itu hendak meremasnya lagi Lisa buru-buru menghindar sambil menutup kembali dadanya. Begitulah… jadi semua itu hanya bercanda saja…” Jawabnya terkekeh.
Aku pun manggut-manggut tanda mengerti. “Ooh begitu…” Gumamku. “Tapi kamu nggak pernah melakukan hal serupa kan…?” Tanyaku menyelidik lebih lanjut. Aku seperti lupa dengan kenyataan bahwa bahkan Paulin sudah melakukan yang lebih dari itu, ya meniduri Yoshi itu!
Paulin terdiam sejenak. “Aku tak pernah sengaja melakukannya…” Jawabnya pelan.
Aku terhenyak. Itu artinya dia sudah pernah mengekspos payudaranya juga! Kecemburuanku mulai memuncak, namun seiring dengan itu ereksiku juga makin mengeras hingga maksimal. Sial. Gara-gara itu aku jadi tidak tahu bagaimana musti bersikap. Melihatku diam Paulin pun melanjutkan.
“Suatu ketika Yoshi pura-pura menumpahkan kopi di bajuku sehingga aku harus melepaskannya. Yoshi minta maaf dan meminjamkan ruangannya yang tertutup untukku berganti pakaian. Tapi aku tak bawa baju ganti, kubilang aku akan mengangin-anginkan pakaianku sejenak supaya agak kering sedikit saja. Jadi aku akan meminjam ruangannya agak lama. Ya sudah, aku kemudian telanjang dada di ruangan Yoshi sambil mengangin-anginkan bajuku. Aku benar-benar mengira bahwa pintu ruangan itu terkunci karna memang aku sendiri yang menguncinya. Tapi ternyata Yoshi punya kunci serep dan tiba-tiba saja dia membuka pintu dari luar. Aku kaget setengah mati karena ternyata semua teman kantorku, pria dan wanita, sudah ada di balik pintu. Semuanya tertawa dan berteriak-teriak menyorakiku sambil bertepuktangan. Aku langsung menutup dadaku dengan tangan. Duh… malu banget saat itu, dasar si Yoshi sialan, semua itu hanya akal bulusnya saja untuk melihatku telanjang!” Muka Paulin dicemberut-cemberutkan supaya terlihat kesal. Namun aku tahu bahwa dia sama sekali tidak merasa kesal. Yah seperti Lisa, kemungkinan besar Paulin menikmatinya juga.
“Akhirnya Yoshi masuk dan mengunci pintu dari dalam. Semua karyawan pria bersorak-sorak dari luar. Sebal sekali rasanya saat itu. Cengengesan aja Yoshi itu sudah mengerjaiku seperti itu. Ternyata dia ada pakaian ganti dan menyerahkannya padaku. Entah pakaian siapa itu dan kenapa dia menyimpannya, yang jelas aku langsung saja menerimanya karna pakaianku tentu tidak akan cepat keringnya. Tapi di situ aku jadi sulit mengelak juga dari tangannya yang nakal…”
“Yah, dia berhasil mencuri-curi kesempatan untuk meremas dada telanjangku setidaknya 2 atau 3 kali sebelum aku benar-benar bisa mengenakan pakaian yang diberikannya.” Lanjut Paulin sambil tetap memasang muka sok cemberutnya. Aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Mungkin seharusnya aku marah, tapi yang ada malah aku makin susah mengendalikan ereksiku. Sialnya, Paulin menyadari hal itu. Tangannya meraih selangkanganku dan meremasnya. Malu sekali aku karenanya. Paulin tersenyum nakal, “Duh mas ini genit deh… suka ya istrinya dikerjain orang begitu?” Godanya. “Sini dikeluarin, ga kasihan apa sama adek kecilnya, sempit begitu…” Ucapnya genit. Aku makin tersipu. Kutepis tangannya yang hendak membuka retsleting celanaku.
“Bukannya harusnya kamu pake bra saat itu???” Tanyaku gusar.
Mendengar pertanyaanku lagi-lagi Paulin malah tertawa tersipu, “Nah itu mas… Saat itu aku memang pas sengaja tidak memakainya. Itu juga dalam rangka tampil seksi menggoda teman-teman priaku...”
“Yah mungkin itu hukuman buatku. Sekalinya tampil berani nekat dengan tanpa BH seperti itu, eh akhirnya malah aku harus memperlihatkan semuanya pada teman-teman priaku.” Jelasnya sambil tertawa. Aku begitu terkesima mendengarnya. Bosnya mengerjainya seperti itu dan menganggapnya lelucon, dan ternyata Paulin pun menganggapnya sama. Semua hanya lelucon baginya, dan jelas sekali dia menikmatinya. Pikiranku berkecamuk sehingga lengah. Begitu kusadari, Paulin sudah berhasil mengeluarkan batang penisku dari balik celanaku. Dia terpekik girang seperti baru pertama kali melihat penis saja.
“Duh kasihan banget udah keras begini…” Godanya sambil melirikku nakal. Sial, malu sekali aku saat itu. Wajahku mungkin terlihat sangat memerah seperti kepiting rebus. Ah… Kenapa juga aku harus malu dengan istriku sendiri? Perasaanku benar-benar campur aduk.
Paulin mulai mengocok penisku pelan sambil tersenyum dan melirikku nakal. Tanpa mengatakan apa-apa aku sudah bisa mengerti apa maunya. Aku mengangguk dan Paulin pun beringsut turun dan berlutut di depanku…sore itu kami bercinta dengan hebat
##################################
The Second Affair
Aku harusnya bisa menduga, dengan suasana kerja Paulin yang seperti itu, besar sekali peluang untuk terjadi lagi perselingkuhan. Dan kenyataannya itulah yang terjadi. Tiap hari sejak hari itu Paulin pulang kantor lebih lambat dari biasanya. Namun karena tak pernah terlalu larut aku pun tak keberatan. Saat aku bekerja dulu, jika harus lembur tidak jarang sampai dini hari baru bisa pulang. Jadi kupikir itu hal biasa. Paulin mengatakan bahwa kantornya sedang ada proyek dari Jepang. Aku percaya, karna kadang dia juga membawa berkas-berkas pekerjaannya pulang. Terkadang aku juga diajak berdiskusi dan brainstorming terkait dengan pekerjaannya itu. Lagipula Paulin selalu pulang dengan menumpang mobil Yenni. Aku pun jadi tak terlalu khawatir. Seminggu kemudian sekitar jam 3 sore aku menelpon kantornya karna HPnya tak aktif saat kuhubungi. Saat itu aku hendak pergi dan mungkin tak ada di rumah saat istriku pulang. Kunci rumah akan kutitipkan pada tetangga sebelah. Sebenarnya hal ini sudah biasa, tapi aku tetap merasa perlu memberitahu Paulin. Teleponku diangkat. Yang menjawab suara pria. Entah siapa dia, aku memang tak mengenal seorang pun teman pria Paulin. Pria itu mengatakan bawa istriku sedang tak ada di tempat. Aku pun meminta bicara dengan Yenni karena biasanya dia yang mengantar istriku pulang.
“Halo Wan…?” Terdengar suara renyah Yenni dari seberang.
“Halo Yen, kamu tahu Lina kemana? HPnya nggak aktif waktu kutelpon…” Aku langsung to the point menanyakan Paulin. Yenni tertawa kecil dan menjawab, “Ooh Paulin sejak istirahat siang tadi keluar bareng Yoshi, ga tau deh kemana?”
“Bareng Yoshi? Sejak istirahat siang tadi sampe sekarang juga belum kembali?” Tanyaku gusar.
“Iya…” Jawab Yenni masih tertawa, “dasar Yoshi, mentang-mentang bos seenaknya aja pergi padahal banyak kerjaan numpuk nih di sini…” Lanjutnya santai. Aku tak tahu harus berkata apa, pikiran yang buruk langsung memenuhi kepalaku. Karna agak lama aku terdiam, Yenni tampaknya tahu kegelisahanku, tapi bukannya menenangkan dia malah menggodaku. “Ati-ati loh Wan punya istri secantik Paulin kudu dijaga bener-bener tuh… Apalagi dari buaya macam Yoshi! Hi hi hi…” Ujarnya terkekeh.
Kesal sekali rasanya mendengar itu. Aku tak mau menanggapinya. “Ya sudah nanti kalo Paulin sudah nyampe di kantor, please, suruh dia langsung menghubungiku ya?” Pintaku.
“Siap bos!” Jawab Yenni kocak.
Kututup telponku, tak jadi kutitipkan pesan pada Yenni. Bahkan akhirnya kuurungkan juga niatku untuk pergi. Sore itu aku gelisah menunggu telepon atau balasan sms dari istriku. Setelah 2 jam menunggu tanpa hasil, jam 5 sore kutelpon lagi kantornya. Jam segini biasanya jam kantor berakhir. Semoga masih ada orang di sana yang bisa menjawab teleponku.
“Halo… Sore…?” Suara wanita menjawab teleponku dan itu suara Paulin! Betapa lega ketika kudengar suara istriku sendiri yang menjawab langsung.
“Lin? Ini aku…” Sahutku.
“Ooh… Mas Wawan, ada apa mas…?” Jawab Paulin. Suaranya terdengar agak grogi.
“Kamu kutelpon dan ku-SMS sejak tadi… HPmu gak aktif?” Cecarku.
“Duh sori mas, HPku kutinggal di kantor, sejak tadi aku keluar sama Yoshi… Ini baru balik. Ada apa?” Jawab Paulin.
“Yenni ga bilang apa-apa ke kamu?” Tanyaku.
“Yenni? Aku nggak ketemu lagi sama dia, ini kita balik kantor udah sepi. Di sini tinggal Yoshi sama aku aja.” Jawabnya. Cemburu sekali rasanya mendengar dia tinggal berduaan saja dengan Yoshi setelah tadi sepanjang siang juga pergi berduaan. Aku enggan menanyakan kemana dia pergi tadi karna diam-diam aku malah takut sendiri mendengar jawabannya. “Ya sudah, kamu segera pulang kan? Ga ada lembur kan, katanya yang lain udah pada pulang?” Tanyaku lagi.
“Emmh, iya mas, semua memang udah pulang... Tapi…” Jawaban Paulin terputus.
“Kenapa? Masa kamu mau lembur sendirian?” Sergahku.
“Bukan itu mas, sudah ga ada lembur kok…” Jawabnya. “Cuman ini Yoshi kayaknya masih nahan aku…” Lanjutnya terdengar agak ragu saat memberitahuku. “Paling cepet jam 7 aku nyampe rumah mas… gapapa kan? Apa penting banget?”
“Bukan penting sih, tapi… Sayang, kamu ngapain sama bosmu lagi itu…?” Tanyaku gusar.
Paulin terdiam beberapa saat. “Mas, aku tutup dulu ya…?” jawabnya. Oh tidak. Dia mengelak menjawab pertanyaanku. “Maaf, ga enak, nanti aku ada berita besar untukmu mas, tungguin aku di rumah ya honey? Aku tutup dulu…” Ucap Paulin.
“Y…Ya… kutunggu nanti…” Jawabku pelan.
Aku harusnya mendampratnya dan menyuruhnya segera pulang. Tapi aku seperti tak punya daya untuk itu. Paulin menutup telpon. Pikiranku makin tidak karuan. Tapi kucoba untuk menenangkan diri dan berpikir positif. Aku bertanya-tanya mengenai berita besar yang tadi disinggung Paulin. Berita apa gerangan? Menunggu 2 jam lagi hingga jam 7 terasa begitu lama. Apalagi setelah lewat jam 7 Paulin belum juga pulang sebagaimana dijanjikannya. Aku makin gelisah dan tidak mood untuk melakukan apapun sampai Paulin pulang. Yang kulakukan hanya menunggu. Kusetel televisi tapi tak ada satupun acara yang menarik perhatianku. Kubuka-buka koran atau majalah, sama saja, pikiranku tidak dapat teralihkan. Akhirnya aku berbaring di ranjang hingga tanpa sadar aku ketiduran. Aku terbangun saat kurasakan belaian di pipiku. Saat kubuka mataku wajah cantik Paulin langsung menghiasi pandanganku. Ah… Istriku. Betapa leganya.
“Mas… maaf, nunggu lama ya?” Bisiknya pelan. Aku mengangguk. Kutengok jam dinding.
“Baru jam 9 kurang mas…” Tanpa kutanya Paulin menjawab seperti bisa membaca pikiranku. Kucium wangi sabun yang khas. Rupanya Paulin sempat mandi sebelum membangunkanku. Aku hendak bangkit tapi Paulin menahanku dan justru dia yang rebah di sampingku. “Gak usah bangun mas…” Ucapnya.
“Mas… ada berita besar yang harus kusampaikan.” Gumamnya sambil mengelus-elus dadaku.
“Ini berita gembira mas… Yoshi ingin aku pergi ke Jepang untuk ikut mengurus perusahaannya di sana...” Lanjutnya. Aku tersentak, kutengok wajahnya namun tak sepatah katapun kuucapkan. Paulin menyadari kekagetanku. Sambil tersenyum dia melanjutkan. “Surprise banget kan mas? Gimana menurutmu mas? Ini kesempatan besar bagiku dan jelas gajinya akan jauh lebih besar…” Ucapnya berbinar. “Kamu pernah bilang kan kalau kamu pingin sekali pergi keluar negeri…? Ketika kutanya, kamu bilang pertama pingin ke Amerika dan kedua kamu pingin banget ke Jepang. Masih ingat?” Tanyanya.
Ya aku memang ingat pernah berandai-andai seperti itu. Aku manggut-manggut saja dan masih belum tahu juga harus berkata apa.
“Well, sekarang semua bukan mimpi lagi mas… Yah, tapi harus dibalik… Pertama kita ke Jepang dulu, habis itu pasti nanti kita pasti bisa mengumpulkan uang untuk berlibur ke Amerika atau bahkan Negara-negara lainnya mas…” Ucap Paulin bersemangat.
“Tunggu dulu…” Akhirnya aku bersuara. “Kamu akan kerja apa di sana? Bareng Yoshi juga atau kamu sendiri, trus berangkatnya kapan, berapa lama, dan…” Aku memberondongnya dengan pertanyaan, tapi istriku segera memotong,
“Kerjaanku masih dalam lingkup kerjaan yang sama kayak sekarang mas. Advertising, periklanan, gitu deh… Yoshi ya tetap di Indonesia di kantor sini… Tapi sekali sebulan dia akan menengokku di sana. Di sana itu perusahaan keluarganya dia, tapi yang detilnya aku juga masih belum tahu banyak. Yang jelas Yoshi sudah mempersiapkan segala sesuatunya untukku di sana, dan minimal aku akan bekerja di sana sekitar 6 bulan…” Jelas Paulin panjang lebar.
“Itu perintah atau tawaran, sayang?” Tanyaku.
Paulin tertawa. “Ya itu tawaran mas… Kenapa? Apa kamu berpikir untuk menolak? Tapi tentu saja aku langsung menerimanya, kupikir kamu juga pasti setuju dan senang kan?” Jawabnya.
“Yah, entahlah… kurasa begitu…” Jawabku ragu. Kubelai rambutnya dengan lembut. Aku merasa harus mendukungnya, tapi kuberanikan diri untuk menanyakan tentang Yoshi.
“Sayang…?” Agak ragu aku melanjutkan.
“Ya…?” Sahut Paulin.
“Lalu apa yang terjadi antara kamu dan Yoshi tadi…?” Tanyaku pelan.
Untuk sesaat tampak keraguan dalam diri Paulin. “Mmmm… Sayang… Aku tak akan bohong padamu, kuharap kamu tak marah…” Jawab Paulin. Wajahnya tersipu. Oh tidak, tampaknya jawaban yang kutakuti memang harus kuterima.
“Apa… Apa dia merayumu lagi sayang?” Tanyaku gusar.
Paulin makin tersipu. “Well, sejak kejadian itu tidak ada hentinya dia merayu dan mengajakku lagi…” Jawabnya.
“Awalnya aku berusaha tegas dengan mengatakan sekali saja cukup. Aku bahkan sudah menjelaskan bahwa kamu udah tahu tentang kejadian itu. Dengan begitu kuharap dia berhenti merayuku…” Paulin berhenti sebentar dan menghela napas.
“Dan…?” Desakku.
“Tapi dia malah bertanya apakah kamu marah dan dendam… Kujawab tidak, aku bilang padanya bahwa kamu memaafkanku tidak akan mengungkit-ungkitnya lagi… Kupikir Yoshi akan segan dengan begitu dan tidak mengejar-ngejarku lagi. Tapi ternyata justru itu membuat dia makin liar. Dasar mesum, aku sudah kewalahan sekali menghadapinya… Dia pikir karna kamu tidak marah maka tidak ada masalah lagi bila kita mengulanginya. Aku jadi kehilangan alasan untuk menghindarinya lagi… Siang tadi adalah puncaknya. Yoshi mengajakku makan siang berdua di hotel dalam rangka memberitahukan tentang berita gembira itu.” Lanjut Paulin.
“Tentang Jepang itu?” Tanyaku.
“Iya…” Jawabnya. “Aku begitu senang mendengarnya, rasanya itu hadiah yang sangat besar buatku. Aku juga tak sabar untuk segera memberitahumu, tapi HPku tertinggal di kantor…” Lanjutnya.
“Kupikir sebagai tanda terima kasih aku akan memberinya kecupan sekedarnya saja, tapi dia malah memelukku dan balas mencium bibirku. Aku jelas tak bisa mengelak, apalagi di tempat umum begitu, entah bagaimana jadinya kalau aku berontak dan orang-orang akan melihat kita dan bertanya-tanya. Kita akan jadi pusat perhatian. Betapa malunya… Salah-salah akan terjadi salah paham. Aku khawatir Yoshi akan marah dan semuanya akan jadi berantakan. Aku pun berusaha bersikap wajar dan kubiarkan Yoshi mencium bibirku untuk beberapa saat. Tapi tiba-tiba Yoshi bangkit dan menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikutinya dan ternyata dia menuju 1 kamar. Tahu-tahu dia sudah memegang kunci kamar tersebut, agaknya dia sudah memesan kamar itu sebelum mengajakku kesana. Sayang… Aku tidak bisa menghindar lagi saat itu. Kuharap kamu tidak marah…” Akunya panjang lebar.
Aku bingung bagaimana harus merespon, darahku sudah naik ke ubun-ubun, tapi suaraku tercekat di tenggorokan.
“Ka… Kamu sudah tidur dengannya lagi…?” Betapa tololnya aku menanyakan sesuatu yang sudah jelas.
Paulin menghela napas. “Yoshi memang paling pintar kalo bikin rencana mesum begitu…” Keluhnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, menghindar jelas sudah tidak mungkin. Akhirnya aku mencoba berpikir positif saja. Dia sudah pernah sekali menyetubuhiku, dan kamu tidak mempermasalahkannya, jadi kupikir tidak ada salahnya bila aku melayaninya sekali lagi… Lagipula… Yah, dia sudah berbaik hati memberiku kepercayaan dan kesempatan yang besar. Sejujurnya hatiku memang sedang meluap bahagia karnanya saat itu…” Ringan sekali mulutnya mengucap pengakuan itu.
Berbeda dengan yang pertama, kini sama sekali tidak kulihat tanda-tanda penyesalan dalam dirinya. Aku sudah enggan mengomentarinya lagi. Aku juga tidak punya cukup harga diri untuk memarahinya. Kualihkan pandangan ke langit-langit kamar dan menerawang nanar. Kurasa Paulin menyadari kekecewaan dan kesedihanku. Dia memelukku dan merebahkan kepalanya di dadaku.
“Sayang… Aku sungguh minta maaf hal ini harus terjadi lagi… Tapi Yoshi hanyalah seorang mata keranjang yang gila seks. Dia sama sekali tidak berusaha merebutku dari tanganmu. Kurasa pernikahan bukanlah ide yang baik bagi orang-orang macam dia. Kurasa kamu tak perlu khawatir… Dia hanya ingin bersenang-senang denganku. Itu saja…”
Aku tetap diam. Kutelan mentah-mentah kata-kata istriku yang tidak masuk akal itu.
“Dan kupikir tidak ada gunanya aku menghindar. Aku tidak ingin seperti pelacur. Jangan membayangkan ini seperti aku menjual tubuhku demi kenaikan karir itu… Tidak sama sekali sayang… Satu-satunya jalan buatku adalah dengan mencoba menikmatinya juga. Dan, well… Hal itu tidaklah sulit...”
Kini aku benar-benar terusik.
“Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu tidak sulit?” Tanyaku gusar.
“Well… Kamu tahu, Yoshi memang pandai dalam urusan itu. Dari caranya merayu, melambungkan perasaan wanita, hingga caranya bercinta… Sungguh menakjubkan. Kupikir aku juga sedikit bersenang-senang hari ini sayang…” Jawab Paulin polos.
Detik itu juga harusnya aku benar-benar meledak, tapi yang terjadi justru anti klimaks. Darahku yang sudah memuncak di ubun-ubun kini mengalir turun kembali. Tubuhku lemas tanpa daya, otakku tak dapat berpikir jernih. Kupikir malam ini akan kudengarkan cerita istriku sampai tuntas dan menelannya mentah-mentah.
“Sayang, kamu tentu tidak mengharapkan aku pulang sambil menangis dan membawa kabar buruk bahwa istrimu ini telah diperkosa bukan?” Lanjut Paulin. Dalam hati aku protes. Kupikir kalaupun Paulin menolak, Yoshi tidak akan sampai nekat memperkosanya. Tapi, yah aku tidak sampai mengucapnya. Semua itu kusimpan dalam hati saja.
“Harus kuakui, aku juga sedikit terbawa suasana. Kami bercinta sekali saja tapi tidak tergesa-gesa. Yoshi juga tidak ambil pusing untuk cepat-cepat kembali ke kantor. Sepertinya dia ingin menikmati waktunya bersamaku tanpa gangguan apapun. Setelah bercinta dia juga dengan santainya tidur siang dengan pulas. Aku sebenarnya tidak enak dengan teman-teman di kantor karna… yah, kamu tahu, kerjaan sedang banyak-banyaknya saat ini.” Paulin menghela napas sebentar dan melanjutkan. “Tau-tau hari sudah sore dan ketika kami kembali ke kantor, semua sudah pulang termasuk Yenni. Kupikir tak apa, toh aku biasa naik taksi sendiri. Tapi Yoshi ingin bersamaku sedikit lebih lama lagi dan dia berjanji akan mengantarku pulang… Saat itulah kamu telpon…”
“Ya, dan kamu menutup begitu saja tanpa menjelaskan apapun. Tahukah kamu gimana gelisahnya aku nungguin kamu pulang?” Timpalku mencoba menunjukkan sedikit rasa keberatan.
“Aku benar-benar minta maaf soal itu sayang… Tapi bagaimana lagi, aku tidak mungkin menceritakannya di telpon juga kan?” Jawab Paulin.
“Aku benar-benar cemburu, orangnya seperti apa sih Yoshi ini?” Tanyaku ketus.
Istriku tertawa. “Kalau kamu ketemu orangnya kamu bakal tahu kalau kamu tidak perlu cemburu padanya sayang…” Jawab istriku. “Kamu tahu nggak, justru Yoshi itu yang cemburu berat sama kamu. Dan bukan hanya Yoshi, semua teman-teman priaku juga begitu. Mereka penasaran siapa dan kayak apa kamu yang berhasil memiliki aku! Betapapun Yoshi sudah mencicipi tubuhku, tapi itu ibarat seujung kotoran di kuku saja dibanding dengan apa yang kamu miliki. Kamu itu memiliki aku sepenuhnya sayang… Jiwa dan raga...!” Ujarnya tegas.
Aku tak tahu apakah seharusnya aku tidak termakan rayuan itu, tapi aku merasakan ketulusan di dalam ucapannya itu. Dan perasaanku pun melambung.
“Kamu tahu sayang… Seperti kamu punya harta milyaran dan kamu memberi sedekah 100 rupiah pada pengemis di pinggir jalan.” Celetuk istriku lagi. Aku tersenyum kecut mendengarnya, dan istriku juga ikut tertawa kecil.
“Udah ah ngaco aja analogi kamu tuh…!” Sahutku ketus.
“Kamu tahu, aku benar-benar tegas menolak Yoshi sore itu dan minta segera diantar pulang. Tapi Yoshi berkata bahwa dia tak akan membawaku ke hotel lagi. Dia ingin bercinta di situ juga, di dalam ruang kantor kami yang sudah sepi. Bahkan di lorong gedung atau di dalam lift. Aku benar-benar kaget dengan ide gilanya itu. Dia mengutarakan semua itu dengan gamblang dan vulgar. Tapi… Aku jadi kepikiran dan mempertimbangkannya juga. Kamu tahu, itu benar-benar ide gila dan kupikir aku ingin mencobanya juga. Hanya untuk merasakan sensasinya saja sayang…” Paulin terus melanjutkan ceritanya. Dan sialnya aku mulai terbawa lagi ke dalam ceritanya. Ya, penisku mulai berdenyut dan menggeliat. Ah persetan, pikirku.
“Lalu apakah kalian benar-benar melakukannya?” Tanyaku penasaran.
“Yah tentu saja sayang, dan tahu nggak? Itu memang benar-benar ide bagus!” Sahut istriku bersemangat. “Maksudku…Yah kupikir kita perlu juga sekali-kali mencobanya…” Ujarnya serius. Sableng. Aku benar-benar jadi tidak mengerti jalan pikirannya.
“Awalnya kami bercinta di dalam kantor. Gila. Kami bercinta di atas meja kantor dan berpindah-pindah dari satu meja ke meja lainnya. Membayangkan besok teman-temanku akan bekerja di mejanya masing-masing tanpa mengetahui bahwa kemarinnya kami telah bercinta dengan hebat di atas mejanya itu saja sudah menimbulkan sensasi tersendiri. Apalagi ketika Yoshi nekat menarikku keluar kantor dan menyetubuhiku di lorong gedung. Aku benar-benar takut dan menolak pada awalnya… Tapi makin besar kekhawatiranku, makin besar pula sensasi yang kurasakan. Yoshi meyakinkanku bahwa seisi gedung sudah pulang semua. Memang biasanya kantor kami yang paling terakhir tutup kalau hari sabtu begini. Dan seisi gedung memang benar-benar sepi. Paling-paling cuma ada satpam di lantai bawah saja, dan mereka jarang sekali berkeliling.” Aku mendengarkan Paulin yang terus bercerita dengan santai. Aku tak pernah datang ke kantor Paulin, jadi aku tak tahu bagaimana gambaran interior kantornya atau bagaimana suasana gedungnya secara keseluruhan. Tapi yang kutahu gedungnya memang tidak terlalu besar. Hanya 3 lantai dan tidak lebih dari 10 kantor yang ada di sana. Ah… Sungguh ganjil suasana ini. Seorang istri menceritakan kejadian detil perselingkuhannya kepada suaminya sendiri. Si istri bercerita dengan semangat dan si suami menjadi pendengar yang baik. Itulah keadaan kami sekarang, and I don’t really give a damn no more… sigh.
“Sayang, kamu pasti tak percaya dengan apa yang kami lakukan selanjutnya… Yoshi mengajakku turun ke lantai 1 dan tidak mengijinkanku untuk berpakaian sama sekali!” Ucap Paulin bersemangat.
Oh, sulit sekali memang bagiku untuk mempercayainya. “Tidak masuk akal, aku tidak bisa membayangkan kalian berdua telanjang berkeliaran di dalam gedung…” Protesku.
Paulin terkekeh. “Kamu tahu sayang, Yoshi tidak pernah telanjang bulat saat bercinta… Dia selalu menyisakan kaos dan celana kolornya untuk tetap dipakai. Betapapun hebatnya kami bercinta, sampai keringatnya banjir juga tidak mau buka baju dia. Tampaknya dia tidak pede dengan tubuhnya yang gendut itu.” Jelasnya sambil terkekeh. “Itulah yang membuatku cukup kesal pada awalnya, kalau kita sampai kepergok satpam tentu aku yang paling malu. Dia sih enak pakai baju. Tapi itulah Yoshi, kalau sudah bercinta, apa yang dimaunya tak bisa dibantah. Aku pasrah saja dia menggelandang aku telanjang bulat di lorong gedung. Di lift kami bercinta sambil berdiri. Perasaanku tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata mas…” Lanjutnya dengan mata berbinar. “Di lantai 1 pak Joko dan pak Gito asik menonton TV di meja resepsionis. Mereka berdua satpam di gedungku mas. Kamu tahu, begitu lift terbuka, kita langsung bisa melihat ke arah meja resepsionis, dan kalau saja mereka menengok ke arah lift tentu mereka juga akan langsung melihat kami. Untunglah perhatian mereka mengarah pada TV itu… Itu benar-benar gila sayang… Kamu pasti susah mempercayainya tapi itulah yang terjadi dan aku cukup terbawa suasana itu. Kamu tahu, saat itu aku mengalami orgasme hebat. Sumpah! Aku sendiri tidak tahu ternyata aku bisa begitu terangsang dengan itu. Aku tidak pernah kepikiran, dan kalau bukan karna Yoshi tentu aku tidak akan pernah mencoba dan merasakan sensasi itu.” Suara Paulin memelan. Dia menghela napas dan melirikku dengan tatapan sayu. Oh tidak, kuharap dia tidak menyadari bahwa aku juga sedang terangsang dengan mendengarkan ceritanya itu.
“Sayang, bukannya aku mengatakan hubungan seks kita mengecewakan… Tidak sama sekali. Percayalah…” Ucapnya. Ah, tampaknya dia khawatir aku tersinggung. “Selama ini kamu sangat hebat dan bisa memuaskanku. Aku tak pernah mengeluh. Kamu tahu aku jujur kan?” Tanyanya. Aku mengangguk pelan. “Yaah… Aku juga tidak mau membayangkan kamu berselingkuh dengan Yoshi gara-gara aku tidak bisa memuaskanmu…” Ucapku datar.
“Tidak sama sekali sayang. Percayalah!” Sahut Paulin cepat.
“Well… Kuharap begitu…” Aku menjawab lirih.
“Aku hanya menyadari bahwa ada variasi permainan cinta yang bisa membawa kita pada level kepuasan yang lebih tinggi. Itu yang kualami tadi, dan… dan aku benar-benar berharap suatu saat kita bisa mencobanya…” Paulin tampaknya serius mengucap itu. Dan aku makin terangsang juga membayangkannya. Entah aku berani mencobanya atau tidak. Jelas aku tidak segila atau se’kreatif’ Yoshi. Kutarik napas panjang dan menghelanya. “Lalu apa yang terjadi kemudian?” Tanyaku penasaran.
“Yoshi mendatangi pak Joko dan pak Gito. Aku sendiri disuruhnya bersembunyi di balik dinding. Aku tak tahu apa yang disampaikan Yoshi, yang jelas dia berusaha menyuruh para satpam itu pergi. Kurasa Yoshi memberikan sejumlah uang pada mereka untuk beli rokok atau apa…” Tutur Paulin melanjutkan ceritanya.
You know what? Gilanya, aku sempat membayangkan Yoshi mengajak kedua satpam itu bergabung dengannya menyetubuhi Paulin. Entah dengan bayangan itu aku khawatir atau justru berharap. Oh tidak! Kupikir aku sedikit mengharapkannya. What the fuck…?! Apa yang terjadi pada diriku? Ini benar-benar tidak normal.
“Kamu tahu, aku dapat menangkap keheranan pak Joko dan pak Gito ketika melihat Yoshi muncul hanya mengenakan kaos dan celana kolor dengan tubuh penuh keringat. Kuharap Yoshi berbohong dengan mengatakan bahwa dia sedang berolah raga, tapi kalau begitu apa kepentingan Yoshi dengan menyuruh para satpam itu pergi…? Perasaanku berkecamuk saat itu. Kupikir… Yah, kemungkinan besar pak Joko dan pak Gito tahu apa yang terjadi. Aku jadi kepikiran bahwa ini bukan pertama kalinya bagi Yoshi… Dan kedua satpam itu seperti sudah hafal dengan itu. Yah… Kupikir begitu… Dasar Yoshi…!” Tampak gemas Paulin mengucap itu. “Setelah mereka pergi Yoshi memanggilku. Aku tak pernah membayangkan berjalan-jalan telanjang di dalam gedung, dan di lantai 1 itu aku benar-benar merasakan sensasinya. Kamu tahu, seperti kebanyakan gedung, pintu gedungku juga terbuat dari kaca sehingga orang dari luar bisa melihat ke dalam. Itu sungguh luar biasa, jantungku berdebar hebat saat itu membayangkan betapa tiap harinya ramai orang lalu lalang di situ. Dan bukan hanya berjalan-jalan telanjang, Yoshi langsung mencumbuku lagi dan kami mulai bercinta di atas meja resepsionis. Ya, di atas meja bukan di baliknya! Yoshi merebahkan aku di situ dan menyetubuhiku sambil berdiri.”
Sial. Penisku kini benar-benar tegang. Aku tak tahan lagi, segera kukeluarkan dari balik celana supaya lega. Paulin tersenyum tapi tidak berkomentar apa-apa. Dengan tanggap, tangan kanannya meraih penisku dan mengelusnya lembut.
“Itu hal tergila yang pernah aku lakukan sayang. Dan aku benar-benar khawatir seseorang akan lewat dan melihat apa yang sedang kami lakukan di dalam gedung itu. Yah walaupun peluangnya kecil… Aku meminta berganti posisi doggy supaya aku bisa melihat ke arah pintu. Kamu tahu? Yoshi tidak terlalu suka posisi doggy itu. Beda banget sama kamu…” Ujar Paulin terkekeh.
Gerakan belaian tangannya di penisku kini berubah menjadi kocokan pelan. Wajahku memerah, yah, doggy style itu adalah posisi favoritku saat bercinta. Dan oh, betapa sekarang aku menginginkannya. Tapi kurasa akan kudengarkan dulu cerita istriku sampai tuntas.
“Walau keberatan Yoshi mengabulkannya. Awalnya aku turun dan berdiri menungging sambil memegang meja. Dengan begitu aku bisa mengawasi pintu. Kami bersetubuh beberapa saat dengan posisi itu. Dan kemudian aku mempunyai ide yang cukup gila… Aku merangkak ke atas meja sehingga posisiku kembali sepenuhnya di atas meja. Seluruh tubuhku jadi terekspos semuanya tanpa ada yang tersembunyi di balik meja. Itu kalau aku membayangkan ada orang yang menonton kami dari luar. Hi hi hi… Tapi tentu saja aku tak mau hal itu terjadi, itu hanya khayalanku saja… Tapi hanya dengan membayangkan saja ada sensasi kenikmatan tersendiri yang kurasakan.”
“Kami selesai sebelum gelap. Yah, sebenarnya sudah cukup gelap dan aku benar-benar khawatir pak Joko dan pak Gito akan kembali untuk menyalakan lampu….” Paulin menghela napas. “Sayang… Semoga kamu tidak marah kalau kuakui dengan jujur bahwa aku sungguh menikmatinya. Itu adalah hal baru dalam hidupku, dan… kurasa… Yah, aku berterimakasih pada Yoshi yang membuatku mengalaminya…” Paulin seperti gemas membayangkan apa yang dialaminya tadi sebagaimana dia menceritakannya. Aku dapat merasakan dari kocokannya di penisku yang kini semakin kencang. Kurasa aku akan keluar tapi tidak kuhentikan gerakan Paulin. Kubiarkan saja dia terus melakukannya. Yah, rasanya aku akan membiarkan diriku mengalami orgasme hanya dengan servis tangan Paulin. Kutarik tubuh Paulin makin erat ke dalam pelukanku. Paulin nampaknya mengerti, dia pun mempercepat kocokannya hingga, “Craatz…!” Spermaku menyembur keluar tanpa ampun. Oohhh… Aku melenguh pelan, tak peduli spermaku akan mengotori sprei ataupun celanaku. Kubiarkan orgasmeku membuncah hingga tuntas. “Ahhhhh….” Desahku lirih merasa lega.
Paulin tersenyum dan menciumi pipiku. “Terima kasih sayang…” Bisiknya.
Diambilnya tisu dan mulai membersihkan spermaku. Aku diam saja tak bergeming. Kubiarkan Paulin membersihkan penisku dan melucuti celanaku yang paling banyak terkena lelehan sperma. Dia melakukannya tanpa sungkan, kurasakan ketulusan seorang istri yang melayani suaminya.
“Lin…” Aku menggumamkan namanya tanpa ada apapun yang hendak kusampaikan.
Paulin tersenyum melirikku tanpa menjawab. Sejenak dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangannya dan melempar celana kotorku ke dalam ember cucian. Saat kembali dia membawakan celana ganti dan memakaikannya untukku. Hal ini sudah sangat biasa. Beginilah gambaran istriku yang senantiasa melayaniku dengan sepenuh hati. Walau dia bekerja, tak pernah dia mengeluh untuk melayaniku juga sebagai suaminya di rumah. Aku jadi gemas dan segera kutarik dia kembali ke dalam pelukanku. Kuciumi pipi lembutnya dengan gemas. Paulin melenguh manja dan itu membuatku semakin gemas terhadapnya.
“Kamu nakal Lin…” Bisikku. Paulin tersipu tak menjawab. Kubelai-belai pipinya dengan lembut. Kedua mata kami bertatapan sayu. “Biarlah Yoshi memetik sedikit kenikmatan darimu, tapi kamu tetap milikku seutuhnya…” Ucapku tegas.
Paulin tersenyum. “Tentu mas… Aku milikmu seutuhnya. Aku senang kamu tidak membiarkan kenakalan Yoshi merusak kebahagiaan kita…” Jawabnya.
Untuk sesaat aku dan Paulin berbaring tanpa mengucap sepatah kata pun. Kepala Paulin direbahkan di atas pundak kananku. Kubelai-belai rambutnya dengan lembut dengan tangan kananku yang mendekapnya. Mata kami juga tidak terpejam. Kami seakan asyik dengan pikiran masing-masing, dan aku cukup menikmati suasana hening itu.
“So… Jepang…?” Gumamku memecah kebisuan.
Paulin menatapku dan tersenyum. “Everything is gonna be great, honey…” Ucapnya.
“Kamu tahu aku akan selalu mendukungmu sayang… Jadi, kapan kita berangkat?” Tanyaku.
“Tidak terlalu terburu-buru kok. Kapan kita siap aja, kita harus pamitan dulu dengan orang tua dan saudara…” Jawab Paulin. “Tapi sebenarnya Yoshi sih berharap aku sudah siap dalam bulan ini…” Lanjutnya.
Aku termenung membayangkan dalam sebulan ini kami harus pindah ke Jepang. Entah apa yang bisa kulakukan di sana nantinya. Apakah peran ‘bapak rumah tangga’ akan terus kujalani? Aku tahu Paulin tidak ingin pikiran-pikiran seperti ini terus merisaukan diriku. Tapi sebagai laki-laki naluriku tak bisa menolak untuk terus memikirkannya.
***********************
Begitulah cerita yang mengawali kisah kami yang kini sudah berada di Tokyo. Paulin sudah tertidur pulas dalam pelukanku, sementara mataku masih saja belum bisa tertutup. Entah jam berapa sekarang. Suasana rumah besar ini sangat sepi. Tapi bukannya membuatku mengantuk melainkan malah membuat pikiranku makin menerawang. Yah, lagipula ceritanya memang masih belum selesai. Yang disinggung-singgung Paulin tadi adalah masalah ‘pesta itu’. Lamunanku tadi memang lebih mundur ke belakang. Aku menghela napas panjang. Perasaan aneh berdesir di dalam dadaku. Entah perasaan apa itu. Campur aduk yang kurasakan. Memang, perselingkuhan istriku dengan Yoshi tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang terjadi dalam ‘pesta itu’. Pesta perpisahan istriku dan teman-teman sekantornya, termasuk Yoshi. Ah, pikiranku pun kembali menerawang mengingat-ingat pesta itu. Kembali ke malam di hari perselingkuhan kedua Paulin. Tidak terjadi apapun setelah cerita tadi. Kami berdua tertidur pulas dengan mimpi masing-masing. Esoknya hari minggu, kami langsung memanfaatkannya untuk mengunjungi orang tua kami masing-masing untuk memberitahu dan sekaligus pamit. Kami juga menyempatkan mengunjungi beberapa teman dan keluarga yang kami anggap perlu untuk dipamiti. Keesokan harinya di hari Senin, Paulin berangkat kerja seperti biasa. Sepulangnya dari kantor itulah Paulin memberitahukan tentang rencana ‘pesta itu’. Ya, Yoshi dan teman-temannya sekantor mencetuskan pesta perpisahan untuk dirinya. Bahkan mereka meminta pesta itu diadakan di rumah kami yang memang cukup luas. Paulin tidak bisa menolak dan membujukku untuk mau menjadi tuan rumah menerima Yoshi dan teman-temannya untuk berpesta di rumah kami. Awalnya jelas aku sangat keberatan. Aku sama sekali bukan orang yang gemar berpesta. Lebih dari itu aku paling tidak tahan dengan suasana bising. Akan tetapi, demi istriku aku pun mengalah. Lagipula aku yang penasaran dengan sosok Yoshi berpikir bahwa ini kesempatan untuk bisa bertemu dengan bos Paulin itu. Saat itu aku tidak punya pikiran buruk apapun mengenai apa yang akan terjadi di dalam pesta yang akan diadakan di akhir pekan mendatang itu. Yah… Kalau saja aku tahu…
**************
Bersambung ke ‘New Life in Japan Part Half : The Party’
By: enamsembilan
****************
29 komentar
baca dulu ah….
Cerita Paulin cukup bagus, alurnya khas banget om 69, walaupun ceritanya terkesan dikit berat, apalagi ada bagian flashback juga yang bikin detail (moga Sarahnya juga di flashback ntar hehehe…)
Nice story….
Keren banget ceritanya,tp sayang gambar dan namanya kurang terlihat “jawa”nya.hehe
Thumbup!
Buat yang bilang cerita di atas terlalu berat, maaf2 banget ya, mungkin kadar pengetahuan kalian yang enteng
Bro 69: lanjutgan!
ganti header nih?
ceritanya jangan terlalu lama nganggur ya..
keburu lupa nantinya.
10 Jempol untk bos..
kalo di tambah seeeppppp..
Jangan lama-lama lanjutannya.
Kapan-kapan ikut ngirim cerita yah.
nice story masbrow..
bikin horny n mupeng,
bos shu, itu fotonya paulin next dibikin agak gedean dong spy tambah hottt imajinasinya…
ditunggu lanjutannya.. hakhakhakhak…
alurnya muter” tapi TOP BGT dah…….
@ferry : sama dong kalo dulu suka baca novelnya bu dokter Mira W. btw, ga beda dengan cerita sarah, cerita ini juga terinspirasi dari cerita lain yang menurut gw bagus banget. gw yakin nanti di cerita kedua ‘the party’ banyak yang ‘ngeh’ cerita mana yang gw maksud. he he he… maklumlah, belum bisa bikin imajinasi sendiri. dan di cerita tsb, sudut pandangnya memang dari suami, dan justru itu yang bikin keren…
@dodo : sarah pasti gw selesein, ini cari suasana baru aja… masalah lama rilisnya, sekali lagi itu hak prerogatif bos shu utk ngatur antriannya. gw usahain buat produktif…
gw bacanya pake bb soalnya,jadi ngga bisa di bookmark,kalo pacar tau gw dapet ilmu dari sini kan tengsin ahahaha
trus gimana nih nasib tejo dan teman2 nya di naughty sarah…. udah nggak tahanh nih pengen tau sarah di puasin sm tejo sepanjang seminggu ditinggal mas heru pergi hehehehehehehe…..