Mona |
Sudah lewat tengah malam. Aroma rusa guling bakar menyeruak hidungku. Air liurku menetes, demi menyaksikan Kibo yang ligat membolak balik hasil buruan kami di atas api unggun. Kami sama-sama lapar berat, karena sudah hampir setengah harian berburu rusa di rimba Papua. Untung saja, Kibo berhasil membidik seekor rusa malang yang sedang lengah.
Mata rusa itu mengerlip seperti lampu. Kibo mengarahkan dengan hati-hati senapan laras panjang jenis Mauser ke arah buruan. Ia tak ingin menimbulkan gaduh. Ah. Seekor rusa dewasa.
Aku menunggu di belakang dengan senter di tangan. Sebagai seorang perempuan, aku kurang mahir berburu. Tapi kalau temanku yang berkulit hitam dan bertubuh tegap ini, jangan ditanya. Berburu rusa adalah sumber hidupnya, sebagai orang asli Papua. Selain babi, tentunya.
Kibo memberiku aba-aba untuk mengarahkan senter tepat ke arah rusa itu. Mendadak rusa itu diam mematung, terpaku melihat sinar. Dalam hitungan detik, suara senapan meletus, memekakkan telinga.
Bidikan Kibo yang jitu, berhasil melumpuhkan buruan kami seketika. Dengan cekatan Kibo menyembelih dan membuang isi perutnya. Aku terkekeh-kekeh senang melihatnya. Akhirnya kami bisa makan malam.