~*----------*~
Mio & Mayu |
Di tepi sebuah danau kala sang surya telah membumbung di angkasa. Sepasang gadis remaja saling memuaskan hasrat. Cahaya matahari yang menyelinap di sela awan putih berarak, menerpa tubuh mereka yang saling merapat di atas rerumputan. Sebuah pohon yang tak seberapa besar, menjadi saksi bisu pergumulan mereka. Terlihat di sana, gadis berbaju merah dengan pita kecil tersemat di sela kedua payudaranya. Rambutnya panjang sebahu, tergerai lurus, tersibak desiran angin. Dialah Mio, remaja cantik dengan dada membusung, sedang memanjakan vagina saudara kembarnya yang berbaring seraya mencengkeram akar-akar pohon dengan kedua tangannya.
"Hihihi.... Udah keenakan ya...." Gadis itu mengangkat wajahnya yang sempat terbenam di sela kedua paha mulus milik saudara kembarnya.
Saudara kembarnya, yang memiliki wajah cantik serupa, kini mulai membuka kelopak matanya perlahan. kemeja merah dengan warna senada dengan yang dikenakan Mio masih dikenakannya kendati seluruh kancing yang menautkan kedua sisinya telah terlepas. Postur tubuhnya pun serupa, dengan dada sama besar yang membusung, mereka bagai pinang dibelah dua. Hanya model baju dan gaya rambutlah yang membedakan mereka. Rambut kedua gadis itu sama-sama tergerai sebatas bahu. Namun, jika Mio membiarkan rambutnya tetap lurus, lain hal dengan saudaranya. Rambut berwarna cokelat itu ia potong model shagy dan di blow mengarah ke dalam. Dialah Mayu, saudara kembar Mio.
"Yahh... Kok gak diterusin sih?" Mayu mengusap-usap klitorisnya yang berada di hadapan wajah Mio.
"Sama-sama dong sayang.... Kamu tuh maunya enak sendiri..." Mio kini menegakkan badannya.
Jemarinya yang lentik, dengan lincah meraih kancing-kancing berwarna hitam yang mengaitkan kemejanya. Perlahan, kemeja itu mulai terbuka. Dimulai dari kancing paling bawah, lalu keatas. Pita kecil berwarna merah itu ia tarik dengan sebelah tangan, dan diletakkan di rerumputan. Sepasang payudara ranum itu kini membusung bebas di tengah udara. Mempertontonkan puting mungil berwarna kemerahan yang telah mengeras. Mio mulai merangkak naik ke atas tubuh Mayu yang masih berbaring di tanah.
"Mmmhhhh...yyaahhh... Terus... Aaacchhh.."
Mayu menggeliang perlahan ketika Mio menyapukan lidah pada sekujur tubuhnya seraya merangkak naik. Payudara Mio kini menggantung. Ujung puting susu itu ikut membelai tubuh indah Mayu ketika ia merangkak.
"Ssshhh mmmhh....." Mio mendesah pelan merasakan sensasi ketika puting payudaranya bergesekan.
Mayu mulai merangkulkan kedua lengannya, meraba tubuh Mio yang sedang menghujaninya dengan berjuta rangsangan nikmat. Sebuah lecutan listrik pada otaknya, membuat tubuh Mayu menegang ketika bibir Mio mulai mengecup dan mengulum puting payudaranya. Mayu memejamkan matanya rapat-rapat. bibir bagian bawahnya yang mungil ia gigit dengan gemas. Desiran angin pegunungan yang sejuk, seakan membuai angannya agar terbang menjauh.
Mio memainkan lidahnya sejenak. Seakan mengundang puting susu Mayu untuk berdansa bersama lidahnya.
"Nnnggghhhhh..... Isepin toket aku Mio... Ahhhh....."
Mio mengecup lembut puting itu, lalu kembali beranjak naik.
"Mio..... Tega banget sih nyiksa akuuhhh.. Aaacchh..." Racauan Mayu ketika Mio beranjak dari payudaranya tiba-tiba berhenti.
Sapuan lembut itu kini meraih titik paling sensitif dari tubuh bagian atasnya. Mio tahu, saudaranya itu sangat senang jika lehernya dijamah. Dengan perlahan, lidah Mio menyapu leher jenjang saudaranya dari kiri ke kanan.
"Ooohhhh... Yesss.... Mio....."
Mayu mencengkeram kuat bahu saudaranya. Sapuan lidah itu kini berganti, menjadi sebuah kecupan lembut yang semakin menguat.
"Cupppp" kecupan itu meninggalkan rona merah yang sangat kontras dengan warna kulit Mayu.
"Enak kan???" Mio tersenyum puas memandang wajah Mayu yang tenggelam dalam hasrat birahi yang semakin memuncak.
"Hihihi.... Kamu emang paling ngerti aku kak..."
Wajah mereka saling berhadapan. Dua pasang mata berwarna cokelat kini bertemu pandang. Perlahan, saling mendekat. Senti demi senti, hingga jarak antara kedua bibir mereka sudah tidak ada lagi. Tubuh kedua insan itu kembali merebah, larut dalam pergumulan mengejar nafsu yang kian membara. Mio dan Mayu, sepasang saudara kembar itu mulai meraba tubuh pasangannya. Jemari lentik mereka mulai menjamah, mencari arah jalan pulang kedalam sebuah lorong sempit yang hangat.
"Aaaaahhhh..." Mio mendesah.
"Iyyyaaaaaahhh.... Disitu kak.... Masukinn...ahhh..." Mayu menyahut
Kedua tangan mereka kini telah menemukan pasangan hidupnya. Perlahan, Mio dan Mayu membuka paha mereka lebar-lebar. Rok bermotif kotak-kotak merah itu tersingkap. Membuka tabir yang menghalangi kedua vagina mereka dari pandangan. Mereka kembali larut dalam pagutan mesra, lidah mereka menarikan tarian abadi dalam rongga mulut mereka yang saling berhimpit.
"Mmhh....mmmhhhh..." Hanya gumaman kecil yang terdengar ketika jemari mereka mulai bergerak-gerak lincah di dalam liang persenggamaan yang kian basah.
Rongga itu mulai berdenyut, jemari tangan mereka dapat merasakan dengan jelas, hasrat pasangan mereka yang semakin memuncak. Tangan yang lain, seakan mengetahui apa yang menjadi kewajibannya. Mereka bergerak bersamaan, gerakan itu serupa, sangat presisi. Bagai bayangan yang bergerak di balik cermin. Kedua tangan itu kini meraih puting susu pasangannya. Sedikit gerakan mencubit, memutar, memilin, dan menarik-narik, membuat kedua insan itu kian terpacu untuk mempercepat kocokan pada vagina pasangannya. Badai lecutan listrik terjadi dalam kepala mereka. Dapat mereka rasakan dengan jelas, aliran hangat dari darah yang berdesir pada sekujur tubuh. Tengkuk mereka semakin hangat, berbanding lurus dengan suhu lidah mereka yang semakin liar bertautan.
"Aaaahhhh....ahhhh..." Mereka melepaskan pagutan itu, tak kuasa menahan desahan yang meronta ingin di dengar dunia.
Nafas mereka kian memburu. Kocokan pada vagina mereka juga kian cepat. Seiring dengan makin kuatnya denyutan vagina yang menjadi pertanda puncak kenikmatan itu semakin dekat.
"Aaaahhhhh....aaaaaaaaaaccchhh....." Mayu mendesah hebat. Diikuti oleh Mio dengan nada yang sama. Paduan suara mereka seakan menyanyikan sebuah lagu yang membuai nafsu mereka.
Tiga jemari kini mereka masukkan sedalam mungkin pada vagina pasangannya.
"Ooohhhhhh...... Sedikit lagi Mayu....aaaaahhhhh......." Mio mulai meracau.
"I-iyaahh..... Aku jugaaaa.........."
Jemari itu mereka tancapkan serentak. Sedalam mungkin, dapat mereka rasakan ujung jemari mereka menyentuh mulut rahim pasangannya. Ketika jemari itu mulai bergerak liar, lenguhan panjang terdengar.
"Kkyyaaaaaaaahhhhhh....." Mayu mendongakkan wajahnya.
"Aaakkhh...aaaaaaaaaahhhhhhh..." Diikuti oleh Mio.
Dari sela jemari yang masih menancap dalam vagina mereka, sepercik cairan hangat menyeruak keluar. Menandakan puncak kenikmatan yang telah mereka raih bersama-sama
~*----------*~
"Cantik banget......" Mayu yang sedang mengaitkan kancing kemejanya tiba-tiba berseru.
"Hmmm??? Apa?" Mio menoleh
Seekor kupu-kupu dengan warna merah menyala, kini terbang menghampiri mereka. Mata mereka seakan terhipnotis oleh kupu-kupu yang terbang seraya meninggalkan jejak cahaya merah di udara. Bagai seekor burung phoenix yang teramat cantik. Perlahan, kupu-kupu cantik itu mendekati Mayu.
"Kak.... Liat..." Mayu tersenyum riang.
Kupu-kupu itu kini hinggap di dadanya. Mio mandang takjub. Belum pernah sekali pun dalam hidup mereka, melihat kupu-kupu secantik itu. Namun, belum sempat mereka mengagumi keindahan kupu-kupu itu, ia menghilang. Bagai kemilau api yang terbang keudara. Kupu-kupu itu menguap, hilang tanpa bekas.
"Aaakkhhhh...." Mayu tiba-tiba memekik.
"Mayuuu....." Mio mengulurkan tangan meraih tubuh adiknya.
Sebuah bayang-bayang transparan kini terlihat melingkar di leher Mayu. Sebuah rantai mengikat lehernya.....
"Mayu..... K-kamu ngak apa-apa"
Mio terlihat panik, namun bayang-bayang transparan yang melingkar di leher Mayu kini memudar. Mayu masih terdiam. Mencoba mengatur napasnya yang sempat tercekik.
"Apa itu tadi??" Tanya Mio.
Mayu hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Ia sendiri tak tau pasti, apa yang barusaja terjadi pada dirinya. Dengan sebelah tangan, Mayu mencoba meraba lehernya. Namun ia tak menemukan apa-apa. Mio sudah sedikit tenang, ia kembali merapikan pakaiannya.
"Ya udah... Kita pulang aja yuk... Ngak enak lama-lama disini. Mayu mau makan a........" Mio menoleh kearah Mayu, namun saudara kembarnya sudah tak ada disana. "Pa......"
Mio menoleh kesegala arah, mencoba mencari kemana Mayu pergi.
"Mayuu....." Panggil Mio lirih.
Separuh kancing bajunya belum selesai ia kaitkan, Mio segera bangkit berdiri.
"Mayu......." Panggilannya kini sedikit agak keras. Mio mulai berjalan.
Mio berjalan ke arah jalan setapak satu-satunya yang menghubungkan danau itu dengan tempat tinggal mereka.
"Mayuuuuu....." Mio mulai putus asa. Ia berlari kecil untuk mengejar Mayu.
Ketika ia menyeberangi sebuah sungai kecil. Sosok Mayu terlihat berjalan diantara pepohonan hutan yang menjulang tinggi. Mio menyadari, Mayu tidak berjalan pulang.
"Mayuuu.... Kamu mau kemana?" Mio kembali melangkah, meninggalkan jembatan kayu kecil tempatnya berpijak.
Di kejauhan, Mayu melangkah dengan tertatih-tatih. Mio masih ingat betul, kecelakaan saat Mayu jatuh terperosok kedalam jurang ketika mereka bermain dahulu kala. Saat itulah Mayu mendapat cidera di pergelangan kakinya.
"Mayu... Tungguin aku....." Mio mencoba memanggil sekali lagi. Namun Mayu tak juga menjawab.
Mayu di kejauhan, tampak berbelok di pepohonan. Mio mengejarnya secepat mungkin. Langkah Mio berderap diantara pepohonan. Menerobos semak pendek sebatas mata kaki. Ia kini telah berdiri di tempat Mayu berbelok.
"M-Mayu....." Ucap Mio lirih.
Sosok Mayu kini terlihat sebagai perempuan yang mengenakan yukata berwarna putih. Di pinggangnya, sehelai kain merah menjuntai, nyaris menyentuh tanah. Mereka kini berada di tengah hutan. Mayu tetap melangkah, tak ada apapun yang menghalangi pandangan Mio dari sosoknya. Namun, ketika Mayu melangkah kedalam bayang-bayang pepohonan, ia lenyap.
"Mayuuuu......" Mio yang sempat diam, kini kembali mengejar saudara kembarnya.
'Ada apa sebenarnya.... Mayu kemana.....' Suara batinnya menggema.
Mio tak menyadari, didalam hutan itu tepat kearah ia berlari. Sebuah batu berukir teronggok di atas tanah. Langkah kaki Mio semakin mendekat, tiba-tiba...Cahaya matahari terik kini tak lagi terlihat. Bayang-bayang pepohonan kink berubah menjadi kegelapan total. Sunyi, bahkan serangga-serangga hutan tak menyerukan kehadiran mereka. Mayu melayangkan pandangan ke sekeliling tempatnya berpijak. Hutannya masih sama, namun keadaannya sungguh berbeda. Gelap, hanya seberkas cahaya temaram yang dapat membimbing langkahnya. Mio memandang ke langit. Siang telah berganti malam, matahari digantikan bulan purnama perak yang bersinar terang.
'I-ini dimana.....' batinnya bertanya-tanya.
Belum sempat ia mencari jawaban, sosok Mayu kembali terlihat. Mayu berjalan di tengah hutan, masih mengenakan yukata putih dengan ikatan selendang merah di pinggangnya.
"Mayu...." Mio mencoba memanggil, alih-alih suara lantang, yang terdengar dari bibir mungilnya hanya seperti bisikan lirih.
"Aku harus pergi...." Suara Mayu terdengar pelan sekali terbawa dalam hembusan angin.
'Apa yang dia pikirin sih.....' Batin Mio bertanya kembali.
"Mayuu......" Dalam tiap langkahnya, Mio berusaha memanggil Mayu.
Di sela pepohonan, sangat kontras dengan kegelapan malam, terlihat nyala api di kejauhan. Gemerlap cahaya kemerahan itu terlihat janggal. Belum pernah rasanya mereka mengetahui bahwa ada pemukiman di sekitar hutan itu. Mio kini tak lagi berlari, hanya berjalan cepat. Matanya kini menangkap siluet bayangan Mayu yang berdiri memandang kebawah sebuah tebing. Tebing itu tak seberapa tinggi, kira-kira lima belas meter tingginya. Mio sampai di sana. Sebuah ruang terbuka yang tak ditumbuhi oleh pepohonan, atau mungkin pepohonan disana telah ditebang habis. Di tengah lahan terbuka seluas empat ratus meter persegi, terdapat susunan beberapa buah batu besar, mirip stonehedge, hanya saja batu-batu itu berbentuk lebih meruncing. Keempat penjuru lahan itu diisi oleh obor besar dengan nyala api yang cukup terang. Dengan keempat kaki yang terbuat dari kayu, obor itu berdiri menerangi tiap sudut.
"Mayu... Ada apa?" Mio menghampiri saudara kembarnya yang sedang memandang ke bawah tebing.
Disanalah mata Mio menangkap pemandangan sebuah desa yang cukup luas. Tak terlalu banyak rumah yang berdiri di desa itu, namun kesemuanya memiliki ukuran yang cukup besar. Atap-atap bergelombang menghiasi tiap-tiap rumah berwarna kelabu, seakan baru saja dihujani oleh debu letusan gunung berapi.
"Aku ngak tau Mio... Dimana kita?" Mayu menoleh kearah Mio berdiri, wajahnya tampak sayu, nyaris tanpa ekspresi.
"A-aku belum pernah tau disini ada desa... Ngak ada yang pernah cerita...." Mio menggeleng, wajahnya tampak cemas.
Bagaimana tidak, mereka kini telah berdiri di tanah yang sama sekali tak di ketahui. Sosok rembulan yang bersinar terang sama sekali tak membantu, justru membuat mereka semakin bingung. Seolah mereka baru saja masuk dalam pusaran waktu. Beberapa menit yang lalu, mereka sedang asyik bercumbu dalam teriknya sinar matahari. Namun, kini mereka berada di tengah malam, disebuah desa entah dimana.
"Srinnnggg......" terdengar suara berdesing, seperti dua mata pisau yang digesekkan satu sama lain.
Sosok kupu-kupu merah itu kembali terlihat, kali ini di sebuah jalan setapak beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
"Kita harus cari jalan pulang...." Mio berjalan mendekat kearah jalan setapak dimana kupu-kupu merah itu muncul. Sekali lagi, kupu-kupu merah itu menghilang.
Jalan setapak yang berkelok di hadapannya tampak mengarah ke pusat desa.
"Ayo kita ke sana.... Siapa tau kita bisa minta bantuan kepada penduduk..." Mio mengulurkan tangan ke arah Mayu yang berjalan mendekat dengan langkah yang masih tertatih-tatih.
Jemari mereka bertemu, saling menggenggam. Mio tak ingin jika sampai Mayu berjalan meninggalkan dirinya, ia harus bisa memastikan bahwa mereka dapat pulang dengan selamat. Langkah mereka kini membelah rerumputan yang tak seberapa tinggi, menyusuri jalan setapak menuju ke pusat desa. berjalan di antara pohon yang tinggi menjulang, Mio tetap menggengam pergelangan tangan Mayu erat-erat, membantu agar adiknya tidak sampai terjatuh.
"Mio......" Mayu berseru.
Sebuah benda berkilau terlihat diantara bayang-bayang pepohonan. Jari telunjuk Mayu kini ia arahkan kepada benda itu. Mio menoleh tanpa bertanya, ia bisa menerka bahwa Mayu baru saja melihat sesuatu. Mio menoleh menatap kearah yang ditunjukkan Mayu. Sebuah tas kecil berada di balik rerumputan, kilauan itu adalah pantulan cahaya bulan yang jatuh pada sebuah gantungan kunci pada tas itu.
"Punya siapa ya?" Mio bergumam.
"Mungkin punya penduduk. Bawa aja dulu, nanti kita kasih kalo ketemu seseorang..." Mayu menyahut.
Mio mengangguk. Ia mengulurkan tangan meraih tas yang ternyata berwarna hitam. Sesaat yang lalu, mereka pikir warna hitam itu hanya karena bayangan.
"Crek....." secarik kertas terjatuh dari dalam tas kecil itu, resleting tas itu rusak, sehingga kertas itu jatuh. Mio memungutnya, kertas itu tampak seperti sebuah koran yang disobek untuk membuat kliping.
"All God's Village" Mio membaca tulisan headline pada potongan koran itu.
"Apaan itu kak?" Tanya Mayu, namun Mio hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Mio meneruskan membaca secarik kertas yang digenggamnya.
'All God's Village.... Desa yang pernah hilang dari peta, sungguh aneh menyikapi fenomena ini. Bagaimana sebuah desa kecil dengan puluhan penduduk tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Bangunan, penduduk, kuil-kuil, semuanya lenyap. Yang tersisa dari desa itu hanyalah hamparan tanah kosong tak berarti. Beberapa orang tim ekspedisi pernah mengutarakan niat untuk memecahkan misteri tersebut, namun tak satu pun dari mereka kembali. Desa yang menjadi saksi bagaimana kekejaman sebuah ritual sekte penganut ilmu hitam itu tetap menjadi misteri, mungkinkah suatu hari.....'
Kata-kata itu terpotong. Sepertinya masih banyak informasi yang seharusnya ada dalam artikel tersebut, namun apa daya, kalimat itu hanya sampai disana.
"Maksudnya?" Mayu mengerutkan dahi, ia sedikit berjongkok memperhatikan Mio yang mulai mengaduk-aduk isi tas kecil itu.
Dalam hati Mio kini tersimpan rasa penasaran yang mulai tumbuh, ia tak dapat menahan diri untuk tidak mengaduk-aduk isi tas yang bukan miliknya itu. Sebuah foto, dan catatan dengab tulisan tangan kini berada di genggaman Mio. Dua orang tampak dalam gambar itu, sepertinya mereka pasangan kekasih, atau suami-istri. Mio meletakkan kembali foto itu kedalam tas, lalu mulai membaca catatan yang masih berada di tangannya. Isi catatan itu berbunyi.
'Jangan sekalipun ada yang mencari kami, desa itu berbahaya... Lari... Anggota ekspedisi yang lain sudah tak akan kembali...'
Sekali lagi Mio memandang dengan rasa ingin tau. Mungkinkah desa yang sedang mereka tuju adalah desa yang 'konon' pernah hilang? Ia tak tau pasti, namun jika benar, maka mereka harus segera mencari cara untuk pergi.
"Mio....." Mayu kembali memanggil kakaknya.
"Mayu, kita harus cepat pergi.... Kita nggak boleh disini... Berbahaya, kamu jangan jauh-jauh ya..."
Raut wajah Mio terlihat cemas ketika mengucapkan kalimat itu.
Mereka kembali berjalan, menyusuri rerumputan menuju desa itu. Tas hitam kecil itu kini tersandang di bahu Mio. Tak seberapa jauh, hanya beberapa puluh meter lagi mereka akan sampai di desa itu.
"nnnggggiinggg..........." sebuah bunyi mendengung terdengar.
Desa itu telah nampak di mata mereka. Jalan setapak itu melebar, terhubung dengan jalan di antara rumah-rumah penduduk. Sesosok bayangan terlihat di kejauhan. Sosok tinggi mengenakan busana putih pada tubuhnya. Mirip dengan bayangan Mayu yang sebelumnya terlihat memasuki hutan.
'Kenapa Mayu pergi kesini?' Pertanyaan itu terlintas dalam benak Mio.
Mereka terus melangkah, bayangan itu bergerak memasuki sebuah rumah besar yang terletak di sisi kiri jalan. Rumah itu hampir seluruhnya terbuat dari kayu, dengan beberapa bagian tembok yang terbuat dari semen dan bebatuan.
"Ada orang... Ayo kita tanya...." Kata Mio singkat.
Gadis itu segera menarik tangan adiknya. Mereka berjalan perlahan menghampiri rumah itu. Di dalam bangunan besar yang memancarkan aura suram itu terlihat sebuah cahaya remang-remang. Mio dan Mayu menghentikan langkah mereka tepat di depan sebuah pintu berdaun satu yang terbuat dari kayu.
"Mio..... Kita harus gimana..." Suara Mayu terdengar lirih.
Di pundak kanan Mio, gadis itu merasakan Mayu meletakkan tangan pundaknya. Mio mengulurkan tangan membelai jemari-jemari Mayu. Namun tanpa ia sadari, ketika ia masih membelai jemari-jemari di pundaknya, Mayu melangkah mendekati pintu kayu itu.
'I-ini..... Sia.......siapa..?'
Raut wajah Mio berubah pucat, jemari di pundaknya masih ia rasakan. Tapi Mayu kini berdiri di hadapannya. Perlahan, jemari tangan itu menarik diri kebelakang. Dengan jantung berdebar cepat, Mio menoleh. Jantung Mio terasa melompat-lompat. Meronta ingin keluar dari relung dadanya. Napas gadis remaja itu tercekat sesaat ketika ia menoleh, mencari sosok yang memegang pundaknya. Mayu yang menyadari sesuatu telah terjadi, kini memalingkan pandangan dari pintu dihadapannya. Ditatapnya wajah Mio yang kini memandang kosong ke arah jalan setapak yang mereka lalui sebelumnya.
"K-kenapa Mio...?"
Mayu bejalan mendekat, menghampiri Mayu yang masih diam terpaku. Bola mata Mio menerawang, bergerak-gerak mencari sekelebat sosok yang sempat ia rasakan kehadirannya. Angin dingin kembali berhembus, menyibak rambut kedua gadis itu. Mayu terlihat cemas memandang Mio yang kini menundukkan kepalanya.
"Nggak.... Nggak ada apa-apa..." Mio berusaha tersenyum untuk menenangkan adiknya, walau ia sadar senyum dipaksakan yang tersungging di bibirnya tak akan membuat keadaan lebih baik.
Mereka kembali memandangi rumah tua itu, di sisi pintu kayu yang mulai lapuk terdapat sebuah papan kayu kecil bertuliskan 'Osaka'.
"Tok...tok...tok" Mio mencoba mengetuk pintu kayu itu dengan tangan kanannya. Di samping tubuhnya, Mayu merapat seraya memeluk lengan kiri Mio.
Tak ada jawaban.
"Ayo.... Kita masuk...." Mio meraih gagang pintu.
Mayu mencengkeram lengan Mio kuat-kuat, seakan memberi isyarat untuk tidak masuk ke dalam rumah tua itu.
"Nggak apa-apa.... Kalau dia marah, kita minta maaf....." Mio membelai jemari Mayu.
"Cekrekkk......" pintu kayu itu didorong oleh Mio dengan tangan kanannya. Mereka melangkah masuk.
"Nnnggiiinnngggg......." Bunyi mendengung itu kembali terdengar.
Mio menelan ludah. Ia masih belum mengerti, darimana asal suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Mereka kini berada di beranda rumah itu. Di tembok sebelah kiri, terdapat jeruji kayu yang memisahkan tempat mereka dengan sebuah ruangan kecil. Di hadapan mereka sebuah pintu kayu kembali menyambut. Tak ada lagi keraguan untuk mundur, Mio kembali meraih gagang pintu berikutnya.
"Kriieeekkkkkkk....." Pintu itu berderit ketika Mio membukanya. Kali ini sebuah ruangan besar berada di hadapan mereka. Ruangan itu tampak jauh lebih suram dibandingkan dengan keadaan di luar rumah. Lantai-lantai kayunya sudah begitu lapuk. Debu tebal menutupi seluruh sudut yang bisa mereka lihat. Di sisi kiri ruangan itu, terdapat tangga menuju lantai dua, di tengah ruangan, sebuah perapian kecil teronggok dengan arang kayu yang sudah berwarna putih. Tampak sudah lama tak digunakan. Sementara di sisi kanan ruangan, terdapat sebuah lorong gelap dengan tirai lapuk yang menjuntai. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kedua gadia itu berjalan ke tengah ruangan, menghampiri sebuah buku berwarna merah yang tergeletak di sisi perapian. Buku itu juga telah diselimuti debu tebal, sama dengan semua benda dalam ruangan itu.
"Pukk...pukk...." Mio menepuk cover buku yang tak seberapa tebal itu dengan tangan kanannya.
Halaman dalam buku itu mulai lengket satu sama lain. Namun tulisan di dalamnya masih cukup jelas terbaca.
'Aku tak bisa terus berada disini... Aku ingin pergi, tapi tak tau caranya.
Seluruh penduduk sudah kehilangan kewarasannya, sama seperti suamiku....'
Mio memandang halaman-halaman berikutnya yang masih kosong, beberapa lembar kertas yang mungkin ada tulisan lain sudah di robek, entah oleh siapa.
"Mio.... Ayo kita pergi aja.... Aku takut..."
Mayu tak berbohong, Mio dapat melihat dengan jelas raut wajah adiknya yang menyiratkan kecemasan.
“Mayu... Tadi kamu kenapa pergi ke dalam hutan?" Tanya Mio.
"Ehh?? Aku???" wajah Mayu terlihat bingung.
"Iya... Tadi kamu pergi ke dalam hutan, aku ngejar kamu... Tau-tau hari berubah malam, semuanya gelap... Kamu......." Mio sejenak ragu "aku liat kamu pakai yukata putih" akhirnya Mio melengkapkan kalimatnya yang sempat terputus.
"Yukata???... Masa sih?" Mayu mengerutkan dahi "aku nggak tau apa yang terjadi, tau-tau aku udah ada di tempat ketemu sama kamu..." Mayu mencoba menjelaskan.
Mio tampak tak percaya, namun masuk akal juga, bagaimana Mayu bisa meninggalkannya cukup jauh dengan keadaan kaki seperti itu, sedangkan Mio berlari cukup cepat untuk mengejarnya.
"Ya udah... Ngak usah dipikirin... Ayo kita pergi dari sini..." Mio bangkit berdiri, menyambar pergelangan tangan Mio, lalu bergerak menuju pintu tempat mereka masuk.
“Srekk.... Srekk....” Langkah kaki mereka membelah debu tebal yang menutupi lantai kayu lapuk di bawah telapak kaki mereka. Batin mereka masih bertanya-tanya. Bagaimana mereka bisa sampai di tempat ini.
“ceklek.....ceklekkk....ceklek...” Beberapa kali Mio berusaha membuka pintu itu, namun sialnya pintu itu terkunci. Mereka kini terkurung dalam rumah tua yang menyeramkan.
Deg.....jantung Mayu seakan berhenti. Ia yang sebelumnya sedang mengamati Mio, kini terjebak dalam bayang-bayang yang muncul dalam kepalannya. Suara-suara parau terdengar, ruangan dalam rumah ini tergambar jelas, hanya saja dalam warna yang jauh berbeda, abu-abu. Seorang pria berdiri di dekat perapian, di tangannya tergenggam sebuah parang besar. Mayat-mayat bergelimpangan disana-sini. Begitu juga dengan darah yang masih mengucur deras dari leher salah satu mayat. Seringai licik pria itu semakin membuat Mayu ketakutan. Mayu sama sekali tak dapat bernapas, ketika pria dalam bayangannya itu mendekati sosok seorang perempuan. Wanita itu tampak putus asa. Berulang kali ia mengulurkan tangan, seakan memohon ampunan. Alih-alih berhenti mendekat. Dari pria itu kini terdengar suara tawa penuh kepuasan. Parang besar itu diangkatnya tinggi-tinggi. Lalu diayunkan dengan cepat ke arah wajah sang wanita yang kini terbelalak. Tubuh Mayu bergetar, kendati bayangan itu telah menghilang, gadis berbaju merah itu masih tampak shock. Ingin sekali ia menceritakan apa yang baru saja ia lihat.
“M-Mio.....” Mayu mulai panik memandangi Mio yang terus berusaha membuka pintu masuk.
“terkunci.... kita harus cari jalan lain....” Mio terlihat mulai panik, karena sesungguhnya pintu yang
mereka lalui tak memiliki lubang kunci. Seperti ditahan oleh kekuatan yang tak terlihat.
“sringg........” suara bergemerincing kembali terdengar. Kupu-kupu merah itu kembali menampakkan diri di lorong gelap yang berada di sisi kanan ruangan besar itu. Mayu kini mengurungkan niatnya untuk bercerita.
“kesana....” Mayu berkata pelan, perhatiannya kini teralih pada sosok kupu-kupu merah yang terbang di lorong.
“ohhh .. nggak-nggak..... terakhir kali kita ngikutin kupu-kupu itu, kita malah terjebak disini... ingat?” Mio berusaha meyakinkan adiknya.
“kak..... kita ngak punya pilihan.... perasaan aku ngak enak....” Mayu merajuk, mencoba meyakinkan Mio untuk mencari jalan keluar yang lain.
Deg...Deg...Deg...Jantung Mio terpacu, ia masih ingat betul perasaan takut ketika ada telapak tangan yang hinggap di pundak kanannya.
“oke.....” Mio menundukkan kepala “kita cari jalan lain...”
“tapi........... jangan pergi lagi....” kali ini Mio yang mencengkeram pergelangan tangan Mayu.
Mayu hanya menganggguk.
Apa sebenarnya kupu-kupu merah itu, apakah ia adalah arwah yang berusaha menuntun mereka kesuatu tempat? Kenapa? Mereka mulai melangkah, menyusuri koridor gelap yang ternyata sangat menakutkan. Berkali-kali Mio mendelikkan matanya, memandang berkeliling, khawatir jika tiba-tiba ada sosok menyeramkan yang melompat ke arah mereka. Membayangkannya saja sudah membuat nyali mereka ciut. Kupu-kupu itu terbang ke sebelah kiri, di tengah lorong itu terdapat sebuah persimpangan. Arah kiri akan menuntun mereka memasuki sebuah lorong gelap lainnya, di ujung lorong itu terdapat sebuah pintu, sedangkan di arah kanan, terdapat sebuah tangga menuju lantai dua. Mungkin tangga alternatif selain yang terdapat di ruangan besar di depan.
“sreekkkk........” Mio menggeser pintu yang terdapat di ujung lorong. Sebuah ruangan yang cukup besar ada didalamnya. Tersekat oleh sebuah kelambu yang memisahkan ruangan itu menjadi dua bagian. Pintu tempat mereka masuk berada di bagian tengah ruangan, di sisi kiri, mereka dapat melihat sebuah taman dari jendela yang disekat dengan jeruji kayu. Mio melangkah masuk terlebih dahulu, disusul oleh Mayu di belakangnya. Mio memandang ke arah kanan, tempat yang tersekat oleh sebuah kelambu tipis itu terisi oleh sebuah rak buku yang berjajar di dinding, sebuah peti besar dengan ukiran etnik yang apik terlihat disana, berada di depan rak-rak buku yang tertutupi debu tebal. Namun tak seperti ruangan besar di depan, lantai ruangan itu cukup bersih dari debu. Mio melangkah mendekati peti berwarna hitam itu, di atasnya terdapat secarik perkamen, terlihat cukup tua karena perkamen itu mulai berwarna kekuningan. Mio membungkukkan badannya, meraih secarik perkamen lusuh itu, lalu membacanya. Sebuah tulisan tercetak pada lembaran perkamen lusuh itu.
‘camera Obscura...
Mata untuk melihat dunia lain...’
Di bawah dua baris tulisan itu terdapat beberapa instruksi untuk menggunakan kamera yang dimaksud.
Mio mencoba membuka peti kayu itu, benar saja, di dalamnya terdapat sebuah kamera tua berbentuk persegi, lensa dibagian depan kamera itu juga dapat memanjang layaknya kamera profesional. Yang membedakannya hanyalah bentuk perpanjangan lensa yang terlihat seperti piramid berundak dengan lensa lingkaran di puncaknya. Mio mencoba meraih kamera itu. Perlahan, jemarinya semakin dekat.
“aaaaarghh.......” Mio menarik tangannya. Sesaat sebelumnya, sebuah adegan terasa di putar dalam pikirannya.
Seorang pria tampak berdiri. Memandang dengan sorot mata penuh keingintahuan. Kamera obscura tergenggam erat di tangannya. Di hadapan pria itu, terdapat sebuah kuil tua entah dimana. Pria itu berdiri di pekarangan kuil, memandang lekat-lekat sebuah batu besar yang ditempeli jimat-jimat. Sebuah tali melingkar dibagian atas batu itu, mirip sebuah ikat kepala dengan kertas putih berbentuk zig-zag yang diikatkan pada tali itu. Pria itu mengangkat kamera yang digenggamnya, mengarah lurus ke tempat batu besar itu terletak. Ia mengintip, melalui cermin kecil yang terdapat di bagian belakang kamera itu.
“aaaaaaaaa.........” Pria itu menjerit.
Tubuhnya terangkat dari tanah, dapat ia lihat dengan jelas melalui celah kamera itu, puluhan tangan berwarna putih melesat berusaha menggapainya. Kamera itu terjatuh di tanah, sementara tubuh pria itu menegang, menggeliang penuh derita. Memperjelas maksud teriakannya.
“Mio..........” Mayu meraih pundak saudara kembarnya.
Mio sedang memegangi dahinya dengan sebelah tangan, seakan rasa sakit yang tak tertahankan baru saja menerpa dirinya. Namun Mio sadar, itu bukanlah rasa sakit. Rasa itu, adalah ketakutan. Mio kembali melirik secarik kertas yang didalamnya terdapat cara penggunaan kamera ‘obscura’. Ia mulai mengerti, mengapa pria dalam bayangannya itu berteriak. Kamera obscura adalah sebuah alat yang bukan hanya digunakan untuk melihat roh-roh gaib. Kamera itu juga dapat menyegel kekuatan arwah gentayangan yang ‘mungkin’ dapat melukai seseorang. Ya, kamera obscura adalah sebuah senjata. Mio meraih kamera itu, lalu menunjukkannya pada Mayu.
“ini kamera obscura...” Mio menjelaskan pada Mayu tentang kamera yang kini ia genggam dengan tangannya. “ini bisa membantu kita keluar...” lanjut Mio.
“kamu yakin?” Mayu mengepalkan tangan kanannya di dada. ia ragu, lebih tepatnya khawatir.
Bagaimana jika roh-roh jahat itu justru menyerang mereka karena memiliki kamera obscura.
“kita nggak punya banyak pilihan... aku sendiri juga nggak yakin... tapi apapun itu, kita harus coba..”
Mio bangkit dengan kamera obscura tergenggam ditangannya. “ayo... kita coba keluar....”
Mayu tak banyak bertanya, ketika Mio kembali meraih pergelangan tangannya, dan menariknya kembali ke ruang besar di depan pintu masuk.
“hufff.........” Mio menghela napas sejenak.
Jemarinya gemetar ketika gadis itu mencoba mengarahkan kamera obscura ke pintu masuk yang terkunci. Deg....Deg....Deg....jantung Mio berdebar kencang, sungguh rasa takut yang luar biasa ia rasakan ketika Mio berusaha memberanikan diri mengintip dari celah kecil pada kamera itu.
“hhhhhh.........” Napas Mio tercekat.
Mayu memandang saudaranya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Dari celah kamera itu, Mio dapat melihat dengan jelas, sosok wanita yang berdiri di depan pintu masuk. Rambut hitam panjang tergerai lurus menutupi wajah dan dadanya, baju putihnya lusuh bersimbah darah. Matanya memandang angker dari celah antara rambut hitamnya. Namun yang lebih menakutkan lagi, kepala wanita itu terbelah.
“jepreeetttttttt.................” Mio menekan tombol pada kamera untuk mengambil foto wanita itu.
“kyaaaaaaaa...........................” kali ini giliran Mayu yang berteriak.
Sosok wanita misterius yang sebelumnya tak terlihat, kini terpantul jelas di bola mata Mayu.
“d-dia......diaa...........” Mayu mundur beberapa langkah.
Ia masih ingat betul, wajah wanita itu sama seperti wanita yang ia lihat dalam bayangan mengerikan itu.
Mio tak sempat untuk mengkhawatirkan apa yang dimaksud oleh mayu dengan kata ‘dia’. Perhatiannya kini ia curahkan sepenuhnya pada sosok mengerikan yang mulai mendekat.
“hi...hi...hi...” tawa menyeramkan itu terdengar, menggema berulang kali dalam ruangan kelam tempat Mio dan Mayu berdiri.
“m-mundur........” Mio menghardik pada sosok wanita misterius itu.
Ia mencoba mengarahkan kamera dalam genggamannya kepada sosok mengerikan yang bergerak semakin mendekat. Mio mundur beberapa langkah, jemarinya seakan kaku, tak sanggup menekan tombol kamera untuk mengambil gambar hantu yang mulai mengulurkan tangan pada tubuhnya.
“jedug..........” kaki Mio terantuk kayu, tubuh langsingnya terhuyung ke belakang.
“Mioo..........” Mayu dengan sigap berusaha menangkap tubuh kakaknya.
“bruuukkk........” Sepasang gadis itu kini tersungkur dilantai.
Debu-debu pekat beterbangan. Tangan wanita misterius itu telah menggapai baju yang dikenakan Mio.
“Aaaaarrrghhhhh.........” Mio memekik.
“ssssreeeeettt............” tubuhnya terangkat ke atas sesaat sebelum pakaian yang ia kenakan robek. Kamera yang sempat ia genggam kini terjatuh.
“bruuuukk........” Mio kembali jatuh mengantam lantai kayu. Tubuh mulusnya kini terpampang. Mayu kini berdiri, mencoba menerjang tubuh sang wanita misterius agar menjauh dari Mio. Namun bagai menerjang asap, tubuh Mayu malah terhuyung menembus sosok misterius yang ternyata tak mampu ia sentuh.
“Maaayuuu...........” Mio memekik, memandang tubuh Mayu kini terjerembab di tanah.
Sosok misterius itu mengalihkan pandangan pada sosok Mayu yang sedang berusaha untuk bangkit.
Tangan-tangan dingin yang sempat dirasakan Mio menyentuh tubuhnya, kini terulur pada Mayu.
“breeeekkkkkkkkkk...........” Dengan kasar, sosok misterius itu mencabik pakaian Mayu hingga bertebaran di lantai.
“Kyaaaaaaa................” Mayu memekik. Kedua tangannya kini ia silangkan di dada.
Mio memandang dengan ngeri ketika sosok misterius itu kembali mengulurkan tangan ke arah Mayu.
“Miiioooo............” teriakan Mayu kembali menggema.
Sosok wanita misterius itu kini menggenggam kedua tangan Mayu, lalu ia tekan ke atas lantai.
“hi.....hi.....hi.....”
Tawa mengerikan kembali terdengar dari sosok misterius itu. Sosok itu mendekatkan wajahnya ke arah payudara Mayu yang membusung keatas. Mayu mencoba meronta untuk melepaskan diri. Kakinya menendang-nendang ke segala arah. Namun, seperti yang sebelumnya, gerakan Mayu hanya menembus tanpa mampu melukai sosok misterius yang mulai menjamah tubuhnya.
“Aaaaaakkhhh..........” Mayu kembali memekik, kepalanya kini mendongak ke atas.
Rasa mendesir kini mengalir di seluruh tubuhnya ketika bibir dingin milik sosok misterius itu mengulum puting susunya yang mengeras.
‘a-apa....... ‘ batin Mio.
Matanya terbelalak melihat adegan panas yang diperankan oleh Mayu dan sosok misterius yang kini mulai menghisap-hisap payudara Mayu. Mio menoleh ke arah kamera obscura yang teronggok di atas lantai kayu. Ia segera meraih kamera itu, mengarahkan lensanya ke arah sosok misterius yang sedang mencumbui tubuh indah Mayu.
“jepreeeeet................” Mio menekan tombol kamera yang digenggamnya.
“kyaaaaahhhhhhhhh...........” sosok misterius itu memekik.
Tubuh abu-abu transparannya sempat berpendar biru terang sebelum akhirnya terlempar ke arah dinding dan menghilang. Menyisakan butir-butir cahaya biru yang terbang ke arah kamera obscura dalam genggaman Mio.
“ping......” kamera obscura berbunyi pelan, sebuah titik terlihat menyala di sebelah kiri dari celah pada balik kamera itu.
“Mayu.............”
Mio merangkak cepat menghampiri tubuh Mayu yang masih tergeletak di tanah. Mata Mayu terpejam. Dari bibir Mayu, Mio dapat mendengar suara desahan dan erangan lembut.
“nnnggghhh......ssshhh..ahhh....”
“Mayuuu...... sadar....” Mio mengguncang-guncang tubuh adiknya.
Perlahan Mayu membuka matanya. Alih-alih memandang sayu, mata Mayu kini terbelalak lebar.
Sosok misterius itu kembali. Kini sosok itu berdiri di belakang Mio yang sedang bersimpuh sambil mengulurkan tangannya.
“Aaaaaaaaaaaakkkkhhh................” Mio menjerit.
Tangan-tangan dingin itu kini meraih kedua payudaranya. Kamera obscura kembali terlempar dari genggaman Mio.
“hi......hi.....hi.......”
Mio dapat mendengar dengan jelas, sosok misterius itu tertawa di samping telinga kirinya.
“nnnnggghhhhhhh..........” Mio mengerang.
Sebuah lidah dingin kini menyapu lehernya yang putih. Seperti ditempeli es batu, Mio dapat merasakan rasa dingin itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia gemetar, kedua kakinya tak mampu lagi menopang tubuh indahnya. Mio kini berlutut diatas lantai. Jemari sosok misterius itu masih meremas kasar kedua payudaranya. Rasa takut sudah menguasai Mio, ia tak mampu bergerak, apalagi meronta. Mayu yang sadar akan keadaan Mio, segera meraih kamera obscura yang terjatuh. Gemetar, Mayu dapat merasakan dengan jelas, rasa takut yang sedang menerpa Mio. Ia berusaha mengarahkan kamera obscura dengan susah payah.
“pipp...pipp...pippp....”
Kamera obscura kembali berbunyi. Sebuah tanda merah bersinar di bagian belakang kamera itu. Mayu tak ambil pusing, ia mengumpulkan segenap keberanian, lalu menekan tombol di sisi atas kamera itu.
“CRAAAAAZZZZ.................” sosok misterius itu berpendar merah, cengkeramannya pada tubuh Mio terlepas.
“aaarrrghhhhhhhhhhhhhh.......” sosok itu mengerang kesakitan, seakan terbakar, tubuh sosok misterius itu perlahan menghilang.
“nggghhhh.........oohhh............” Mio masih mengerang di atas lantai. Tubuhnya terpampang jelas, raut wajah Mio terlihat aneh, seperti seseorang yang hampir merasakan kenikmatan.
“Mio.........” Mayu meraih tubuh Mio dan mendekapnya dalam pelukan hangat.
Mayu tau betul, perasaan seperti apa yang kini dirasakan oleh Mio. Gemetar kedinginan, namun penuh kenikmatan. Itulah yang dirasakan oleh Mayu ketika sedang dicumbui oleh sosok misterius itu. sungguh aneh, bagaimana ia bisa merasakan kenikmatan di balik rasa takut yang menyelubung.
“M-Mayu.........” Mio berkata lirih.
“ssshh.... sudah... nggak apa-apa.... aku tau rasanya......” Mayu mencoba menenangkan Mio yang masih gemetar ketakutan.
“bagaimana bisa?” Mio berkata pelan seraya berusaha berdiri.
Mayu membantunya berdiri. Kedua pakaian mereka kini sudah tak bisa mereka kenakan, tubuh molek kedua gadis itu kini terpampang di tengah ruangan gelap.
“aku nggak tau kak..... hantu itu aneh...”
“ayo kita keluar..........”
Mio menyambar sebuah kain yang menggantung dari langit-langit, kemudian menyobeknya menjadi dua untuk menutupi tubuh mereka.
“sringggggg............................” kupu-kupu merah kembali menampakkan dirinya.
Terbang ke atas melalui tangga di sisi kiri ruangan, kupu-kupu itu seakan membimbing Mio dan Mayu untuk naik ke lantai atas.
“kak..........” Mayu memandangi kupu-kupu merah itu.
“ayo kita ke atas..... kupu-kupu itu pasti punya maksud tersendiri.....” kata Mio.
Ia kini mulai menyadari, kupu-kupu itu membimbing mereka untuk keluar dari desa ini. Karena kupu-kupu merah itulah, mereka menemukan kamera obscura yang mampu melawan roh jahat. Dengan alasan itu, Mio dan Mayu mulai melangkah menaiki tangga kayu yang berderit di setiap langkah mereka. Di lantai dua, mereka menemukan sebuah pintu kayu. Sepertinya terdapat ruangan lain dalam rumah besar ini.
“sreekk.....” Mio menggeser pintu kayu itu.
Ruangan di dalamnya tampak lebih besar daripada ruangan tempat mereka menemukan kamera obscura. Ruangan itu terbagi menjadi dua segmen, yang dipisahkan oleh bilik yang dapat digeser. Di ruangan sebelah kiri, mereka dapat melihat keluar rumah melalui jeruji kayu yang menutupi jendela, di sebelah kanan, terdapat sebuah lemari besar yang pintunya dapat digeser. Di hadapan lemari itulah, Mio menemukan sebuah buku berwarna merah, mirip dengan yang ia temukan di ruangan bawah sebelumnya.
‘satu-persatu mereka saling bunuh....hasrat itu sungguh membuat orang-orang jadi gila. Aku ingin pergi...’
Lagi-lagi, halaman lain buku itu telah di robek, menyisakan halaman-halaman kosong yang tersisa.
Mio masih mengamati buku itu lekat-lekat.
“sebenarnya apa sih yang coba disampaikan buku ini.....” Mio menoleh kebelakang.
Mayu sudah tak ada di ruangan itu. Rasa khawatir kembali menjalar dalam tubuh Mio. Ia segera menghambur keluar ruangan. Ketika pintu kamar itu terbuka, Mio menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari keberadaan Mayu. “srekkk......” sebuah pintu terdengar di geser. Mio berlari ke arah tangga tempat ia naik. Di sanalah ia melihat Mayu berjalan melalui pintu masuk dan menghilang.
“Mayuuuuuuu......................”
Mio beregas menuruni tangga. Ia khawatir, jangan-jangan Mayu akan pergi seperti sebelumnya.
“duk...duk....dukk...” Mio berlari cepat di atas lantai kayu. Debu-debu kembali beterbangan.
Dengan sebelah tangannya, Mio menutup hidung dan mulutnya, mencegah debu-debu itu agar tidak terhirup ke dalam paru-parunya.
~***~
Mayu
‘ikuti aku.....’ suara itu terus terngiang.
Membawa diriku pergi entah kemana. Aku hanya bisa mendengar Mio berteriak memanggil namaku, tanpa punya kekuatan untuk menjawab panggilan itu. Tubuh ini terasa hangat, ketika aku berjalan mengejar kupu-kupu merah itu. Namun, rasa dingin yang tiba-tiba datang membuatku ingin memekik. Seorang wanita berpakaian putih terlihat oleh mataku. Ia mengenakan yukata dengan noda merah disana-sini. Di pinggangnya, aku dapat melihat seuntai kain berwarna merah yang menjulur hingga nyaris menyentuh tanah. Ia berjalan pelan menjauh. Entah apa yang mendorong diriku untuk mengikutinya. Aku berbelok menuju sebuah lorong gelap. Tubuhku serasa diseret, aku mencoba mengambil alih kuasa atas kedua kakiku. Namun kakiku tetap melangkah mengikuti kemana wanita berpakaian putih itu pergi. Di sanalah, aku berdiri mengulurkan tanganku pada sebuah pintu besar. Entah kekuatan dari mana, pintu besar itu kudorong dengan mudahnya.
~***~
“Mayuuuuuu............” Mio menyeruak keluar dari rumah besar itu.
Kain yang ia lilitkan pada tubuhnya nyaris terlepas ketika Mio berlari mengejar sosok Mio yang terlihat di kejauhan.
‘b-bayangan itu lagi..........’ batin Mio seakan mengingatkan pemandangan yang pernah ia lihat sebelumnya.
Mayu terlihat mengenakan yukata putih, dengan kain merah terlilit di pinggangnya.
‘aku harus cepat...........’
“Mayu......................” Mio mencoba memanggil sekali lagi, sama seperti ketika ia mengejar Mayu yang berjalan memasuki hutan.
Mio berbelok pada sebuah persimpangan, sebuah lorong gelap telah menyambutnya. Namun tak ada waktu untuk ragu-ragu. Jika ia salah langkah, ia akan kehilangan Mayu, mungkin untuk selamanya.
“M-Mayu..........” mata Mio terbelalak ketika Mayu melangkah melewati sebuah pintu besar yang entah membawanya ke mana.
“Maaaayyyuuuuuu..................” Mio mempercepat larinya, kain yang melilit tubuhnya berkibar. Ia mencoba meraih tubuh Mayu yang tetap berjalan meninggalkan dirinya.
Pintu itu menutup pelan, jarak Mio dengan pintu itu masih tersisa sepuluh meter lagi.
“Tidaaaaakkkkkkkk............”
“Crek......” pintu itu berbunyi pelan ketika menutup.
“Aaaaarrghhh....uuuuggghhh....” sekuat tenaga, Mio berusaha mendorong pintu besar itu, namun pintu itu tak bergeming. Sama seperti pintu di dalam rumah besar yang sama sekali tak mampu ia buka. Kain yang Mio lilitkan pada tubuhnya terlepas. Tak kuasa untuk terus menempel ketika tubuh Mio mengguncang-guncang pintu besar dihadapannya. Tanpa ia sadari, tiga pasang mata sedang memandangi tubuhnya yang terpampang jelas di tengah udara malam. Bagai terhisap dalam pusaran air yang membeku. Tubuh Mio diam tak bergerak. Bibirnya tak mampu bersuara, kedua tangannya tak mampu meronta, kakinya tak lagi mampu berkelana. Hanya ada matanya yang memandang ngeri ke arah tiga sosok mengerikan yang mencumbui tubuhnya.
‘tidaaaakkkk..........’ batin Mio berteriak.
Ingin rasanya ia menggelepar bagai ikan yang kehilangan air. Ketiga sosok itu tak lain adalah arwah penghuni desa ini. Yang satu berperawakan tinggi kurus, lidahnya menjuntai melewati dagu, matanya hilang sebelah, tongkat yang dibawanya kini menyibak lipatan vagina Mio. Perlahan-lahan, sosok itu memutar-mutar tongkat yang terasa dingin namun lembut. Sosok yang lain sedang mengulum payudara kanan Mio dengan kasar. Mio dapat merasakan gigi-gigi taringnya yang tajam menancap dingin tanpa meninggalkan luka. Sabit yang dibawanya menghilang ketika jatuh di atas tanah. Sosok yang terakhir adalah yang paling menyeramkan. Sebuah parang ia genggam dengan tangan kirinya. Dengan tangan kanan yang bergerak bebas, ia menjambak rambut Mio. Memaksa gadis itu untuk menengadah ke langit ketika sosok itu melesakkan penisnya ke dalam bibir mungil yang bergetar kedinginan. Lantas apa yang membuatnya seram? Sosok itu tak berkepala. Tongkat yang menancap di vaginanya kini ditarik keluar. Sementara sosok tinggi kurus itu mulai memamerkan batang kemaluannya. Yah, mungkin itu batang kemaluannya.
Mio membelalakkan matanya. Memandang ngeri kearah selangkangan arwah tinggi kurus yang memamerkan batang kemaluannya. Penis itu........... bercabang dua.
“Aaaaaaaaaakkkhhhh..........” satu hentakan keras pada vagina dan anusnya membuat Mio memekik.
Liang senggama dan anusnya merekah ketika penis bercabang itu menyeruak masuk ke dalam, menyebarkan hawa dingin keputus asaan. Penis sosok tanpa kepala itu terlepas ketika Mio memekik tertahan. Kembali Mio merasakan jambakan yang membuat lehernya hampir patah.
“oohhkkk...oohhkkkkk......oohhkkk....”
Mio ingin menangis sekeras-kerasnya. Sama sekali tak pernah terlintas dipikirannya, bahwa suatu saat ia akan diperkosa dengan brutal oleh tiga sosok gaib yang kini menikmati tiap jengkal tubuhnya. Mio meronta, berharap mampu melepaskan diri dari jerat setan yang membelenggu tiap helai ototnya. Ia mencoba menendang kesana-sini. Namun ia menemui nasib yang sama dengan Mayu. Serangannya sama sekali tak mampu mengenai sosok-sosok yang terus menghujami tubuhnya dengan berjuta rangsangan.
‘kameranya..........’ batin Mio berseru.
Matanya mencoba melirik kesana-sini mencari keberadaan kamera Obscura. Satu-satunya harapan adalah dengan memotret kelakuan biadap yang dilakukan ketiga sosok gaib tersebut. Ia melirik ke kiri, memutar-mutar matanya, mencoba mencari keberadaan kamera itu. tubuh semi-transparan dari sosok tanpa kepala itu sedikit memudahkan dirinya. Namun tak ada apapun di sana. Ia beralih melirik sisi kanan, memandangi tiap jengkal payudaranya dilumat habis oleh taring-taring tajam yang terus menancap. Samar-samar Mio dapat melihat puting susunya yang mengacung tegang. Sungguh ironis, saat dirinya diperkosa habis-habisan, puting susu itu begitu menikmati tiap sapuan dingin yang mendarat di atasnya.
‘itu dia............’
Batin Mio ingin bersorak. Ia telah menemukan kamera obscura, tergeletak dibalik tubuh bungkuk yang sedang mengulum payudaranya. Namun akal sehat Mio membuat kesenangan batinnya sirna. Kamera itu tergeletak cukup jauh untuk ia gapai dengan tangannya.
“ooohhkkk....ohhhkkkk...ohhkkk.....”
Bibir mungilnya terus menjadi sasaran memuas nafsu hantu tanpa kepala. Mio mencoba menggelepar, menggerakkan tubuhnya untuk mendekat ke arah kamera obscura. Perlahan-lahan, ia mendekati kamera itu. tangan kanannya ia ulurkan sejauh mungkin. Jemari lentik miliknya menggapai-gapai, mencoba meraih secercah harapan yang tersisa.
“Ooooooorrrrhhhh........” sosok yang menghujami vagina dan anusnya mengerang hebat.
Gerakan tubuhnya bagai banteng liar yang berusaha menjatuhkan seorang koboi dalam arena rodeo. Sialnya, Mio mulai merasakan getaran-getaran hebat yang menjalari seluruh tubuhnya. Untungnya, hujaman-hujaman pada vaginanya membuat tubuh Mio bergeser semakin dekat kearah kamera yang coba ia raih.
‘sedikit lagi......sedikit lagi......’
Jarak antara jemarinya dengan tombol kamera itu hanya tersisa beberapa senti.
“jepreeeeeetttttt..............”
Tombol mungil itu akhirnya ditekan. Mio meringis ketika penis bercabang yang menancap di vagina dan anusnya tercabut tiba-tiba.
Ketiga sosok yang menyetubuhi Mio terpelanting ke belakang. Mereka memekik menahan api merah yang mulai membakar tubuh mereka sedikit demi sedikit. Mio merangkak, mencoba meraih kamera obscura dengan tangannya dan bergerak menjauh. Tubuh sintalnya masih tak tertutup sehelai benang pun. Payudaranya berayun-ayun ketika Mio mulai melangkahkan kakinya. Ketiga sosok hantu itu mulai menguasai diri. Mereka mengejar Mio dengan tubuh yang masih terbakar api. Deg.... Deg.... Deg....
Mio mulai ragu, ia harus memutuskan apakah ia akan lari meninggalkan Mayu atau melawan ketiga sosok hantu itu sendirian.
“aaaakkhh.........” Mio menjerit.
Kaki kirinya baru saja dicengkeram oleh sesuatu yang dingin. Sesuatu yang memiliki aura jahat.
Rupanya sosok tanpa kepala itu mampu bergerak dengan sangat cepat, hingga Mio tak sempat melarikan diri. Mio jatuh terjerembab. Payudaranya terasa nyeri karena menghantam tanah. Mio membalikkan badan, ia meronta, mencoba melepaskan kakinya dari cengkeraman hantu tanpa kepala yang mengerikan. Kamera obscura masih tergenggam erat di tangannya. Sebuah sabit putih transparan melesat dan menancap di bahu kiri Mio.
“Aaaarrghhhhh..........” Mio kembali memekik.
Bukan rasa sakit yang menyebabkanya menjerit, namun hawa dingin yang menusuk hingga ke tulangnya dan membuat bahu kirinya tak mampu bergerak. Mio mengarahkan kameranya ke arah tiga sosok itu.
“cekrekk....cekrekkk....cekrekkk............” berulang kali ia menekan tombol, namun tak terjadi apa-apa,
film dalam kamera itu telah habis.
“TOLOONNNNGGGGG....................” Mio menjerit sekeras mungkin.
Mio meronta, walau ia tau tak akan banyak pengaruhnya. Ia mencoba melepaskan diri, namun jerat cengkeraman dingin pada kakinya terlalu kuat. Sosok yang melemparkan sabit kini menyeringai lebar, memamerkan gigi taring panjang yang berderet tak beraturan. Api merah yang membakar ketiga sosok itu mulai menghilang. Sosok dengan penis bercabang kini memutar-mutarkan tongkat dalam genggamannya. Siap menghujamkan sebuah pukulan yang dapat membuat kesadaran Mio menghilang. Tanpa sadar, Mio menitikkan air mata. Ia sudah siap dengan takdir yang akan ia alami. Diperkosa oleh tiga sosok gaib hingga mereka puas, hingga tubuh Mio terbaring kaku tak berdaya. Hingga jantungnya berhenti berdetak karena hawa dingin yang menusuk.
“grooaa......”
Sosok dengan penis bercabang kini mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Mio membelalakkan mata, bersiap menerima hantaman telak pada dahinya.
“CRAAAAAAAAAAAAAZZZZZZZZZZZ.................. .”
Ketiga sosok hantu itu kembali terpelanting, kali ini lebih jauh dari sebelumnya. Api biru yang berkobar membakar tubuh mereka tanpa ampun. Ketiga sosokitu meronta, bersujud, berguling-guling. Memohon agar api biru itu mengampuni perbuatan mereka. Perlahan-lahan, sosok mereka lenyap. Hancur terbawa angin, sama seperti sosok hantu wanita dengan kepala terbelah yang pernah di hadapi Mio dan Mayu. Mio membelalakkan mata. Tak terbesit sebuah gagasan, mengapa hal itu terjadi. Hingga sebuah telapak hangat mendarat di bahunya.
“kamu ngak apa-apa?” sapa seseorang.
Mio memandangi sosok itu. rupanya dialah yang telah menolong Mio agar lolos dari maut. Ia adalah seorang gadis, mungkin sebaya dengan Mio dan Mayu. Rambutnya berwarna cokelat muda diikat kuncir dua di sisi kanan dan kiri kepalanya. Sebuah kamera obscura digenggamnya erat-erat, sangat mirip dengan kamera milik Mio namun dengan beberapa perbedaan pada detail designnya. Tubuh gadis itu hanya di balut oleh sebuah kimono lusuh berwarna cokelat yang berlumuran bercak darah disana-sini.
“i-iya..... kamu yang nolong aku?” Mio berusaha bangkit, lalu membersihkan kulit tubuhnya yang kotor oleh debu dan tanah. Hingga ia sadar, bahwa dirinya sedang tidak mengenakan busana sama sekali.
“kyaaa...........” Mio terbelalak, lalu berusaha menutup payudara dan vaginanya dengan telapak tangan, walau ia sadar itu sama sekali tak ada artinya.
“hahaha......... sudah-sudah... kita kan perempuan, nggak usah malu....” gadis penolong itu memungut segelai kain lusuh yang tergeletak di tanah, lalu menyerahkannya pada Mio untuk menutupi tubuhnya.
“m-makasih banyak.........” Mio segera melilitkan kain itu, mukanya bersemu merah.
“aku Mio....... Mio Amakura......” lanjut Mio.
“Miku....... Miku Hinasaki, panggil saja Miku....” gadis penolong itu menjabat tangan Mio.
“ayo ikut aku, kita cari pakaian yang lebih pantas.....”
Mio sempat ragu-ragu. Apakah sosok Miku benar-benar manusia seperti dirinya, ataukah hanya hantu yang menyamar. Namun ia tak punya pilihan selain berpikir positif, toh Miku telah menolongnya, ia juga memiliki kamera obscura, kecil kemungkinannya bahwa Miku juga adalah roh jahat seperti yang lain, Akhirnya Mio mengikuti kemana Miku berjalan, mereka memasuki sebuah gudang kecil tak jauh dari tempat Mio berusaha meloloskan diri dari kejaran tiga sosok mengerikan yang berusaha memperkosa dirinya. Di dalamnya, Miku menemukan sebuah kimono lusuh berwarna hijau lumut.
“ini..... pakai ini saja, jauh lebih baik daripada kamu pakai kain itu...” Miku menyerahkan kimono hijau itu kepada Mio.
“sekali lagi terima kasih banyak... Miku...” Mio menerima kimono itu, lalu segera mengenakannya. Sementara itu, Miku masih mengaduk-aduk sebuah kotak penyimpanan, berharap menemukan kimono lain untuk mengganti kimono dengan bercak darah yang ia kenakan. Tanpa ragu, Miku menanggalkan kimono berdarah yang ia kenakan. Memperlihatkan lekuk tubuh sempurna bak seorang ratu pada Mio. Rupanya, Miku juga tak memakai pakaian lain selain kimono berdarah yang membungkus tubuhnya.
“glek...........” Mio menelan ludah memandang kearah payudara Miku yang berukuran cukup besar.
Ia mendekap payudaranya sendiri, meremasnya perlahan. Lalu ia sadar, bahwa ia iri dengan ukuran payudara Miku.
“kamu kenapa?” Miku mengerutkan dahi ketika memandangi perangan Mio yang aneh.
“n-nggak..hehe....” Mio segera melepaskan cengkeraman pada payudaranya sendiri, lalu menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung. Wajahnya seketika memerah.
“memangnya ada apa dengan toketmu?” tanya Miku.
“squeezzzeee.....squezzzeee.....” tanpa sebuah peringatan, tangan Miku kini meremas payudara Mio perlahan.
“Eeeeekkkkkkk............” Mio mundur selangkah, lalu menyilangkan tangan di dada. wajahnya semakin memerah, jika di biarkan beberapa lama lagi mungkin Mio akan pingsan karena jantungnya yang berdebar cepat.
“lhoo...... kok kabur?” Miku merapihkan kimono biru yang ia temukan.
“ihhh...... kamu sih tiba-tiba remas toket aku........”
“haha.... aku kira kenapa...”,”sesama perempuan ngak perlu malu, kan sudah punya masing-masing...”
“i-iya.....”
Selesai mengenakan pakaian yang lebih ‘pantas’ kedua gadis itu kembali melangkah keluar dari ruangan kecil tempat mereka menemukan kimono.
“jadi...... siapa kamu?” tanya Mio. Kalimat itulah yang sedari tadi ingin meluncur keluar dari bibir mungilnya.
“aku Miku.... kita kan sudah kenalan...”
“eehm... bukan itu, kenapa kamu disini?”
“ohhh.....”Miku mendelik, matanya tiba-tiba terbelalak ketika melihat tas kecil yang disandang Mio di bahunya. “lohh......... ini kan punya Mafuyu........” lanjutnya.
“Mafuyu??”Mio mengerutkan keningnya.
“dimana kamu temukan tas ini Mio?” Miku bertanya dengan antusias.
“di jalan setapak menuju kesini.... apa kamu kenal pemilik tas ini?”
“kenal.............”
-------------------------
Miku
Miku |
“aku tidak bisa meningalkan Kirie sendirian... aku harus menemaninya menjalani penderitaan yang tak berkesudahan....”,”pergilah Miku.... selamatkan dirimu....”
Saat aku keluar, saat itulah aku memandangi jiwa mereka yang terperangkap di Himuro Mansion terbang ke angkasa. Aku mulai menjalani hari-hari baru, bekerja sebagai asisten fotografer freelance. Sejak saat itu, aku tak lagi bisa melihat apa, yang tak di lihat oleh orang lain.
-----------------------------------
“m-maaf.... aku tidak bermaksud...” Mio membungkukkan tubuhnya meminta maaf
“yah.... tidak apa-apa kok...” gadis cantik itu tersenyum pada Mio. Parasnya yang anggun sungguh tak menyiratkan bahwa ia pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
“lalu.... kenapa kamu bisa ada disini Miku?”
Miku menggeleng pelan, raut wajahnya berubah sendu. “entahlah.... aku sendiri belum pernah kesini sebelumnya, tempat ini asing...”,”aku sedang tidur... dalam mimpiku, aku melihat bayangan wanita dengan kimono putih berjalan ditengah hutan, aku mengikutinya dan sampai disini...”
Mio seakan tak percaya. Bagaimana mungkin Miku bisa terjebak besama dirinya. Apakah semua ini hanya sebuah kebetulan semata? Ataukah keharusan yang tak terelakkan
“lalu.......” lanjut Miku “aku melihat Mafuyu..... dia berjalan di samping wanita itu”
“hhhhhh......” Mio menghela napas sejenak.
“kita senasib Miku.... kita ngak mau kehilangan seseorang yang amat berharga, tak ingin berpisah walau sesaat” lanjutnya.
“yah... aku pikir juga begitu.... aku cuma ingin bertemu Mafuyu.... sekali lagi”
Keduanya terdiam. Mio menatap sejenak pada jalan menuju pintu besar tempat Mayu menghilang.
“lihat..... pintu itu dijaga kekuatan roh... kamu ngak akan bisa membuka pintu ini kalau belum menemukan ‘kuncinya’” Miku mengarahkan telunjuknya pada pintu yang kini berpendar kebiruan.
“kunci?” Mio mengerutkan dahinya. Sebelumnya, ia sempat menemukan pintu seperti ini di dalam Osaka House. Namun pintu itu dengan mudah dibuka hanya dengan memfotonya saja.
“coba kau foto pintu ini...” perintah Miku.
Mio merogoh tas kecil milik Mafuyu tanpa banyak bertanya. Camera Obscura kini tergenggam di tangannya. Ia mengintip dari celah viewfinder lalu mengarahkannya para pintu.
“cekrek....” tombol shutter telah ditekan.
Kini, sebuah bayangan terlihat pada celah viewfinder. Sebuah sumur dengan ember yang tergantung pada atap yang menaunginya.
“apa yang kau lihat?” tanya Miku.
“sumur.... sebuah sumur tua, ada ember tergantung di atasnya....” jawab Mio.
“itu artinya kamu harus cari tempat itu, lalu kamu foto, baru pintu ini bisa dibuka...”
Mio mengerutkan dahinya lagi dan lagi. Seakan begitu takjub tentang pengetahuan yang dimiliki Miku tentang dunia antah berantah tempatnya terdampar bersama Mayu.
“tapi dimana? Tanya Mio.
“sebentar lagi juga tahu.......”
Tepat setelah Miku selesai berbicara, sebuah suara dengung terdengar.
“siiiinngggggggggg....................” Kupu-kupu merah kembali menampakkan kehadirannya.
“tuh... betul kan?” Miku tersenyum.
“curaaanngg.... kamu kok tau semuanya sih?” Mio memajukan bibirnya.
“hihi... namanya juga pengalaman...”
“kalo begitu, kamu harus tolongin aku nemuin Mayu...”
“Mayu?”
“iya... dia saudara kembarku, aku dan Mayu terjebak disini.... aku harus selametin dia....”
“selamatkan? Maksud kamu Mayu masih hidup?”
“ehhh??”
“m-maaf.... bukan begitu maksudnya.....” Miku sadar, ucapannya tadi tak seharusnya dikatakan begitu gamblang. “maksud aku....ehem..... gini... Mafuyu itu udah meninggal kan? Aku pikir kamu mau ketemu sama roh Mayu.... begitu”
“bukan.... bukan gitu... aku kejebak disini ngak sengaja... Mayu bilang dia ngeliat cewe... pakai yukata putih, trus dia ngikutin kesini.... trus..... dia pergi kebalik pintu....”
“ohhh jadi itu alasan kamu mau kesana.... bilang dong.....”
“jadi kamu mau kan bantu aku temuin Mayu....” Mio merajuk. Kedua tangannya kini mencengkeram kuat kimono yang dikenakan oleh Miku.
“i-iya.... jangan tarik-tarik, nanti lepas....”
“hehe... maaf...”
Miku membetulkan posisi kimononya yang sedikit berantakan karena ditarik oleh Mio. Pikirannya yang sempat tertuju pada Mafuyu seorang, kini mulai beralih pada gadis dengan mata berbinar yang membutuhkan pertolongannya. Terlebih karena di desa itu ada seseorang ‘hidup’ yang berusaha diselamatkan oleh Mio. Ia kini tak punya banyak pilihan. Lagipula, mendengar ucapan Mio bahwa Mayu mengikuti wanita beryukata putih, membuat Miku sadar bahwa tujuan mereka mungkin searah.
“ya sudah... ayo kita ikutin kupu-kupunya...” Miku yang sudah selesai membereskan kimononya, kini membalikkan badan. Menghadap ke arah kupu-kupu merah yang terbang kian menjauh.
“mmhh.... iya...”
~***~
Mereka berjalan cukup jauh, melewati lorong yang sempat dilalui Mio sampai ketempat itu, berbelok lalu sampai di persimpangan jalan tepat di pintu masuk Osaka House. Sempat terpikir oleh Mio, apakah tangan dingin yang menggengam bahunya adalah tangan Miku.
‘ahh.. bukan... tangan Miku hangat... nggak dingin seperti itu’ batin Mio. Ia masih ingat betul suhu tangan Miku ketika payudaranya diremas. Mengingat hal itu, hasrat Mio mulai bergejolak.
Mio bukanlah gadis yang memiliki kelainan sex atau cenderung memiliki orientasi lesbi. Baginya, mau pria atau wanita, yang penting bisa saling memuaskan. Mungkin itu semua terjadi karena Mio selalu mandi bersama dengan Mayu, entahlah. Orang bilang istilahnya bisex.
“itu sumurnya......” Miku melihat sebuah sumur yang cukup tua namun ciri-cirinya serupa dengan yang disebutkan oleh Mio.
“jadi... aku harus foto sumur ini?”
“yup.... ayo cobain....”
Mio mengarahkan kameranya, mengintip melalui viewfinder, lalu memotret sumur itu. Sebuah bayangan lain lagi-lagi terlihat. Gambar pintu besar yang sempat tak bisa dibuka, kini terlihat terbakar dengan nyala api berwarna biru terang.
“pintunya terbakar.....” kata Mio.
“ya.... itu artinya udah bisa dibuka...” Miku menyahut.
“yang bener.... yaudah, ayo kesana Miku.... siapa tau kamu juga ketemu Mafuyu di tempat Mayu...”
“oke.... kita ngak boleh buang waktu....”
“CLAAAAANNGGG.............” sesaat setelah langkah kaki mereka yang pertama sebuah bunyi nyaring terdengar dari sebuah ruangan tak jauh dari tepat mereka berdiri.
Keduanya menoleh, perasaan Mio kembali dirundung ketakutan. Mungkin ia masih trauma dengan kejadian dirinya hampir diperkosa oleh tiga sosok menyeramkan itu. namun kali ini situasi dan keadaannya jauh berbeda. Tak ada rasa dingin yang ia rasakan. Bulu kuduknya juga tidak berdiri. Sementara Mio sempat was-was. Miku terlihat tenang-tenang saja, seraya memandang ke arah kamera Obscura miliknya.
“i-itu apa.....Miku...” Mio mendekat, merangkul lengan kanan Miku dengan erat.
“aku nggak tau Mio... yang pasti bukan hantu lagi...” Miku menyahut.
“kok kamu yakin?”
Miku memandang wajah Mio yang sedikit ketakutan. Matanya yang cokelat sama sekali tak menyiratkan rasa takut. Bukan karena ia telah lebih berpengalaman, namun karena kamera Obscura tidak pernah berbohong.
“kamu tenang aja Mio... ini namanya ‘sense’.... lihat..”
Miku menunjukkan sebuah filamen yang tersemat di sebelah kanan viewfinder kamera Obscura miliknya. Ya.. pada kamera milik Miku, terdapat dua buah filament. Berbeda dengan yang dimiliki oleh Mio. Milik Mio hanya memiliki sebuah filament yang pernah berpendar merah ketika berhadapan dengan hantu didalam Osaka House.
“filament ini akan menyala kalau ada hantu di dekat kita...”
“ohhh bgitu... kok aku nggak punya?”
“bukan ngak punya... cuma kamu belum dapat... mungkin nanti kita bakal nemuin filament buat kameramu entah dimana...” lanjut Miku.
“CLAAAANNNGGG.........” suara itu kembali terdengar. Mio hampir saja terperanjat kaget. Namun mendengar penjelasan Miku, ia bisa sedikit tenang.
“ayo kita periksa..” ajak Miku.
“t-tapi....”
“sudahlah Mio.... siapa tau disana ada sesuatu yang bisa jadi petunjuk tentang Mayu... benar kan?”
“i-iya sih..... tapi kan....”
“ssstttt...... udah kamu percaya aja sama aku....”
Sesaat Mio ingin membantah ucapan Miku sekali lagi. Namun sepertinya ia harus menerima pendapat Miku kali ini. Bagaimanapun Miku jauh lebih berpengalaman menghadapi situasi seperti sekarang ini. Mungkin saja apa yang dikatakan oleh Miku ada benarnya. Mereka mulai melangkah. Setapak demi setapak, mendekati ruangan yang kini terlihat seperti gudang dengan pintu yang dikunci dari luar.
“ayo masuk.....” kata Miku.
“.......................” Mio tak menjawab. Apapun yang akan terjadi, ia sudah menyerahkan semuanya pada intuisi Miku.
Tangan kiri Miku mendekat. Ia akan meraih kunci yang membelenggu ruangan itu.
“siapa diluar.....?” sapa seseorang dari dalam.
Kali ini Mio benar-benar terperanjat kaget. Kedua tangannya mencengkeram kuat lengan Miku.
Namun tak hanya Mio, Miku pun terperanjat kaget dan serta merta menarik kembali tangannya yang hampir meraih kunci pintu itu.
“hei...... tolong aku.....” suara dari dalam ruangan kembali terdengar. Sepertinya suara seorang laki-laki.
“s-siapa didalam.....” Miku mulai terbata-bata.
Belum pernah sekalipun ia bertemu dengan orang lain dalam dunia asing ini selain dengan Mio. Begitu pula dengan petualangannya sebelumnya di Himuro mansion.
To be continued...
By: Optimus21
wah fatal frame fan fic nya ok jg ^^, ini salah 1 game paling serem yg pernah gw mainkan, lebih serem dari silent hill kalo menurut gw,
BalasHapusJual Game Hentai
Jual Film Gravure, JAV, Anime dan Hentai
wih keren gan, cerita dengan latar belakang game horor gini emg dari dulu di tunggu2 semoga kedepannya makin banyak cerita latar belakang game gini, horor + nafsu emg nikmat bgt bacanya
BalasHapusMIO = Mau Irit OK.
BalasHapusnamanya jgn kayak nama motor dong