Laman

Kamis, 28 Juli 2011

Dikhianati

12 Maret 2008

Dikhianati – part 1
originally written by NOOBIE @ ********


Novi
Kami berangkat ke Maryland, 2 minggu setelah mendapatkan ijin tinggal. Pastinya karena peran Kakak iparku, yang menjadi pegawai konjen di Maryland. Dia bilang, sudah waktunya karyaku dilihat orang banyak, go international katanya.
Aku seorang pelukis, 5 tahun menghabiskan waktu menjual hasil lukisanku di galeri-galeri kecil di Yogyakarta, tempat kelahiranku. Di situ pula aku bertemu Novi, seorang gadis manis yang akhirnya bersedia menjadi istriku.

Seorang model lukisanku pada awalnya, aku ternyata jatuh cinta dengan kesederhanaan dan keluguan Novi. Usia kami berbeda cukup jauh sebenarnya, aku 26 tahun, dan dia baru beranjak ke usia 18 tahun. Tapi nyatanya usia bukan penghalang. Kami menikah setelah 6 bulan pacaran.


Deshinta Inandita lahir 1 tahun kemudian di Yogyakarta, anak perempuan kami. 3 tahun kemudian, kami berdua berada di pesawat menuju Amerika, menjemput impian kami, atau setidaknya impianku. Sengaja tak kubawa anak perempuanku. Biarlah dia menikmati masa kecilnya di Yogyakarta, bersama kakek dan neneknya.

****

Perjalanan dari Washingto, DC, memakan waktu 1 jam, memakai mobil kakak iparku yang sengaja dititipkan di sana. Terus terang kami tidak membawa terlalu banyak uang. Pun juga kakakku tidak bisa membantu banyak dalam soal uang. Alasan itu juga yang akhirnya membuat kami memilih daerah Cherry Hill sebagai tempat tingggal kami.

Cherry Hill adalah sebuah kota kecil di bagian selatan Baltimore. Bukan tempat yang tepat apabila kita akan tinggal di Amerika. Dengan angka kriminalitas yang sangat tinggi, bahkan penduduk Maryland pun enggan tinggal di sana. Apartemen kami untungnya cukup nyaman. Seorang teman kakak ipar yang mencarikannya untuk kami.

Kakakku sementara akan membantu aku mencari Galeri-galeri yang bersedia menjual lukisanku. Tidak terlalu susah, karena salah seorang temannya adalah lulusan MICA yang membuka galeri kecil di downtown Baltimore.

Paling tidak kami bisa bernafas agak lega. Paling tidak dapur kami bisa mulai mengebul. Sisa tabungan masih cukup, paling tidak sampai bulan depan.

****

Apartemen kami ada 8 lantai, dan kami ada di lantai 4. Tetangga kami ada 3. Yang pertama, tepatnya yang pertama menyapa kami, adalah keluarga Patterson, Sam dan Kelly. Inilah keluarga kulit putih yang pertama kali kami temui. Mereka adalah keluarga yang hangat, membuat kami merasa diterima di negeri yang baru pertama kali kami lihat seumur hidup kami. Sam yang berumur 45 tahun adalah buruh perusahaan tekstil di daerah Locust Point. Kelly, istrinya, ternyata masih berumur 36 tahun, adalah seorang ibu rumah tangga. Mereka berdua belum punya anak sampai sekarang, walaupun sudah berumah tangga selama 12 tahun.

Tetangga kami kedua adalah Matty Wilkinson, seorang lansia yang sudah hidup di apartemen itu bertahun-tahun lamanya. Suaminya, sudah meninggal, adalah seorang veteran perang dunia kedua. Dia sama sekali tidak menyapa, mungkin juga karena penyakit Alzheimer yang dideritanya. Cucunya datang setiap sore membawakan makanan untuknya.

Tetangga kami yang ketiga adalah Tyrone. Kami langsung tidak suka begitu melihatnya. Kami menengadah ketika menatap matanya. Tubuh tinggi besar, mungkin sekitar 190 cm, hitam, dengan tato di lengan kiri dan kanannya. Tatapannya ketika bertemu dan bersalaman dengan kami sangat kurang ajar. Dia menatap kami dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan kemudian meneruskan tatapannya yang sangat kurang ajar ke istriku.

“Nice to meet y’all,” katanya sambil menyalami kami berdua. Dia memastikan bahwa tangannya menggenggam istriku lebih lama. Istriku cepat-cepat menarik tangannya.

Ketika akhirnya kami selesai bersalaman dengan tetangga-tetangga dan masuk ke apartemen kami, satu-satunya komentar istriku adalah :

“Laki-laki itu menakutkan, mas.”

****

Ah, istriku istriku ….

Apa yang bisa kuceritakan tentang istriku selain kesempurnaannya? Rambutnya yang panjang, matanya yang berbinar-binar, bibirnya yang sensual dan kelihatan selalu basah, tidak terlalu tebal tapi juga tidak tipis, lehernya yang jenjang. Istriku tidak terlalu tinggi, tetapi lehernya yang jenjang itu membuat dia terlihat tinggi. Tidak bosan aku memandangnya, apalagi menciumnya. Ya, menciumnya. Dengan penuh nafsu. Aku ingat malam pertama kami di Yogya. menit-menit pertama aku habiskan dengan menciumi seluruh wajah Novi. Begitu sempurna dan begitu mulus.

Mulus. kata itu memang tepat untuk mendeskripsikan kulit Novi. Begitu mulus tanpa cela, dan putih. Kombinasi yang mematikan (atau menafsukan?). Alasan itu juga yang membuat aku dulu memilih dia menjadi model lukisanku. Dengan alasan itulah aku lebih sering meminta dia memakai kemben ketika menjadi model, alasanku sih biar njawani, padahal aku cuman ingin melihat bahunya yang putih mulus sempurna itu, dan mungkin sedikit belahan dadanya.

Dadanya. Oh, betapa susah menggambarkannya dalam kata, sesusah melukiskannya dalam kanvas. Dadanya tidak hanya sekedar tonjolan daging sangat besar dengan puting warna merah jambu di atasnya, tetapi sebuah kesempurnaan bentuk yang dibentuk dengan sangat hati-hati sekali oleh yang Maha Kuasa. Dengan bentuk tubuh yang kecil, Novi mempunyai dada besar yang sempurna. Apapun baju yang dipakai olehnya, sepertinya tidak kuasa untuk menyembunyikan karunia Tuhan yang begitu besar itu. Dan dada itu begitu kenyal. Aku begitu bangga ketika berhasil menikahinya, dan menjadi satu-satunya pemilik keindahan itu. Dan keindahan serta volumenya semakin bertambah ketika anak kami lahir.

Adalah hal yang wajar ketika setiap laki-laki yang memandang istriku pasti terpana. itu juga sepertinya yang terjadi pada tetangga kami yang baru.

****

Aku mulai bekerja sebagai pemain keyboard di sebuah pub kecil bernama Gus, kira-kira 6 blok dari apartemen kami di waktu malam. Siangnya aku bekerja di sebuah minimarket di Potee Street. Penghasilan dari jualan lukisan ternyata tidak seperti yang kami harapkan. Itupun sudah dengan kerja keras, karena lukisanku ada beberapa yang aku jual ke Washington D.C, setiap minggu, 1 jam perjalanan yang sangat melelahkan dengan bus antarkota. Itu juga yang membuat aku sekarang sering pulang malam.

Istriku tidak bekerja, hanya di apartemen saja. Aku tidak mengijinkan. Aku takut terjadi sesuatu kepadanya. Siapa yang tidak khawatir? Lingkungan yang buas dengan sosok wanita Asia yang sempurna adalah kombinasi yang mematikan. Toh dia juga punya tetangga ibu rumah tangga yang bisa diajak ngobrol kapan saja. Sally Patterson.

Ada sedikit yang perlu kuceritakan mengenai Sally. Kesanku pertamakali ketika bertemu dengannya adalah gambaran seorang wanita amerika berambut pirang yang sering muncul di majalah-majalah porno Amerika. Aku bukannya penggila pornografi atau apapun sejenisnya, tapi stigma itu tetap melekat di diri Sally. Rambut pirang, tubuh berisi khas bule, mungkin bisa dikatakan sangat seksi, dada besar (pastilah, karena dia bule). Dia seorang yang sangat hangat, terus terang, dan sering sekali mengobrol bersama kami, terutama dengan istriku, karena mereka sama-sama ibu rumah tangga.

Suaminya sendiri jauh dari gambaran seorang lelaki bule yang tegap, perkasa dan layak mendapatkan wanita seseksi Sally. Lagipula juga dia jarang sekali mengobrol, kemungkinan karena dia sering sekali menginap di pabrik. Sally jarang sekali membicarakan suaminya. Kami juga tidak terlalu ingin tahu.

****

Hari itu ulangtahun perkawinan kami yang keempat, 4 bulan setelah kami mendiami apartemen sempit ini, 4 hari setelah aku mendapatkan cek sebesar $200 dari galeri kecil di utara Washington D.C. Benar-benar berkesan.

Aku bergegas pulang dari Pub, dengan membawa kado dan karangan bunga mawar merah. Aku segera membayangkan malam indah yang penuh dengan nafsu, yang kira-kira sebentar lagi aku dapatkan. Hal itu terbayang sepanjang hari aku bekerja. Ketika aku makan siang, aku menyempatkan untuk berjalan-jalan sepanjang Potee Street untuk mencari hadiah untuk istriku. Tiba-tiba aku terpaku pada sebuah toko pakaian. Itu bukan toko pakaian biasa. Itu toko pakaian dalam khusus wanita. Ya, sebuah toko lingerie.

Sesuatu menggerakkan aku untuk masuk ke dalam sana. Sesuatu gambaran mengenai istriku, dengan tubuhnya yang putih mulus sempurna, mengenakan pakaian dalam yang seksi. Aku memutuskan untuk membelinya.

Kedatanganku di rumah segera disambut oleh Novi yang telah menyiapkan makan malam yang romantis dengan lilin-lilin yang menyala di seluruh ruangan. Dia tampak cantik sekali malam ini. Kami makan berdua, sambil mengenang saat -saat kami di Yogya, pacaran, berjalan-jalan di pantai Wediombo, melukis…

Dia menyerahkan sebuah bungkusan kado.
“Buka dong mas,” kata dia tersenyum manis. Oh, istriku yang kucinta.
Ah, sebuah syal. Istriku memang pengertian.

“Untukku, mana?”
Aku menyerahkan bungkusan menarik itu kepadanya.

“yang, dipake malam ini ya yang,” kataku berharap. Dia tersenyum.
“Isinya baju ya?”
“Lihat aja deh …”

Dia bergegas masuk kamar. Tiba-tiba dia menjerit. Aku sangat terkejut dan segera berlari masuk kamar. dia menangis sambil melempar lingerie pemberianku.

“Mas kok tega sih? itu pakaian pelacur mas, aku ga akan bisa memakainya …,” katanya lemah sambil menangis sesenggukan.

Aku tertegun. Aku melakukan kesalahan fatal. Mataku menatap lingerie di lantai itu.

“Pokoknya aku ga mau pakaian aneh-aneh kaya gitu mas. Menjijikkan ! Mas lihat apa sih sampai beli baju kaya gitu?” Katanya marah.
“Aku cuman pengen liat kamu pakai baju itu yang, cuman buat aku …”
“Aku ga mau, jijik !”
“ya udah…”

Ah. malam bencana. Aku mengambilnya dan menyimpannya di lemari. Novi menyaksikannya dari jauh. Malam ini tampaknya aku harus tidur sendiri.

****

Sally dan Novi tampaknya menjadi sahabat karib. Mereka sering sekali mengobrol. Sally juga sering menemani Novi mencuci di ruang cucian di bawah apartemen kami. Maklum, ruang cucian itu luas, dan sepi, terutama di hari-hari kerja. orang-orang hanya mencuci di hari sabtu atau minggu.

Yang aku perhatikan adalah, sejak berteman dengan Sally, tampaknya Novi semakin terbuka mengenai seks.

Ya, seks. Kehidupan seks kami bisa dibilang datar-datar saja, monoton, dan mungkin membosankan bagi sebagian besar orang. Pernah suatu kali Novi bercerita kepadaku bahwa Sally bercerita kepadanya mengenai pengalaman seksnya yang luar biasa, dengan seorang pria. Ya, seorang pria lain yang bukan suaminya. Dan kata Novi, cara Sally menceritakannya benar-benar blak-blakan. Prasangkaku terhadap Sally ternyata benar. Sally bukan teman yang baik buat Novi.

Tapi ketika mendengar Novi bercerita tentang Sally seperti aku, aku tiba-tiba terangsang. Semakin terangsang ketika Novi menceritakan kembali dengan detail, ketika Sally menggoda lelaki itu di sebuah supermarket, dan bagaimana mereka akhirnya bercinta di parkir belakang supermarket, siang hari bolong, dan bagaimana lelaki itu menembus Sally dengan penis yang, kata Sally, berukuran monster. Aku tanpa sadar mulai mengelus paha Novi. Kepalaku turun, berhadapan dengan dadanya yang indah, dan kemudian mengecupnya dengan rakus dari luar dasternya. Novi berhenti bercerita dan mengelus lembut rambutku.

Aku pelahan melepas dasternya dan mengungkap keindahan di baliknya. Novipun melepas celana kolorku perlahan. Sampai sekarang aku terangsang berat apabila melihat dada Novi. Payudaranya yang indah seakan begitu bangga membukit indah dari dadanya. Putingnya yang terangsang mengerucut indah, berwarna merah mudah. Dan puting itu begitu mancung. Mulutku kembali menyusuri keindahan itu, kali ini tanpa halangan kain daster. Tangan kananku meremas bukit indah itu sementar mulutku menyusu bukit sebelahnya. Sebentar kemudian Novi melenguh. Dia paling suka diciumi dadanya.

Tangannya kemudian beralih ke penisku yang sudah tegang luarbiasa sedari tadi.
“Kalo punya mas, berapa sih panjangnya?” tanya dia manja.
“Kenapa tanya?”
“Ga, cuman penasaran aja.”
“boleh cek, tapi dikasih bonus cium ya …”

Eh, ternyata dia serius. Turun dari ranjang, Novi kemudian mencari penggaris, dan bergegas mengukur penis yang menjulang.

“6 inch…. Panjang juga ya,” katanya sambil mengelus penisku. Aku tersenyum bangga. 1 inch itu 2,5 centi.
“kalo panjang, dicium dong …”
Dia kaget dengan komentarku. Matanya memandangku lama. Aduh, aku salah ngomong.

“Mas njijiki …”

Tapi kemudian mulutnya mencoba mencium kepala penisku.

“engga ah, mas, ga mau ….”
“ya udah… gapapa sayang.”

AKu kemudian meraih tubuhnya yang telanjang, dan kami kembali berciuman. Kali ini aku ingin menciumi seluruh tubuhnya, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ketika ciumanku tiba di vaginanya yang telah basah, tangannya menahan kepalaku.

“Ga mau ah, mas, jijik, …”
“Tapi aku mau …”
“Ga mau …”

Ya sudah, lanjutkan saja dengan penetrasi. Seperti biasa, aku keluar duluan. Novi selalu menggantung. Tapi sepertinya dia cukup puas. Sepertinya ….

****

Suatu hari aku pulang lebih cepat. Jam 8 malam. Gus tutup lebih cepat karena anaknya kecelakaan. Aku telepon rumah dulu, memastikan istriku ada ketika aku pulang dan sudah menyiapkan segalanya.

Apartemen kosong ketika aku masuk.

“Nov, Nov, kamu lagi ngapain?”
“emmass, ke kamar dong …..”

Eit, kok menggoda gitu kayanya. Aku bergegas masuk kamar. Novi berbaring di ranjang. Tertutup rapat selimut.

“kenapa yang?Sakit ya?”
“ga, kok, cumannnn ….”
“cuman apa?”
“ehm, horny terus dari tadi,” katanya sambil membuka selimut. Gila, dia telanjang bulat. Jadi ngajak nih? Ada angin apa nih sampai segitu hornynya? Nganeh-nganehi.

langsung saja kuterkam dia. Eh, kali ini dia orgasme lebih cepat. Tak tahu kenapa.

****

Minggu- minggu berikutnya, tak tahu kenapa, gairah istriku semakin meningkat. Akunya yang kewalahan. Sungguh. Lagipula aku tak pernah bisa memuaskannya. Sering sekali aku mengeluh capek atau pusing supaya aku terhindar dari kewajiban memuaskan nafsunya.

Suatu hari ku pulang, pas sekali berbarengan dengan istriku. Jam sembilan malam.

‘Dari mana kamu, yang?”
“Biasa, mas, nyuci di bawah …”
“Ga sama Sally?”
“Eeem, dia, dia, lagi sakit …”

Aku memandang wajahnya. Ada noda putih di samping bibirnya. Seperti Lem. Banyak. Sampai ke dagunya.

“Itu kena apa bibirnya?”
“Apa sih ..”

Dia sadar, trus segera mengelap noda putih itu. Dia tampak gugup.

“Kena sabun kayanya …”
“Sabun cuci kok sampe lengket gitu …,” kataku santai. Aku bergerak mencium bibirnya. Segera tangannya menahan dadaku.

“jangan, belepotan….”

****

Perasaanku sungguh tak enak pagi itu. Minimarket juga sepi, tidak seperti biasanya. Rasanya ada yang salah hari itu. Kepalaku serasa berdenyut-denyut. Ketika makan siang, aku mencoba menelepon apartemen. Aku khawatir terjadi apa-apa di apartemen. Hanya perasaanku saja. Tidak ada yang mengangkat. Aku coba sekali lagi. Tidak ada juga yang mengangkat. Aku menenangkan hatiku. Mungkin istriku lagi ke ruang cuci.

Ah, apa iya? dua hari yang lalu kan baru saja nyuci. Apa dia ke tetangga ya? Iya kali, ketempat Sally. mereka kan sama-sama ibu rumah tangga. Aduh, kenapa sih jadi resah begini? biasanya santai…

Aku akhirnya memutuskan pulang. hari itu pukul 2 siang. Sesampai di rumah, segera kuketok pintu apartemen. Tidak ada yang membuka. Kemana Novi ya?

Aku mengetok pintu apartemen Sally. Sally membuka pintu. Memakai baju senam yang seksi, keliatan sekali dia baru saja olahraga. Peluh menetes di keningnya.

“What’s up Ira?”. Namaku Irawan. susah sekali orang amerika menyebut nama itu. Akhirnya aku mereka panggil Ira, tulisannya Aira.
“seen my wife?”
“Nope.”
“Felling well aren’t you?” tanyaku.
“what do you mean?”
“I thought you’re sick. Novi told me.”
“What? I’m very well, thank you. You see that I’ve been working out, don’t you?”
“Thanks alot , Sally.”

Jadi Istriku bohong ketika dia bilang Sally sakit. Untuk apa?

AKu bingung. Kemana Novi pergi?

Aku akhirnya turun ke bawah, ke ruang cucian. Mungkin Novi ada di sana seperti biasa. Baru pertama kali aku turun ke basement ini. Laundromat atau ruang cucian ada di ujung basement ini. Basement ini adalah ruang parkir bawah tanah. Cukup menakutkan ternyata. Pantas saja istriku selalu minta ditemani Sally. Lampunya remang-remang. Terdapat sinar sedikit saja di ruang cucian.

Aku berjalan perlahan. Sepi sekali. Dan lebih sepi lagi karena aku memakai sepatu karet kesukaanku. Sepatu itu samasekali tanpa suara. Aku masuk ke Ruang cucian. Pintu gesernya berderit.

Aku mendengar suara-suara. Ruang cucian terdiri atas dua ruangan. Ruangan pertama adalah semacam ruang tunggu dengan kursi berjajar. Tidak luas. Ruang kedua adalah ruang cuci itu sendiri, dengan mesin cuci yang berjajar. Aku menajamkan pendengaranku. Sepertinya suara laki-laki. Sepertinya suara itu sedang memerintah. Aku tidak tahan untuk tidak mengintip.

Oh rupanya Tyrone. Dengan pasti aku mengenali dia, meskipun aku melihatnya hanya dari belakang. Dia berdiri di samping mesin cuci. Dari sini aku hanya bisa bisa melihat bokongnya yang hitam, dengan otot-otot yang menonjol sempurna. Mana teman bicaranya?

“OOOOh, shit, that’s good baby. Suck it goood …”

Ada suara menghisap ….

“yes, baby, suck that big black cock …”

Ada suara mendengung.

“Oh god, this is great …. Lick it …”

Aku tidak jelas melihat, tapi aku yakin ada kepala seorang wanita, tepat di depan penis Tyrone. Oh, pastinya sedang terjadi oral sex di sini. Aku beranjak pergi dari situ, tapi rasa penasaran yang amat sangat menahanku.

“Get up baby … I want to see your delicious body …”

Sosok wanita itu berdiri. Aku masih belum jelas melihat wajahnya, tapi jelas, tinggi tubuhnya tidak sebanding dengan sosok Tyrone yang tinggi besar.

“God, you’re beatiful, hot as hell…,” kata Tyrone sambil mencium wanita itu.

Sialll. Kepalaku serasa pusing tidak terhingga. Hatiku hancur. Tubuhku lemah. Kakiku serasa tidak kuat menopang tubuhku. Aku jatuh terduduk.

Itu istriku. Itu istriku yang baru saja mencium Tyrone, dengan senang hati mengulum penisnya. Penis yang bukan punya suaminya !

Aku tidak punya daya. Mataku terus mengintip aksi mereka. Saat itu Novi memakai rok terusan yang berkancing di depan. Tyrone mulai membuka kancing bajunya satu persatu, sambil tetap menciumi bibir istriku.

Tidaaak ! Tidak mungkin. Novi memakai lingerie yang aku pakai. Dan ooh, lingerie itu … benar-benar sempurna menempel di tubuhnya.

Lingerie warna hitam itu melekat pas di tubuhnya, dengan cup BH yang kecil, cuman seperempat, membuat payudara Novi serasa tumpah, tergencet oleh kecilnya cup itu. Rendanya benar-benar membuat terangsang siapa saja yang memandangnya. Payudara itu rasanya ingin meloncat keluar, bahkan tali BHnya yang sangat kecil itu tak kuasa menahan volumnya. dan ya Tuhan, putihnya ….

Lingerie itu melingkari tubuh Novi dengan renda-renda yang transparan. Tyrone bergerak melepas bajunya sampai terus kebawah, sambil terus menciumi payudara yang tersembul itu. Celana-dalamnya yang dibuat terpisah dari lingerinya, sungguh sangat merangsang. Potongan pingggangnya tinggi, renda-renda di tepinya, dan depannya transparan, membuatku sekilas melihat bulu-bulu rapi vaginanya.

Lingerie itu punya semacam kaitan yang berhenti di bagian paha untuk menahan stocking. Orang bule menyebutnya Garter. dan Garter itu, oooh, sungguh indahnya melingkar di paha Novi, dengan rendanya.

Kali ini baju Novi telah lepas semuanya, memperlihatkan kesempurnaan tubuh Novi dibalut lingerie yang menawan.

Tyrone berhenti sebentar.
“God, you’re the most beautiful bitches I’ve ever seen,” katanya sambil mengelus dada Novi.
“Really?”
“God yes,” Katanya sambil langsung merobek lingerie itu menjadi dia, menarik talinya sehingga payudara Novi seakan meloncat keluar.

“you like what you see, Ty honey?”
DIa memanggilnya honey?
“You bet bitch !”

Dengan rakusnya Tyrone segera meremas dan mengulum dada sempurna itu. Novi mulai merintih sambil membelai kepalanya. Ya Tuhan, payudara sempurna yang seharusnya hanya menjadi milikku, sekarang diremas dan diciumi oleh orang lain.

“Ty, we can’t do it here. Can we go to your apartement?”
“No we can’t. My nephew’s there. Shit, can we do it here?”
“We can’t honey. Somebody will see us.” Mulut Tyrone masih ada di dada Novi.
“what about your fishin husband?”
“Naw, he’s still in store. Believe me. C’mon …”

Mereka bergegas memakai pakaiannya kembali.

Aku langsung cari tempat sembunyi. Oh Tuhan, kenapa aku jadi seperti orang tolol begini?

———————-
Part II
Novi’s perspective
Untung ada Sally!

Aku bakalan mati bosan di apartemen ini apabila tidak ada Sally. Rutinitasku benar-benar sangat membosankan. Setiap pagi hanya nonton soap opera, atau Oprah Show. Beli sayuran juga amat-amat jarang, karena hampir selalu mas Irawan yang beli. Kami berdua jarang sekali keluar jalan-jalan, karena suamiku hampir tidak pernah libur. Libur 1 hari dalam 10 hari, Mas Irawan biasa menghabiskan waktunya dengan tidur dan nonton TV.

Sally sudah menjadi teman yang menyenangkan sejak pertama kali aku bertemu dengan dia. Tipikal perempuan Amerika yang, kalau kubilang, cukup cantik. Rambut pirang, mata berbinar, tubuh tinggi, dengan lekukan-lekukan tepat yang pasti membuat orang bule tertegun. Dan dadanya itu, aku menjadi minder ketika berhadapan dengan dia. Aku selalu berpikir bahwa dadaku besar, tetapi ketika aku melihat payudaranya, oh, Tuhan, itu pasti payudara terbesar yang pernah aku lihat.

Setiap kali aku bosan, aku akan mengetuk pintunya, dan diapun dengan senang hati menerimaku, untuk sekedar ngobrol-ngobrol atau nonton TV berdua. Semakin lama aku mengenal Sally, aku pun tahu bahwa dia orang sangat “terbuka”. Terbuka dalam hal berpakaian, dan terbuka dalam hal bercakap-cakap.

Pakaian Sally sehari-hari tidak jauh dari kebanyakan ibu rumah tangga Amerika pada umumnya. Yang aku heran, setiap kali kami pergi mencuci atau pergi keluar (biasanya karena aku dipaksa menemani dia), dia selalu memastikan bahwa dia selalu memakai pakaian, yang menurutku, menampilkan “aset”nya yang berharga, kaki panjang dan dada besarnya. Pakaian bepergiannya tidak jauh dari tanktop-tanktop superketat, hotpants, atau gaun terusan mini dengan belahan dada yang sangat rendah. Aku kadang agak malu dan sedikit takut ketika berjalan bersama dia, karena hampir pasti setiap laki-laki di jalan menggodanya. Ketika kutanya kenapa dia selalu berpakaian seperti itu ketika bepergian, dia menjawab :

“You know what, Novi, you should proud of your body. If your husband can’t appreciate it, let somebody else does. And dressing sexy like this really turns me on. You should try it sometimes hon ..”

Emmm, kurasa tidak. Tubuhku hanya boleh dilihat oleh suamiku. Uh, suamiku tampaknya sekarang sudah terlalu capek untuk menikmati tubuhku.

****

Keterbukaan Sally juga terlihat ketika dia bercerita. Aku kadang berpikir bahwa Sally tidak seharusnya berbicara mengenai hal-hal itu, karena dia sudah bersuami. Sally paling suka menceritakan pengalaman di masa dia masih di highschool. Bukan pengalaman biasa, melainkan petualangan seks. Ya, seks, dengan banyak laki-laki. Pernah dia bercerita mengenai petualangan seks dengan guru kelasnya. Bagaimana ia menggoda gurunya itu dengan selalu duduk di depan, memakai rok supermini, dan kadang tanpa mengenakan celana dalam. Dan anehnya, aku mulai menikmati cerita-cerita itu, dan lebih aneh lagi, aku sering sekali menjadi terangsang.

Sally selalu cerita bahwa dia tidak pernah puas urusan ranjang dengan pria kulit putih. “Black Cocks, Big Black Cocks are the best, hon.” selalu itu kata dia. Penis pria kulit hitam adalah yang paling memuaskan. Pernah suatu kali dia menceritakan pengalamannya berhubungan seks dengan seorang laki-laki kulit hitam asing di tempat parkir sebuah supermarket. Asing, dia bahkan tidak tahu namanya. Dengan sangat detail, dia menceritakan bagaimana penis besar lelaki itu berusaha menembus vaginanya, dan bagaimana vaginanya berusaha “menelan” penis sebesar itu.

“You know hon, that’s the biggest cocks I’ve ever tasted. And I really really like it …. I Think I got, like, 4 orgams … ” tukasnya.
4 Kali orgasme? Suamiku bahkan tidak pernah memberi satupun kepadaku selama beberapa tahun pernikahanku.
“How big is it?” Tanpa sadar aku bertanya, dan aku malu sendiri mendengarnya.
“Gosh, it’s like a foot length, and its width, wow, so fishing thick,” tukasnya sembari memegang kaleng Diet Coke.

Aku sungguh terangsang mendengar hal itu. Dan yang aku pikirkan sepanjang hari hanya itu. Tak sabar aku menunggu suamiku datang. Mungkin dia bisa memuaskanku kali ini.

****

Aku tidak tahu, semakin lama aku bergaul dengan Sally, semakin dalam keinginanku menjadi seperti dia. Aku mengagumi kebebasannya, pengalaman-pengalamannya, dan yang terpenting, aku ingin sekali merasakan pengalaman-pengalaman seks itu sendiri.

Pagi itu seperti biasa aku ke tempat Sally. Pintunya tertutup rapat. AKu mengetuk berkali-kali dan tidak mendapat jawaban. Ah, mungkin dia pergi jalan-jalan. Sebel! kenapa sih dia ga ajak aku? Mending nyuci saja. Aku kemudian mengumpulkan pakaian kotor di apartemen kami. Beginilah nasibku. Berada di luar negeri tetapi seperti pembantu. Bosan, bener-bener bosan.

Basement, tempat ruang cucian, adalah tempat paling tidak favorit buatku, dan mungkin juga sebagian besar penghuni apartemen ini. Tempat yang sepi, remang-remang, dengan mesin-mesin cuci kuno yang besar. Sebagian penghuni apartemen lebih memilih mencuci di downtown karena tempatnya baru dan mesin-mesinnya masih bagus. Satu-satunya alasan aku masih mencuci di sini adalah biaya bulanan yang murah.

Seperti biasa, basement sepi. Aku beranjak masuk ke ruang cuci ketika tiba-tiba kudengar suara-suara. Ah. itu suara Tyrone dan Sally. Aku beranjak menyapa mereka, melangkah ke pintu ruang sempit itu ketika kudengar Sally menjerit.

“Oh, God, Ty, fish me now with that big cock!”
“You like it bitch?”
“God damn Ty, fish me hard, right now!”

Aku mengintip. Oh, Tuhan. Yang sedang mereka lakukan ….

Sally berdiri, agak membungkuk. Kedua tangannya bertumpu pada mesin cuci. Setengah bajunya sudah terangkat ke atas. Kedua payudaranya yang besar menggantung bebas, bergoyang mengikuti irama dorongan.

Dorongan Ty. Tubuhnya yang besar ada di belakang Sally. Celananya sudah turun ke bawah. Pantat itu ….

“I’m gonna rip you bitch !!!!!”
“Do it now, you motherfisher!”

Oh, tidak. Mereka akan melakukannya. Saat ini, di tempat ini.

“ooooh, god, pleaseeee, do it slow, honn. You’re to big …..!”

Ty mulai menggerakkan pantatnya yang kekar itu pelahan. Sangat pelahan. Sepertinya memastikan bahwa penisnya masuk ke dalam vagina Sally.

Penisnya. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Dan, sungguh, aku sangat penasaran dengan bentuknya.

Ahhh, tiba-tiba aku menjadi sangat terangsang.

Aku jatuh terduduk. Jantungku berdebar kencang sekali. Seumur hidupku, aku belum pernah mengintip orang lain, apalagi sedang melakukan perbuatan seperti itu. Kepalaku pening. Tapi aku merasakan sesuatu yang bangun di bawah sana. Ada rasa gatal yang harus segera digaruk. Tanpa sadar tanganku bergerak ke bawah sana.Kumasukkan tanganku ke dalam celana dalamku, mencari gatal itu. Oooohhhh, rasanya luar biasa tatkala tanganku bergerak mengelusnya. Bergerak, seirama dengan pompaan penis Ty masuk jauh ke dalam vagina Sally. Dan, suara Sally, tidak terbayangkan lagi betapa kerasnya. Menjerit, merintih, berteriak, atau apapun namanya.

“Oh, god, yesss, yesss, ….”
“Shit, you’re so tight bitch!”

Ty terus memompa, dan aku, dari kejauhan, mengelus bagian dalam vaginaku, yang sekarang sudah sangat basah, seirama dengan pompaan itu. Sungguh, luar biasa rasanya. Jauh lebih nikmat daripada gesekan penis suamiku. Aku makin cepat menggosokkan jariku ke klitorisku ketika kurasakan kenikmatanku semakin memuncak. Sepertinya Sally pun merasakan yang sama. Jeritannya semakin tidak karuan. Iramanya semakin cepat. Nafasnya memburu, terengah-engah, semakin tidak teratur.

“OOhhh, good, yess, yes yes, yess…ooohh, … goood! you’re big, I’m cummmmiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnng !!!”

Sambil berteriak panjang, kedua tangan Sally menggebrak mesin cuci, dan kemudian lunglai bersandar padanya. Ty menghentikan pompaannya.

“Bitch, I ain’t cumming yet! You just can’t handle it, dontcha bitch? You just can’t handle being fished by a big black cock like mine, dontcha bitch?”

Tangan Ty melayang menampar pantat Sally yang montok. Bekas merah padam nampak di belahan pantat itu.

Dan di saat yang hampir sama, kurasakan aku sendiri merasakan kenikmatan luar biasa dari gesekan tanganku. OOOH, nikmatnya. Benar-benar lain, kenikmatan karena memandang adegan seksual paling intens yang pernah aku rasakan. Tanganku basah kuyup. Mataku terus menyaksikan adegan itu.

Ty kemudian melanjutkan pompaannya. Apa? aku tidak tahu waktu saat itu, tapi yang jelas sangat-sangat lama, dan yang jelas Ty benar-benar mempunyai daya tahan yang luar biasa. Sally, yang sudah pulih dari orgasmenya, kembali merintih-rintih menahan nikmat, dihajar oleh penis Ty yang besar.

Aku berbalik. Sungguh tak tahan dengan pemandangan itu. Pemandangan yang membuat aku iri. Aku membatalkan niatku untuk mencuci hari itu.

****

Sally berpamitan padaku pagi ini. Pergi ke tempat saudaranya di Boulder, Colorado. Mungkin satu minggu penuh. Dan aku menjadi sangat kesepian hari itu. Tetap, aku tidak pernah menanyakan peristiwa yang aku lihat lusa kemarin. Aku tidak mau dikatakan sebagai pengintip.

Hari selasa sungguh membosankan. Suamiku berkata bahwa hari ini dia akan lembur. Katanya di Pub ada kiriman peralatan bar yang baru, yang harus segera dipasang di bar. Aku melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, dilanjutkan dengan jam-jam menonton opera sabun, film, dan talkshow.

Sorenya aku bergegas ke basement, tugas rumah terakhir. sore itu basement sangat sepi, seperti biasanya. Aku memasang headphone walkmanku, sambil memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci.

Cukup lama aku berkutat di dalam kesendirian sampai suatu saat, tepukan di bahuku mengagetkanku setengah mati.

“Doin’ the laundry miss?”
Aku menoleh sambil mencopot headphone. Rupanya Ty. Tiba-tiba saja jantungku berdentum ekstra keras, mengingat kejadian kemarin.

“Errr, yes, like usual ….” Tak pasti jawabku, bergetar. Ty memakai kaos basketball warna ungu yang menunjukkan tonjolan-tonjolan ototnya yang nyaris sempurna, dengan tato-tato di tangannya. Kemudian dia bersiul.

“Woow, that’s naughty,” katanya sambil menunjuk celana dalamku yang tanpa sadar aku pegangi terus dari tadi. Aku gugup dan kemudian segera memasukkannya ke dalam mesin cuci. Celana dalam itu berwarna merah tua, dengan renda-renda yang transparan di bagian tengah. Celana kesukaan mas Irawan.

Dia kemudian tertawa terbahak. Setelah itu aku membuang muka. Malu setengah mati, sambil berharap untuk cepat-cepat keluar dari ruang cuci ini. Ty mulai memasukkan pakaian-pakaian kotornya ke dalam mesin cuci.

“Shit, where’s the soap ….”

Ty bergerak mengambil sabun cuci yang ada di sampingku. Gerakannya membuat badannya bergeser di belakangku, sepertinya tidak sengaja, membuat tonjolan celananya menggesek pantatku. Aku merinding. Aku merasakan tonjolan besar tepat di belahan pantatku. Dia menahan dirinya agak lama di belakangku. Aku bergerak maju untuk menghindari, tapi sia-sia karena sudah tak ada ruang lagi antara tubuhku dengan mesin cuci.

“Sorry …,” katanya sambil nyengir.

Kami kembali melanjutkan aktivitas kami. Aku sudah akan beranjak keluar untuk duduk-duduk di ruang tunggu menunggu cucian selesai ketika kudengar teriakan kecil. Aku menoleh.

“Man, I almost forgot my underpants,” katanya santai, dan tiba-tiba saja, memelorotkan celananya ke bawah. Aku menelan liurku. Lidahku kelu. di depanku, Ty hanya mengenakan celana dalam putih ekstra ketat yang menunjukkan tonjolan penis dan buah zakarnya. Ty seperti acuh saja meneruskan mencopot celana dalam putihnya dan kemudian memasukkannya dalam mesin cuci. Aku tertegun. Seharusnya aku keluar segera dari tempat itu, tapi tidak. AKu tidak keluar. Aku ingin melihatnya. AKu ingin melihat seperti apa penis yang dipuja-puja oleh Sally itu.

Penis itu masih lunglai. ya, masih terkulai dan ukurannya sama dengan kepunyaan mas Irawan. Warna hitam legam, dengan kepala berwarna ungu legam. Dan kedua buah zakarnya, menggantung bebas di bawahnya. Ukurannya luar biasa besar. Mungkin sebesar bola tenis. DIa menatapku sambil nyengir.

“Do you like it miss?”
Aku diam. tak tahu harus menjawab apa.
“You can touch it if you want. It won’t bite you, hehehe,” ketawanya sombong. Aku masih terpaku di tempatku.
“You like what you saw yesterday miss?”
Aku terkejut. Benar-benar terkejut.
“Wh-hat dddo you mean?”
“Hohoho, I think you know what I meant. I saw you peeking on me and Sally yesterday, doin’ bad things ….”
Apa? bagaimana dia tahu kalau aku mengintip?
“I bet you kept thinking about it, dontcha?” Kini dia selangkah maju, mendekati aku. Aku merasakan nafasnya hangat di dekatku. Aku merinding. Darahku berdesir. Aku tidak boleh membiarkan hal ini. Hati kecilku ingin aku kelaur segera dari tempat ini, tapi aku tak bisa. Tak tahu kenapa.

“you wanna touch it, dontcha? feel it, squeeze it, taste it, dontcha?” Sambil berkata begitu, tangan Ty menggenggam tanganku, dan mengarahkannya ke penisnya. Aku diam saja. Tanpa sadar, tanganku sudah menggenggam penisnya. Dan mulai membelainya. Iya, membelainya. Pelahan. Penis itu mulai membesar di genggaman tanganku. urat-uratnya yang mengalirkan darah terasa berdetak di tanganku. Kepala berwarna ungu itu mulai membesar, menampakkan lubang seakan ular bermata satu yang mengintai korbannya. Aku. Batang penis itu mulai tak cukup di genggaman tanganku. Aku meneruskan belaianku, dan batang itu semakin besar saja di genggamanku. Urat-urat penisnya mulai tampak menonjol, menghiasi batang panjang berwarna hitam legam itu. ya, aku setuju dengan Sally. Penisnya memang luar biasa besar dan panjang. Mungkin 8 inchi. Hampir dua kali lipat panjang penis mas Irawan.

“You know bitch, it will be happy if you kiss it….”

Apa? Mencium penis itu? seumur hidup pernikahanku saja, aku sama sekali tidak pernah mau mencium penis suamiku. menjijikkan. Tapi ada dorongan lain yang tak aku mengerti. Seakan aku menjadi semacam hamba yang siap menuruti tuannya, si negro pemilik penis besar itu. Jujur, rasa penasaranku mengalahkan segalanya.

Aku membungkuk. Dengan sedikit ragu aku menciumnya. Mencium kepala penis ungu yang superbesar itu. Penis itu bergerak. Sialan! pasti dia yang menggerakkannya. Aku melihatnya tersenyum lebar.

“C’mon bitch, I know you want it sooo bad,” katanya sedikit sombong.

Tak tahu kenapa, aku meneruskan menciumi kepala penis besar itu. Dengan segenap hati.

“On your knees, bitch,” katanya kasar dengan memegang kepalaku. Hei! Tapi aku melakukannya. Aku terduduk. Tak tahu apa yang harus lakukan, aku kembali menciumi kepala penisnya.

“Gosh, don’t you know how to suck cock good, bitch? Lick it, all the way from the balls,” katanya memberitahu aku. Apa? Tapi aku melakukannya. Aku benar-benar benci pada diriku sendiri saat itu. Aku akan mengkhianati suamiku sendiri. Dengan orang asing. Seorang Negro.

Seperti seorang pemula yang baru belajar, ku mulai menjilati penisnya. Kumulai dengan kantong zakarnya yang diselimuti bulu tebal. Tak yakin dengan apa yang harus kuperbuat, aku mengulum salah satu bola zakarnya. Serentak bau aneh menyergap hidungku. Tiba-tiba aku terangsang hebat.

“ooh, that’s good ….”

Dorongan untuk memuaskan laki-laki ini kurasakan sangat besar. Aku kembali dengan agresif menciumi, mengulumi bolanya, sambil mengelusi batang penisnya dengan tanganku. Kulanjutkan jilatanku menyusuri bagian bawah batang penisnya yang berurat itu. Dan aku merasakan penis itu tumbuh semakin besar. Ha? Mustahil. Jilatanku berhenti tepat di bagian bawah kepala penis, dan kemudian, kugigit pelan bagian itu dengan kedua bibirku.

“Shit, that feels great …. Now, bitch, it’s time to suck a real cock …”

aku setengah ragu dengan pernyataannya. Tapi kurasa aku paham apa maksudnya. Dengan kegugupan, karena aku baru sekali melakukannya, aku mulai membuka mulutku untuk mengulum kepala penis monster itu. Aku sedikit bergidik ketika melakukan itu.

“oooooooh, that’s great for a start, bitch, suck it …. yesss, suck it goodd …”

Aku berusaha memasukkan penis itu kemulutku, tapi tak bisa. Terlalu besar. Hanya 1 inchi yang berhasil kumasukkan ke dalam mulutku. Kepalaku kemudian kugerakkan naik turun dengan penis itu di mulutku, tepatnya dipaksa untuk bergerak. Tangannya yang kasar memegang dengan kasar kepalaku, seakan memaksaku untuk memasukkan lebih dalam lagi penisnya ke mulutku. Aku berusaha. Sambil menghisap, lidahku kumainkan di lubang penisnya. Dia berteriak tanda senang. AKu melanjutkan permainanku. Tanganku juga tak henti bergerak memompa batang besar itu.

Aku kelelahan. Mungkin 45 menit aku melakukan tindakan itu. Mulutku sudah lelah. Tapi aku masih penasaran ingin memuaskan dia. Tanganku sekarang lebih erat meremasnya. Kedua tanganku semakin cepat memompa batang itu. Dan aku merasakan nafas Ty semakin memburu. Aku mendekati kesuksesan. Aku “menyerang” penis Ty semakin cepat. Mengulumnya. memompanya. Kurasakan aliran di dalam batang itu. Dan tiba-tiba lubang dalam mulutku membuka lebar.

Ty berteriak keras. Aku segera melepas mulutku dan menghindar ke samping, tapi agak terlambat. semprotan pertama sperma mampir ke mulutku. Rasanya aneh. Tanganku tetap memompa batang keras luar biasa itu. Dan ya Tuhan, semprotannya …..

semprotan kedua meluncur jauh ke lantai. demikian juga dengan semprotan ketiga, keempat, kelima, …. Banyak sekali. Seakan-akan cairan putih lengket itu menyirami lantai ruang cuci.

“Gosh, That’s great. You like it bitch?”
“I-ii-i think so …”. Penis itu masih tegak mengacung.
Aku berdiri. seolah tidak terjadi apa-apa, aku memasukkan cucianku yang sudah kering ke kantong cucian. Aku beranjak pergi cepat-cepat.

“Next time, make sure you wear something sexy when you meet me, bitch ! See u on Wednesday!”

****

Mas Irawan hampir saja mengetahui perbuatanku. Sisa sperma Ty ternyata masih ada yang menempel. Untung saja aku cepat berkelit. Kalau saja dia tahu ….

Aku masih memikirkan teriakan Ty ketika aku keluar. Baju seksi? Aku selalu menganggap bahwa baju-baju seksi, apalagi baju dalam, itu tabu. Pernah pada waktu ulang tahun perkawinan kami, mas Irawan memberi aku kado lingerie, pakaian dalam seksi. Melihatnya pun aku tak mau. Sama sekali. Seperti PELACUR!

Sekarang aku ada di depan lemari. Aku ingat betul dimana mas Irawan menyimpannya. Pakaian itu masih terlipat dengan rapi. Aku ragu-ragu menariknya dari tumpukan baju. Entah pikiranku sudah gila atau tidak, aku mulai meloloskan bajuku satu persatu, untuk mencoba lingerie hitam itu.

Lingerie itu ketat sekali menempel di tubuhku. Sepertinya memang ukurannya satu size lebih kecil. Dan kemudian aku mengaca. Sambil berkacak pinggang, aku melihat tubuhku di cermin. Tak kusangka, aku menyukainya. Iya, sensasinya benar-benar luar biasa. Aku sangat seksi. Bahuku, dadaku, perutku, pahaku, tampak sempurna.

Dan keinginanku satu-satunya, adalah memuaskan orang negro itu. Bukan suamiku. Aku menantikan hari Rabu.
—————————-
Final Chapter
Husband’s Perspective

Aku segera bersembunyi. Mereka keluar tergesa-gesa dari ruang cucian. oh, Tuhan, aku mengintip istriku sendiri berselingkuh. Dadaku serasa terbakar karena amarah yang meluap-luap. Kepalaku terasa pening karena pompaan darah yang begitu cepat. Ingin rasanya aku segera keluar dari negara ini, meninggalkan wanita yang pernah bersumpah setia kepadaku selamanya. Tapi aku ingin melihat, mengapa istriku sampai berselingkuh dengan pria kulit hitam itu. Mereka berjalan cepat-cepat menuju lift tua, bergandengan tangan. Aku mengendap-endap membuntuti mereka, seperti orang bodoh.

Mereka menuju apartemenku. Tidak tahu malu! bisa saja tetangga melihat peristiwa itu. Ah, tetanggaku pasti tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu. Mereka berhenti tepat di pintu apartemen, sambil istriku berusaha membuka kunci pintu apartemen. Usaha yang cukup susah, karena Ty, berdiri di belakangnya, dengan rajin menjamah seluruh bagian tubuh istriku sambil menempelkan erat tubuhnya ke istriku. Bibirnya menciumi leher istriku, kedua tangannya meremas dada besar istriku, dan kelihatan sekali, penisnya digesek-gesekkan ke pantat istriku. Akhirnya pintu itu terbukalah. Sangat terburu-buru mereka masuk, dan sempat kulihat istriku berbalik dan dengan bernafsu mencium bibir Tyrone. Gemeretak gigiku.

Aku berjingkat mendekati pintu. Sungguhpun aku tidak ingin lagi melihat mereka berselingkuh, tapi aku ingin tahu apa yang membuat istriku berpaling kepada lelaki hitam itu. Aku hanya berharap pintu itu tidak sempat dikunci istriku.

Aku benar. Kunci itu memang tidak terkunci. Pasti istriku sudah terlalu bernafsu. Tanganku gemetaran ketika membuka knob pintu itu. Entah ada pikiran apa yang ada di benakku. Laki-laki lain pasti sudah kalap dan mungkin melakukan tindakan brutal. Bagaimanapun, Aku ingin tahu bagaimana perilaku mereka. Tak ada suara ketika aku sampai di ruang tamu. Aku melihat pintu kamar utama, dan pintu itu tertutup rapat. Mereka melakukannya di ruang tidur pribadi? Sebegitu rendahkah istriku sampai-sampai berani menodai tempat tidur kami?

Aku yakin bahwa pintu kamar utama pun tidak dikunci oleh istriku. Dengan sangat perlahan, menyiapkan diriku untuk pemandangan apapun yang hendak aku saksikan. Tapi aku tak siap ternyata melihat pemandangan memuakkan itu …..

Tepat di atas kamar tidur kami, aku melihat Novi, masih dalam lingerienya yang sudah separo sobek, payudaranya bergantung bebas, menjilati, ya, Tuhan, penis paling besar yang pernah aku lihat. Penis itu ….

Penis itu hitam, menjulang dengan gagah, paling tidak 2 kali lipat ukuran penisku. Urat-uratnya tampak jelas menghiasi batang sebesar kaleng Pepsi yang sekarang sedang dijilati dengan penuh kesungguhan oleh Nova. Dasar Pelacur ! Dia tidak mau memberikan pelayanan itu kepada suaminya, tapi memberikannya dengan senang hati kepada orang asing. Bibirnya menyusuri bagian bawah batang penis itu mulai dari zakar sebesar bola tenis, sampai ke kepala penis berwarna ungu legam itu. Bahkan mulutnya mencoba mengulum kepala penis besar itu. Suara menyeruput terdengar begitu keras di kamar kecil itu.

Aku jiijik sekali dengan apa yang kulihat itu. Dan disini, lebih menjijikkan lagi, aku hanya bisa mengintip istriku yang sedang bergumul dengan seorang lelaki yang secara fisik jauh lebih superior daripadaku.

Lenguhan lelaki itu, menikmati sekali layanan istriku, mulai terdengar. Kata-kata kotor yang merendahkan sering sekali keluar dari mulut lelaki, tetapi herannya, istriku seperti dengan senang hati menerima ucapan-ucapan itu.

“Bitch, it’s my turn now to suck your clit! Now lay down …”

Orang itu turun dari tempat tidur, dan mulai mengangkangkan paha istriku lebar-lebar. Aku tahu maksudnya. Giliran dia menjilati dan memuaskan istriku. Dari posisiku mengintip ini, hanya hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya yang bergerak-gerak, mungkin dengan ahlinya menjilati vagina istriku. Rintihan, lenguhan, atau apalah namanya, istriku terdengar. nafasnya terengah-engah. Rintihan itu tidak pernah dia dengar selama beberapa tahun mereka bercinta. Berarti baru sekarang dia benar-benar menikmati hubungan seks ……

Rintihan itu semakin sering terdengar, temponya semakin cepat, dan …

“aaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh … i’m… cummmmmmmminnnnnnnnnngggg,” Teriaknya keras-keras.

Tyrone berhenti menjilati dan berdiri. Dia menikmati pemandangan wanita sempurna di depannya yang sedang menikmati orgasme. Mungkin pertama kali dalam hidupnya. Dan aku, suaminya mengintip, memandangi dua tubuh yang kontras itu …

Kontras. Novi dengan tubuhnya yang mungil , putih, lekuk yang sempurna, dan Ty, dengan tubuh hitam yang berotot, tinggi besar. Dan kini tubuh putih itu terengah-engah dalam kenikmatan.

“Now, on your knees bitch, I want to ram your pussy hard !” seru Ty setelah sekian lama berdiri.

“Do it really slow, Ty hon, you’re too big ….”

Lagi-lagi dia menyebut orang itu Honey. Dibayar berapa dia? Menjijikkan! darahku mendidih, tapi aku sepertinya terpaku dengan pemandangan itu.

Novi beringsut, dan menungging, menampakkan kedua belahan pantatnya yang bulat sempurna. Kami, selama 4 tahun pernikahan, belum pernah sama sekali terpikir untuk melakukan posisi bercinta seperti itu.

Ty mengambil posisi dan pelan-pelan mengambil posisi di belakang pantat Novi, dan mulai bergerak memompa. Sepertinya hanya menggoda saja.

“Ooooh, don’t tease me honey…. please put it in”
“What? I can’t hear you bitch!”
“Please, please, fish me hard with your big black coooockk !”
“Here you go biiiiiiiiiiiitch !”
…..

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAuuuuuuuuuuuuuuuwwww, goooooooood, it hurtsssssssssssssss!”

Oh, Tuhan. Aku ingin segera bergerak untuk menolong istriku. Sudah pasti vaginanya tidak akan mampu menerima penis sebesar itu. Tetapi aku menunggu.

“I bet you husband’s little dick didn’t fill your pussy nicely, did you bitch?”
“ooh… ooh …. God, it hurts, pull it out, pull it out …”
“Oooh, nooo, no, bitch, I won’t … Damn, your pussy is so tight … I will go very slow bitch …”

Kemudian tubuh hitam kekar itu berhenti memompa. Aku tidak sudah seberapa jauh penis besarnya masuk ke dalam vagina Novi.

“Do it now, Ty, …. I’m ready …”

Dan memompalah Ty. Teriakan Novi membahana. Kemudian disusul dengan teriakan putus-putus seirama dengan nafasnya yang terengah-engah. Kedua tubuh itu mulai bergerak seirama. Tubuh Ty sedikit membungkuk kedepan, dan tangannya meraih kedua payudara besar Novi.

“Ooooh, god, yess, yess …. oh oh”

Aku tertegun. Tidak percaya dengan penglihatanku. Walaupun aku tidak bisa melihat menyatunya penis dan vagina mereka, aku yakin penis itu ditelan habis, masuk ke dalam vagina Novi tanpa sisa. Air mata menetes di pipiku.

Ty terus saja memompa. Kadang-kadang dia memperlambat pompaan, dan hampir selalu diikuti dengan teriakan kekecewaan Novi. Novi benar-benar gila! sampai pada suatu saat ….

“OOh, ohh, ooh, i’m…. i’m …. cummmmmiinnnnngggg !!!!!!!!!!!!!!!”

Novi berteriak keras dan menelungkup, tak tahan dengan sensasi kenikmatan itu. Ty benar-benar luar biasa. Belum sekalipun terlihat tanda-tanda dia akan ejakulasi. Tiba-tiba aku merasa iri seiri-irinya ….

Ty menjatuhkan tubuhnya tidur di samping Novi. Aku segera menyembunyikan diriku di balik pintu agar mereka tidak melihatku. Dasar lelaki bodoh ! kakiku gemetaran. Tubuhku lemas. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi.

Menit-menit berlalu dalam keheningan. AKu masih duduk di depan pintu kamar. Entah apa yang mereka lakukan di kamar. Tiba-tiba aku dengar suara Novi.

“Ty, …. ehm … can I … can I … ride … I mean … me on top of you?”
“Sure bitch ..”

Aku mengintip lagi. oh, Tuhan, istriku seperti binatang buas yang terlepas …. tingkah lakunya seperti seorang gadis binal yang mencari kepuasan. Kembali mataku berkaca-kaca.

Novi berdiri dan menempatkan dirinya tepat diatas penis besar menjulang itu, dan pelan-pelan mulai menurunkan tubuhnya. Jeritan kecilnya terdengar ketika kepala penis itu bersentuhan dengan mulut vagina Novi. Oh, tidak mungkin! mustahil penis itu bisa ….

Tapi itu terjadi. Sekarang pantat Novi sudah menduduki pinggul Ty, tanda keduanya sudah bersatu. Aku melihat buah zakar besar itu sekarang bertemu dengan anus Novi. Dan tubuh Novipun bergerak …..

Tubuh putih mungil itu pun bergerak maju mundur. Dada besarnya berguncang keras, tak lama karena tangan Ty segera meremasnya sampai Novi menjerit. Suara-suara nafsu itu kembali terdengar. Novi mengangkat tubuhnya, untuk merasakan panjangnya batang penis itu merangsang clitorisnya. Dan dia melakukannya berkali-kali. Aku melihat betapa penis itu sekarang berkilat-kilat karena cairan Novi. Tampaknya Novi hampir sampai (untuk ketiga kalinya?) ketika kudengar rintihannya semakin cepat temponya. Dan juga Ty. Teriakan mereka seolah membuat paduan suara nafsu yang bisa membuat orang manapun tertegun.

Dan akhirnya mereka pun orgasme. Bersama-sama. Dalam teriakan panjang penuh kenikmatan. Ty ejakulasi di dalam vagina istriku!

Aku tak tahan lagi.

****

Kami bercerai. Aku yang mengajukannya. Dan herannya, Novi tidak keberatan. Tidak ada komentar apa-apa ketika aku mengungkapkan hal itu.

Aku pulang ke Yogya. menyendiri. Inan kubiarkan tetap bersama kakek dan neneknya, setelah terlebih dulu kuberitahu bahwa ibunya sudah meninggal. Kakek neneknya kularang, sampai kapanpun, untuk memberitahu kejadian yang sebenarnya.

Satu Tahun sejak peristiwa itu, aku berkenalan dengan seorang penulis muda. Kami bertemu dalam sebuah pameran lukisan, tepatnya pameran lukisan Joko Pekik di Bentara Budaya. Namanya Miranti. Seorang wanita sederhana yang sangat manis. Kami langsung akrab, karena dia sibuk mengapresiasi lukisanku satu-satunya yang aku titipkan di pameran itu, sebagai sebuah lukisan wanita yang muram dan gelap. Aku setuju, karena saat itu aku sedang membayangkan Novi.

Kami menikah 6 bulan kemudian. Saat ini Miranti sedang mengandung anak kami. Laki-laki kata dokter. Adik Inan. Dan aku sudah melupakan peristiwa kelam itu.

The End.
By: Simatupang

10 Tanggapan

  1. cukup membuat horny, tapi huaaa… sedihnya… untunglah kisahnya berakhir happy.. moga2 si miranti tidak tergoda juga dg “big black cocks” and they lived happily ever after.. hehehe
    great story bro!! 2 thumbs up!!
  2. nice story, tapi kok sebal rasanya kalo baca orang bule lebih superior dari orang kita.
  3. waduuhhh… hebat nih cerita, pinter nulis ya om, bikin perasaan gue kacau, napsuin, sedih, seneng, halah…
    4 thumbs up deh!
    jadi takut pindah ke amrik neh..
  4. yup..
    wanita asia di amerika, sebaiknya hati2.
  5. wah, harusnya ceritanya lebih dikembangin :
    - si irawan tau bahwa Sally yang ngehasut novi,
    - Irawan balas dendam dengan perkosa sally.
    tapi ini udah lumayan sich…
  6. Brensek bgt tu cewe! anjrit jijik gw liat cewe ky gtu! gak tw malu udah pnya suami jg! tp asli gw bingung ini fakta atau bokiz?
  7. telat kali ya baru koment sekarang,..
    Tapi cerita ini keren banget, menginspirasi dech pokoknya,..
    bikin gue pengen bikin cerita kayak gini, meski gak yakin bisa dibandingin ama greatwork kayak gini,..
    he he
    pernah kepikir bikin cerita model ini, tapi penyusunan ceritanya bikin inspirasi untuk bisa merubah cerita yang gue garap itu jadi lebih baik,..
    thanx bro simatupang
  8. pada 7 Februari 2010 pada 17:35 | Balas jend.soedirboyz
    part II na mana ya ???
  9. pada 20 Juli 2010 pada 21:24 | Balas Pecinta seni
    Kren2, udh lama nh crita gw baca berkali2, tpi baru smpet comment, hhe, nice story, good job man, happy ending with blue story :)
  10. pada 27 Maret 2011 pada 14:24 | Balas Budayawan XXX
    Udh lamabgt nih Story… Baru kebaca…
    Gw setuju sm comment : tapi kok sebal rasanya kalo baca orang bule lebih superior dari orang kita. APalagi Neiger…. Sorry, bukan Rasis… Tp Banyak Beasts qta yg lbh OK…
    Over all… Lumayan bro…

1 komentar: