Laman

Kamis, 28 Juli 2011

Sebuah Awal yang Salah 2

7 Maret 2008

Pagi itu aku terbangun dalam kegundahan, seakan-akan telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Bahkan saat di kamar mandi, aku merasa malu mendapati bercak-bercak kebasahan yang masih lengket dan belum mengering pada celana dalamku. bahkan saat aku menyabuni sekujur tubuhku, seakan-akan bukan diriku sendiri yang melakukannya, betapa kurasakan pori-pori pada kulitku mengembang sehingga aku merasakan kepekaan yang berlebihan pada kulitku yang membuatku merinding geli, dan kudapati kedua buah dadaku terasa membengkak serta puting-puting susuku terasa kejang, geli, dan kaku. Ahhh apa yang terjadi pada diriku saat ini??? Cepat-cepat kuselesaikan mandiku dan coba alihkan pikiranku kepada hal-hal lain.
Tetapi di kantor pun, ternyata aku kembali teringat P. Siraj. Aku seakan-akan merasakan lagi sentuhannya pada tubuhku yang membuatku menggigil… Untung saja pikiran warasku masih bekerja dengan baik dan aku pun balik menyalahkan orang lain atas apa yang telah kualami ini. Ya… sasarannya siapa lagi kalau bukan ayahku sebab beliaulah yang membuat aku mengalami kejadian ini.

“Hallo…” aku mencoba menghubungi ponsel ayahku untuk memprotes atas tindakannya memberikan nomor telpon rumahku kepada P. Siraj.
“Ya, hallo…” terdengar suara ibuku menjawab telpon di seberang.
“Ini Dewi, Bu… Bapak ada?” tanyaku dengan perasaan berdebar.
“Ga ada Wi, pagi-pagi tadi sudah pergi dengan orang-orang partai xxx… rapat katanya Wi. Tumben kamu nyari Bapak Wi?” tanya Ibuku seakan menyelidik.
“Anu ga papa Bu, Dewi cuma mau nanya siapa yang ngasih telpon rumah Dewi ke P. Siraj?”
“Loh emang kenapa Wi? Bapakmu yang ngasih itu, soalnya kata Siraj terapimu belum selesai, lagipula Siraj juga ngomong kalau kamu punya masalah serius pada kandunganmu. Nanti jadi kesini ga? Ibu sama Bapak khawatir ada kenapa-napa sama kamu”
Duh, langsung lemes tubuhku. Rupa-rupanya P. Siraj ini ngarang-ngarang supaya dia bisa menjamahi lagi tubuhku. Tetapi satu hal yang tak kupahami setelah kututup telponku, aku merasakan munculnya gejolak aneh yang lebih menggelora dibandingkan sebelumnya. Duh entah apa yang akan terjadi nanti seandainya aku jadi berkunjung ke rumah Bapak? Akhirnya, sesiang itu, hingga sore hari, aku nyaris tak bisa tenang dalam bekerja. banyak sekali telpon masuk tak bisa kutanggapi dengan sewajarnya. Belum lagi ada sms dari suamiku yang mengingatkan agar aku tidak menjenguk bapakku usai jam kantor, katanya diapun bakal pulang malam karena ada meeting dengan klien…

Akhirnya usai jam kantor, dengan hati yang berdebar kencang, dengan sejuta gelegak aneh yang menggelayuti hati, akupun pergi ke rumah Ayahku. Sampai di sana suasana rumah tampak sepi, mobil Ayahku ngga kelihatan, hanya sepeda motor Mbak Erni yang tampak terkunci di balik pagar. Dengan perasan berdebar aku melangkah masuk, walaupun kakiku seakan-akan lemas lunglai. Rasa malu dan cemas mulai kurasakan menyeruak dalam dadaku membuat aku sejenak merasa ragu-ragu. tetapi dari dalam diriku sendiri seakan ada dorongan yang cukup kuat untuk membuatku bertahan, bertahan dari rasa takut, dari rasa malu, dari kehilangan harga diri… Sejujurnya aku bahkan sudah berpikir, seandainya kejadian kemarin ini terulang lagi hari ini, maka hal itu benar-benar sudah bukan kealpaanku semata, sebaliknya karena…

Di ruang tamu ternyata hanya ada Mbok Las (pembantuku) dan Mbak Erni. Tetapi tampaknya Mbak Erni sedang bersiap-siap untuk pergi kalau kulihat dari dandanannya yang sudah rapi.
“Wi, kamu sedari tadi sudah ditunggu-tunggu sama P. Siraj,” kata Mbok Las memberi penjelasan kepadaku. Mbok Las memang sudah terbiasa memanggil aku dengan menyebut namaku langsung karena faktor kebiasaan. Dialah mengasuhku sejak aku masih bayi. “Sekarang P. Siraj sudah pergi, ngga tahu kemana Wi, sejak jam empat sore tadi.”

Plong. Benar-benar plong rasanya hati ini. Seakan aku baru saja terbebas dari beban berat yang menghimpitku. Sehingga dari mulutku terucap kata syukur. Yang paling melegakan ialah karena aku terhindar dari melakukan kesalahan untuk yang kedua kali. Sekalipun tadi hatiku sempat dipenuhi gejolak yang tak kumengerti, tetapi berita ini sungguh bak air sejuk menyiram sanubariku…
Tetapi kegembiraanku hanya berlangsung sesaat. Kesalahanku adalah aku tidak segera pulang begitu mengetahui bahwa P. Siraj tidak ada di rumahku, sehingga tanpa kusadari aku mengobrol lumayan lama dengan Mbok Las dan Mbak Erni sampai kudengar suara salam yang terucap serak dan berat dari balik pintu depan ruang tamu… suara P. Siraj…
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa menggigil, takut. Serasa lemas seluruh sendi-sendi tulangku. Tetapi sekaligus aku juga merasakan debaran kencang dalam hatiku…

Tidak seperti biasanya. kali P. Siraj mengenakan baju koko warna putih, kopiah dan sarungnya pun nampak masih baru. Sejujurnya, walaupun wajahnya tidak menarik, tetapi dengan penampilan barunya itu dia terlihat lebih bersih dan rapih dibanding sebelum-sebelumnya. Dia langsung mengambil tempat di antara kami bertiga, dan seperti biasa, meluncur kata basa-basi dari mulutnya menanyakan keadaan kami semua sambil mulai mengisap rokok kretek kegemarannya. Tak berapa lama, Mbok Las pun minta ijin membuatkan kopi untuk P. Siraj, tinggalah aku dan Mbak Erni yang terpaksa menemani. Setidaknya aku masih tertolong dengan keberadaan Mbak Erni yang memang ceriwis, sehingga aku bisa menutupi rasa gelisahku. Tapi itupun tak berlangsung lama, seperti sudah kuduga sebelumnya, Mbak Erni pun akhirnya pamitan mau pergi, katanya dia ada acara diluar sampai malam hari. Sekarang tinggallah aku dan P. Siraj berduaan saja, sementara Mbok Las masih sibuk menjerang air di dapur.

Aku menyadari benar akan keadaan bahaya yang bakal menimpa diriku saat itu. Dan sebenarnya aku masih mempunyai kesempatan untuk memilih satu di antara dua pilihan. Segera menghindar dan selamat dengan seluruh harga diri, atau membiarkan saja bahaya ini menimpaku. Seandainya aku menghindar saat itu, toh aku tidak rugi sama sekali, paling-paling aku hanya menerima kemarahan ayahku. Itupun soal yang gampang kuhadapi karena aku memiliki alasan yang kuat, misalnya suamiku tak setuju kalau aku disentuh oleh lelaki lain yang bukan muhrimku. Atau alasan apapun lainnya, tidak ada persoalan sedikitpun. Nothing to loose. Tetapi entah mengapa kecil sekali keinginan dalam hatiku untuk mengambil pilihan menghindar dari P. Siraj. Yang ada aku justru larut melayani obrolan-obrolan P. Siraj sekalipun agak enggan. Akhirnya tepat menjelang magrib, P. Siraj menanyakan kesediaanku untuk diterapi lagi. Serasa mulutku kelu untuk berkata tidak padanya, tetapi juga tak sanggup untuk berkata “ya”. Harga diriku seakan menuntutku untuk tidak menyetujui, tetapi mulutku malah terasa kelu. Adalah Mbok Las yang tiba-tiba menyeruak kebisuan di antara kami berdua. Celakanya isyarat Mbok Las malah menyulut keberanian P. Siraj untuk mengulangi tawarannya.

“Wi, tadi ibu sudah pesen kalau Dewi jadi dipijat pakai kamar yang atas saja, soalnya Ibu nanti datengnya malam, Bapak Juga. Kamar yang atas tadi sudah Mbok siapkan kok,” kata Mbok Las menyela tawaran pijat P. Siraj. Tapi lagi-lagi aku tak mampu mengiyakan maupun menolak. Aku hanya diam saja. Entah kenapa sejak kejadian tempo hari itu, aku serasa tak punya nyali untuk bertatapan mata langsung dengan P. Siraj. Ya, P. Siraj inilah satu-satunya lelaki di samping suamiku yang telah pernah melihat dan menyentuh auratku yang paling rahasia. Entah mengapa, kali ini di depan P. Siraj, yang sejujurnya kuakui berwajah sangat tidak menarik ini, aku merasa dikuasainya. Dan mungkin karena sudah tak sabar mendengar jawabanku P. Siraj menarik tanganku menuju ke loteng. Lagi-lagi aku tak berdaya menolak, bahkan akupun membiarkan saja sewaktu tangannya terus menggandeng tanganku menaiki tangga, seolah-olah orang tua ini takut kalau-kalau anaknya terjatuh. Dan semua itu disaksikan Mbok Las dengan mulut yang ternganga.

Ternyata benar kata Mbok Las, kamar tersebut sudah bersih dan rapi, bahkan sudah disediakan pula kain sarung, handuk, dan baby oil di atas ranjang. Dengan gugup aku segera mengambil semuanya itu dan langsung masuk ke kamar mandi yang berada satu ruangan dalam ruang tidur. Perasaanku berdebar lebih kencang lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku, serasa tubuhku makin lemas saja dan tak punya daya. Ketika aku mulai membuka blazerku, kemudian blouse atasku, mendadak muncul pergulatan sengit dalam hatiku. Kamu masih bisa menghindar Dewi, ayo!! Tetapi sekalipun begitu, jari-jariku seperti robot yang diprogram untuk terus membuka kancing-kancing blouseku, sehingga terbukalah tubuhku bagian atas. Kini bagian atas tubuhku sudah terbuka sama sekali hanya berbalut bra warna putih. Bergetar sekujur tubuhku, menyaksikan kepolosan diriku sendiri yang putih bersih terpampang dari cermin besar yang berada di balik pintu kamar mandi. Cermin ini mempertontonkan semua tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki, serta merta kusadari benar adanya cairan yang membersit dari selangkanganku. Aku benar-benar gemetar… bukan karena takut…
Tiba-tiba kudengar pintu diketuk dan suara P. Siraj yang berat serta serak..”Jeng Dewi bisa agak cepat.. jangan lupa dilepas semua dalemannya ya..” Kata-kata P. Siraj benar-benar membuatku gemetar, seakan-akan menyihirku, membuatku diriku tiba-tiba menggelinjang. Padahal semuanya masih belum terjadi…
Aku diam tak menjawab. hatiku dipenuhi perasaan ragu-ragu ketika aku mulai membuka resleting rok bawahku. Aduhh.. ampun… celana dalamku yang berwarna putih sudah tampak basah sekali. Memalukan sekali, rutukku dalam hati, masih belum apa-apa aku sudah merasakan geli di balik celana dalamku, membuatku makin basah saja… Bagaimana kalau nanti P. Siraj tahu hal ini? Tetapi serasa pikiranku dipenuhi suatu sensasi aneh yang sedemikian kuat, sehingga tanpa kusadari aku sudah mengusap-usap bagian tubuhku yang terbungkus cd… Gerangan apa yang terjadi pada diriku saat ini?? Tidak, aku tak akan membukanya, sekalipun sejujurnya saat ini aku ingin sekali..ohhh..
Cepat-cepat kukenakan kain sarung yang tadi disediakan Mbok Las. Oh, ini pasti keliru! gumamku. Sarung ini terlalu kecil sehingga hanya mampu menutupi bagian dada dan sedikit pangkal pahaku, kalau aku bergerak sedikit saja pangkal pahaku pasti kelihatan… Tapi harus kuakui kalau dengan keadaanku seperti ini aku tampak sexy sekali… sangat sexy… haruskah aku keluar menghadapi P. Siraj dengan busana seperti ini??? Haruskah aku menjumpai P. Siraj seolah sesosok perempuan binal yang meminta dibelai???
Tok…tok…tok… ketukan pada pintu kamar mandiku membuat lamunanku buyar seketika, Aku menjadi susah konsentrasi, semua kata hatiku seperti sirna ditelan sensasi-sensasi yang terus menderaku saat ini.. “Ayo, jeng Dewi… sudah keburu malam,” kudengar P. Siraj, serak dari kamar tidurku…
Dengan perasaan ragu aku akhirnya membuka pintu kamar mandi sambil berusaha menutupi bagian pangkal pahaku yang gagal kusembunyikan dengan sempurna.

Ufff… benar seperti dugaanku, mata tua lelaki jelek ini seakan melompat menyaksikan kepolosanku, mulutnya seakan ternganga, dan jakun itu kuperhatikan seperti tercekat di ujung tenggorokannya… Aku lekas-lekas beringsut duduk di sudut ranjang menyembunyikan kepolosanku, aku berusaha menutupi sebisaku. Aku merasa mata lelaki tua ini seakan-akan hendak menerkamku. Ia menghampiriku ikut duduk di sampingku. Tangannya dengan berani tiba-tiba sudah mjendarat di pundakku…

“Tadi saya kan sudah bilang agar dalemannya dilepas saja,” katanya sambil menjentik-jentikkan tali behaku.
“Engga usah Pak, gini aja cukup,” kataku sedikit ketus.
“Ya..ya..ngga papa Jeng,” katanya sedikit menenangkanku. Tapi tiba-tiba kulihat di bibirnya tersungging senyum yang sama sekali tak kusukai “Tapi… kalau yang bawah sudah dilepas belum?” katanya nakal. Seketika itu mukaku serasa ditampar, betapa memalukan sekali pertanyaannya, sehingga aku hanya mampu merenggut mendengar kenakalannya. “Ya.. sudah berbaring saja, Jeng. Telentang ya Jeng, jangan tengkurap.”
Tanpa menuruti kata-katanya lantaran malu, akhirnya aku berbaring tengkurap. Betapa kurasakan saat itu, kain sarungku yang menutupi bungkahan pantatku tersingkap karena gerakanku. Aku berusaha menutupkannya sebisaku, tapi percuma karena kain sarung ini memang kekecilan. Aku mencium bau minyak urut yang membuatku pusing seperti minggu lalu. “Jangan pake minyak itu Pak, pake ini saja,” kataku sambil mengulurkan baby oil membelakanginya. Aku tak mendengar penolakan darinya. Yang kurasakan saat itu hanya suara degup jantungku yang berdetak semakin kencang dan keras.
Aku merasakan ranjang pegas ini bergoyang sesaat ketika P. Siraj mulai mengambil posisi di samping betisku. Tak seperti kemarin, kali ini P. Siraj langsung meminyaki betisku dengan lotion yang cukup banyak. Entah mengapa, ketika P. Siraj meratakan lotion pada kedua betisku, tiba-tiba aku merasakan kegelian yang menyengat dari balik selangkanganku. Ohh.. jangan sekarang, gumamku. Mengapa aku jadi secepat ini…

Ohh.. aku merasakan tangan tua ini meluncur dengan tekanan yang lembut di atas betisku yang sudah sangat licin. Ia mengurut dengan gerakan sangat perlahan dari mata kaki hingga menuju lipatan lututku. Aku merasakan kelembutan yang luar biasa mengalir di atas betisku. Kelembutan yang menjalarkan perasaan geli di seantero tubuhku, sehingga tanpa kusadari aku sudah menggelinjang… Dan semakin sering pak tua ini mengurut seperti itu, semakin sering pula aku menggelinjang. Harus kuakui, aku merasa sangat nyaman dengan segala kelembutan yang merasuki tubuhku, sehingga aku bagaikan tersihir manakala kurasakan P. Siraj perlahan-lahan mulai membuka katupan kakiku lebih lebar lagi dan lebih lebar lagi. Aku seakan tak kuasa melawan sekalipun kusadari kalau saat itu P. Siraj bakal lebih jelas lagi melihat selangkanganku dari belakang tubuhku. Semua akal sehatku seakan tenggelam ditelan oleh rasa nyaman dan sensasi-sensasi aneh yang telah menguasai tubuhku. Aku seakan telah kehilangan rasa malu manakala kedua kakiku dikuakkan makin lebar. Ohh.. aku hanya bisa gemetar… semoga saja pak tua ini tak tahu… Saat itu aku baru menyadari bahwa sentuhannya pada lipatan lututku ternyata benar-benar membuatku mabuk kepayang.
Setelah cukup lama mengurut-urut betisku, sekarang giliran kedua pahaku yang mendapat jatah. Ohh.. aku gemetar lagi ketika teringat peristiwa kemarin saat dia mengurut pahaku. Akankah ini akan terulang lagi???
Aku merasakan tetesan demi tetesan lotion mengalir di atas kedua pahaku, banyak sekali. Lalu diratakannya dari lutut ke arah atas, semakin ke atas, hingga menyentuh pantatku yang masih tertutup celana dalam. Geli sekali yang kurasakan saat itu. Lagi-lagi aku tak bisa menguasai gelinjang yang mendera tubuhku.
“Celana dalamnya sudah basah Jeng, gimana kalau sekalian dilepas saja,” katanya sambil berusaha menarik karet cdku dari pantatku. “Jangan Pak,” kataku cepat. Entah kenapa saat itu rasa malu kembali menyeruak. “Tadi kesiram air sewaktu saya di kamar mandi.” kilahku. Tak kudengar protes dari mulutnya, membuatku sedikit tenang. tapi apalah artinya ketenanganku saat itu, sedangkan sebentar lagi tentunya dia akan mencecarku…

Dan benar saja dugaanku. P. Siraj mulai mengurut kedua pahaku, kali ini kurasakan tanpa keraguan sedikitpun seolah-olah dia sudah membaca kelemahanku. Jemari-jemari tua itu tiba-tiba kurasakan sudah meluncur lembut di atas pahaku. Dari bawah, ke atas, kuarasakan jemarinya menekan paha dalamku menerbitkan rasa geli dan nyilu pada tubuhku. Semakin mendekati selangkanganku. Semakin gemetar aku. Jemari itu seakan tak berhenti ketika tiba pada bungkahan bokongku, sebagian jemarinya meremas-remas bokongku, sementara jemarinya yang lain terus meluncur ke dalam pangkal pahaku, menekan dalam-dalam dan lembut ke tengah-tengah selangkanganku yang tertutup celana dalam. Ohh… aku terkejut tiba-tiba… menggelinjang tiba-tiba.. sesaat setelah jemari nakal itu mendarat tepat pada kelenjar syarafku yang paling peka. Tanpa bisa kutahan lagi tiba-tiba kurasakan cairan kewanitaanku membersit, rahimku berkedut, sesaat kurasakan kewanitaanku disesaki oleh rasa enak yang aneh… tubuhku bergetar melawan perasaan aneh yang mulai menguasai diriku.
Dan ketika sentuhan-sentuhan itu makin intens kurasakan, semakin sering diulang, dari bawah ke atas, dan semakin sering selangkanganku terkena sentuhan, maka makin banyak pula cairan kewanitaanku membersit keluar hingga terasa meluber di sekitar selangkanganku dan meleleh ke arah pahaku, membuat selangkanganku makin licin.. aku merasa tak mampu menahan getaran yang secara refleks muncul dari dalam diriku sendiri..
Dan benar saja… ketika kurasakan selangkanganku semakin licin, jemari pak tua itu terasa terpeleset ketika menekan pantatku, seakan-akan tergelincir, menyelusup ke balik cdku, dan tak bisa dicegah lagi akhirnya jemari- jemari nakal itupun langsung bersentuhan dengan kewanitaanku tanpa dinding pembatas lagi. Aku tak lagi mampu memprotes, sebab gejolak tubuhku yang dirundung kegelian membuat pinggulku bergerak melompat-lompat ke atas, menungging-nungging kecil, seolah-olah hendak memberi akses yang lebih luas bagi pak tua ini untuk berbuat lebih jauh. Harus kuakui kepandainnya untuk menciptakan situasi yang seolah-olah tak disengaja, ketika sebagian jemarinya merasuk di area kewanitaanku dan terus bergerak liar, maka jemarinya yang lain menarik turun karet cdku sedikit demi sedikit hingga aku tak merasakannya… aku hanya merasakan kedua bokongku semakin dingin diterpa hawa pendingin ruangan yang berada di atas ranjangku.

Seperti tak memberi kesempatan padaku untuk berpikir jernih, aku terus menerus dicecar dengan rabaan, usapan, urutan, pijatan, yang langsung bersentuhan dengan kewanitaanku, sehingga mau tak mau saking gelinya, secara refleks pantatku melenting-lenting dan menggelinjang tak terkendali. Akibatnya cdku semakin mudah untuk dipelorotkan, dan aku menyadari benar hal itu ketika kurasakan cdku sudah turun dibawah pantatku. Tapi aku telah dibuat sedemikian gerah dan bergairah, sehingga sirna sudah rasa malu dalam diriku untuk mempertahankan penutup terakhirku, sebaliknya tanganku sibuk mencengkeram sprei keras-keras untuk menahan gejolak yang makin kuat ini. Hal ini membuat P. Siraj makin leluasa menguasai diriku. Sekalipun saat itu aku menyadari benar ketika perlahan-lahan cd-ku bergerak turun melewati pahaku, melewati lututku, melewati betisku… lalu tess… lepas sudah satu-satunya penutup harga diriku yang paling berharga. Rasa malu memang menyeruak, tetapi bersamaan dengan itu muncul semacam gejolak dan gairah aneh yang lebih kuat lagi seiring dengan ketelanjanganku. Bra-ku masih dalam keadaan yang aman, melekat erat menutupi buahdadaku, tetapi sarung yang seharusnya menutupi tubuhku sudah tersingkap sampai di pinggang, sehingga P. Siraj tentu bisa memandangi paha, pantat dan kewanitaanku yang telah terbuka.

Satu-satunya yang bisa membuatku bertahan saat itu adalah karena sentuhan-sentuhan jemari P. Siraj seringkali luput pada bagian pekaku, tapi kadang-kadang juga kena. Sehingga aku masih dapat menahan kelimaks ini sebisa mungkin. Tapi semakin lama akhirnya P. Siraj menemukan juga titik kelemahan utamaku, yaitu ketika jarinya menyentuh kelenjar sarafku yang paling sensitif, badanku langsung bergetar. Sontak pantatku sedikit diangkatnya sehingga posisiku agak menungging, dari belakangku semua jari P. Siraj kurasakan mengusap kelenjarku secara bersamaan. Ketika itu aku merasakan denyutan-denyutan yang makin kuat dari otot-otot rahimku, seketika itu juga aku merasa hampir meledak. Aku sudah tak mampu bertahan lagi, aku merasa pasrah menerima semua kelezatan-kelezatan yang terus mendera kewanitaanku. Aku hanya bisa menunggu dengan penuh rasa malu. Tiba-tiba kurasakan kaitan bra-ku ditariknya dan lepas dalam sekejap mata, dan tahu-tahu aku merasa braku telah terenggut melewati lenganku. Dalam keadaan seperti itu aku masih merasakan kesadaranku seutuhnya sehingga aku malu bukan main sambil berusaha menangkupkan sarung pada kedua lenganku agar merapat menutupi buah dadaku. Tetapi itupun tak bertahan lama. Sarung itu kini telah terenggut lepas dari tubuhku dan terbang entah kemana. Aku malu sekali dengan ketelanjangan yang seutuhnya ini, walaupun P. Siraj hanya bisa melihatku dari belakang. Tetapi tak bisa kupungkiri juga gelegak dalam tubuhku ternyata makin menghebat dalam keadaan telanjangku ini. Sensasi yang kurasakan lebih kuat dari sebelumnya, sehingga bisa kurasakan otot-otot kewanitaanku berdenyut-denyut semakin kuat dan semakin sering. Ohh.. aku merasa saat itu sebentar lagi akan tiba, bukan disebabkan cumbuan suamiku, tetapi oleh lelaki tua yang sebenarnya lebih pantas menjadi ayahku, bahkan kakekku. Aku makin tak berdaya.

Bahkan ketika dengan seenaknya sendiri, P. Siraj membalikkan tubuhku telentang dalam ketelanjangan yang sempurna dihadapan matanya yang nanar, aku hanya bisa pasrah. Aku hanya bisa memejamkan mata mengatasi rasa malu yang tak terkira sambil berusaha menutupi payudara dan selangkanganku yang terbuka bebas dengan kedua tanganku. Tapi apalah dayaku, P. Siraj menyingkirkan kedua tanganku agar menjauh dari payudara dan selangkanganku tanpa perlawanan sedikitpun dariku. Sesekali kuberanikan diri membuka mata utntuk mengabadikan apa yang tengah berlangsung, aku terkejut bukan kepalang. Pak Siraj ternyata sudah bertelanjang dada, entah sejak kapan dia membuka baju safarinya. Hanya tubuh kurus dan dada yang keriput dan terengah menanti di antara kedua kakiku. Aduhhh…malunya. Tiba-tiba kurasakan kakiku direnggangkan lebar-lebar di antara tubuhnya. Kupejamkan mata menunggu dengan gelora yang seakan tak jua surut dalam tubuhku. Aku menunggu… entah apa yang akan terjadi… rasanya aku sudah tak mungkin menghindar lagi…

Tiba-tiba kurasakan hawa yang panas menghembus pada selangkanganku, dan sesuatu yang kasab, dan basah sedang menggesek selangkanganku. Aduhh… aku tertegun-tegun ketika sapuan itu mendarat tepat pada kelenjar syarafku yang terbuka. Aduhhh… kubuka mataku… yang mampu kulihat hanya seonggok kepala yang beruban sedang terkepit di antara kedua belah pahaku. Adduhhh… kurasakan sapuan itu lagi mengusap panjang pada kelenjarku yang kurasakan membengkak pada puncaknya dan geli…

Aduhh… sapuan itu semakin berulang, sehingga otot-otot panggulku berkedut-kedut dan seakan-akan membersitkan bergalon-galon cairan dari dalam kewanitaanku. Aduhhh…tiba-tiba kurasakan kelenjarku terkunci di antara dua bibirnya yang keriput lalu digeseki secara kontinyu oleh lidahnya yang kasab. Pinggulku refleks bergetar dan terangkat-angkat tanpa kontrol sama sekali, seakan-akan menyodor-nyodorkan untuk dinikmati sepuas-puasnya. Sementara aku sendiri sudah tak mampu lagi untuk tak bersuara, rintihanku sudah lepas kendali, dan seiring kelezatan yang menghantar seantero tubuhku, tanganku malah makin menekan kuat kepala pak tua itu untuk menghantarkanku pada kelezatan yang lebih tinggi lagi.

Aku merasakan buncah-buncah kelezatan dari dalam kewanitaanku terus-menerus menerjang dinding bendunganku yang makin lemah. Akhirnya aku meledak juga dalam rintihan yang keras dan panjang, ketika kurasakan air bah itu seakan bergelombang menjebol bendungan dalam rahimku, menggelontor lorong-lorong panjang yang seakan tak pernah terisi selama bertahun-tahun. Ohhh…Tuhann…. ampuni akku…

Lezat…nikmat… melayang-layang… geli… lalu ngilu… Kurasakan lidah itu masih saja bekerja, seakan membor dinding kewanitaanku padahal aku sudah tak mampu lagi menerima sensasi yang kontinyu merancah kelenjar syarafku. Rasanya ngilu sekali. Secara refleks, entah beroleh kekuatan darimana, aku mengepit kepala pria itu kuat-kuat dengan kedua pahaku, lalu kutolakkan tubuh yang renta itu menjauh dari tubuhku sampai ia terjatuh ke bawah ranjang. Dengan cepat kukemasi sarung dan semua pakaian dalamku lalu aku berlari ke dalam kamar mandi tak lupa menguncinya dari dalam. Dengan kesadaran yang hampir normal, segera kukenakan semua pakaianku tanpa sempat merapikan rambutku yang sudah acak-acakan. Saat itu entah bagaimana dan darimana asalnya, tiba-tiba aku disergap perasaan sangat berdosa pada suamiku karena telah membiarkan tubuh ini dijamah oleh selain dia. Tanpa kusadari air mataku meleleh. Tetapi aku juga merasa takut luar biasa karena di dalam kamar sekarang sedang menunggu pria tua yang barusan berhasil memperdayaku.

Dengan keberanian yang masih tersisa aku keluar dari kamar mandi, lalu berlari cepat melewati lelaki tua yang masih terduduk tanpa baju sedang mengisap rokok kreteknya… Saat itu rasanya seperti melayang… cepat sekali… sehingga tahu-tahu aku sudah berada di depan halaman rumah orangtuaku. Dengan perasaan yang ketakutan segera kumasuki mobilku dan berlalu secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya dari tempat aku dinistakan ini…

#############################

Tanpa aku sadari, peristiwa yang terjadi kedua kalinya dengan P. Siraj itu memjbawa perubahan 180 derajat dalam diriku. Jika sebelumnya aku merasa sangat berdosa karena telah mengkhianati suamiku, maka setelah peristiwa itu aku justru tidak merasakan apa-apa, hatiku terasa tawar saja, tidak ada lagi rasa berdosa yang menghantui. Lebih parah lagi, aku jadi tidak bisa melayani suamiku dengan baik layaknya seorang istri, aku hanya bisa berpura-pura, tapi sama sekali tak bisa menikmati. Akhirnya aku sendiri menjadi sangat tersiksa.

Sebaliknya kenanganku bersama P. Siraj seperti menyedot pikiranku. Hampir tiap hari setelah peristiwa itu, aku tak pernah bisa berhenti memikirkan dia. Bukan fisiknya yang terpateri dalam pikiranku, melainkan sentuhan-sentuhannya yang mampu mengantarku ke awang-awang. Kadang-kadang juga teringat aku akan fisiknya yang reot, keriput, dan sama sekali jauh dari menarik,. Kalau teringat itu suasana hatiku langsung sirna. Tetapi yang lebih sering adalah memori sentuhan-sentuhannya yang membuatku melayang-layang. Hampir saban hari pikiranku tak pernah berhenti mengingat itu sekalipun aku telah berusaha keras mengenyahkannya dengan menyibukkan diriku pada pekerjaan dan aktifitas yang lain-lain. Entah mengapa belakangan aku jadi mengharapkan kehadirannya. Tidak ada rasa takut lagi ketika telpon rumahku berdering-dering, aku malah mengharapkan yang menelpon itu dia, Pak Siraj. Tetapi harapanku ternyata tak terkabulka, P. Siraj sama sekali belum menelponku semenjak peristiwa itu.

Pada suatu pagi kira-kira 2 minggu berselang setelah peristiwa yang ke-2 itu, ketika di rumahku sedang sepi karena suamiku sedang pergi ke luar pulau dan pembantuku pun sedang pulang kampung karena ada kerabatnya yang punya hajatan, telpon rumahku berbunyi. Dengan agak enggan aku mengangkat gagang telpon… dan tak kunyana terdengarlah suara yang ternyata sangat tak asing lagi di telingaku dari seberang…

“Hallo…Jeng Sari..?” Telingaku langsung akrab dengan pemilik suara di seberang itu…Ya ampun itu suara Pak Siraj. Langsung gemetar tubuhku mendengar suaranya itu.
“I..i..iya.. maaf dengan siapa?” tanyaku pura-pura tak tahu. Suaraku entah kenapa tiba-tiba berubah bergetar. Rasa takut, cemas, meriang, sekaligus senang tiba-tiba melingkupi hatiku.
“Siraj, jeng. Siraj…” suara itu terdengar serak.
“Eh..oh…i..iya Pak, ada apa Pak??” tanyaku gemetar. Benakku tiba-tiba dipenuhi oleh sensasi-sensasi yang tak kupahami, membuatku tubuhku serta-merta gemetar dan bergidik.
“Jeng Sari kok tidak terapi lagi, padahal saya hampir tiap hari ke rumah Bapak, tapi Jeng Sari tidak pernah ke sana. kapan Jeng Sari bisa saya terapi lagi?” Aku makin gemetar mendengar pertanyaannya, dan aku tidak tahu mesti menjawab apa. Tapi yang keluar dari mulutku sungguh aku sendiri tak menduganya…
“Kira-kira kapan Bapak bisa?”
“Kalau hari ini atau nanti sore gimana Jeng?” Lagi-lagi mulutku terasa kelu tak tahu mesti ngomong apa.
“E..e… dimana pak?” Bodoh! Kenapa aku bisa balik bertanya seperti itu! Aku sungguh tak paham lagi keadaan diriku..
“Anu Jeng, kalau di rumah Bapaknya Jeng Sari hari ini lagi rame orang, banyak yang rapat. bagaimana kalau di rumah Jeng Sari aja?” Aduh bagaimana dia bisa menebak kalau hari ini di rumahku sedang tidak ada orang, jangan-jangan…???
“Eh..anu.. terserah Bapak saja…?!!??” Plas… aku sendiri bingung dengan jawabanku saat itu. Malu, takut, tapi anehnya sama sekali tak ada perasaan bersalah dalam diriku. Bahkan sebaliknya, hatiku merasa berdebar-debar, berbunga-bunga…

Sore itu dengan hati berdebar-debar aku menanti kedatangan P. Siraj ke rumahku. Entah mengapa selama masa menunggu itu aku merasa diliputi suatu perasaan erotik yang kuat yang tak kupahami. Entah mengapa, dalam benakku kembali terlintas cumbuan-cumbuan P. Siraj atas tubuhku. Dan makin lama aku memikirkan itu tubuhku merasa merinding, gemetar serta sensitif. Tak kunyana, hanya dengan mengingat itu saja tubuhku terasa gerah, seperti ada semacam tuntutan yang lebih lagi, membuat aku merasa kurang nyaman dengan baju yang melekat di tubuhku, aku merasa risih, aku merasa ingin sekali menanggalkannya, hingga akhirnya satu persatu jari-jariku seperti tertuntun untuk melepaskan daster pendekku yang tipis. Hingga terbukalah sudah tubuhku. Tapi aku merasa ada yang kurang, kedua payudaraku terasa geli dan gatal, dan aku merasakan ketegangan pada putting susuku, maka penutup dadaku itupun lepaslah sudah, dan nampaklah ketegangan nyata kedua putingku dari balik cermin, merah tua… tegak… dan kumerasa nyeri bila tersentuh jariku sendiri… Kini tinggal secarik kain tipis berwarna putih yang masih tersisa pada tubuhku, sedangkan saat itu tubuhku seperti menuntut lebih lagi, aku merasa ada yang megap-megap di bawahku meminta di sentuh juga, sehingga terlepaslah penutup terakhir itu meluncur melewati kedua pahaku, lututku, lalu…betisku, ketika aku menyentuhnya kurasakan sesuatu yang telah licin melumasi permukaannya.

Kini tinggalah aku sendiri, di dalam kamarku, telanjang sama sekali, diamuk gejolak yang tak mampu kutolak, sehingga terjadilah apa yang tak pernah kulakukan sepanjang hidupku!!! Aku menyentuh dan merabai sejengkal demi sejengkal setiap bagian tubuhku yang menerbitkan geli, yang sensitif ketika kusentuh, yang menegang ketika kusenggol, yang membasah ketika kuraba… Ah… ah… ah… serasa tubuhku semakin geli dari detik ke detik, dan rangsang yang liar seperti mengurungku dalam berahi yang makin tak kumengerti, aku mengerang-erang sendiri, menggeliat-geliat sendiri. Sungguh suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan seumur hidupku bahkan ketika aku menginjak remaja dulu. Tapi kini, gairah yang mengurungku seperti mengalahkan segalanya, memadamkan rasa maluku, dan sebaliknya seperti mengobarkan gairah-gairah aneh dalam tubuhku. Oh… aku merasakan tubuhku melayang-layang ke awang-awang seiring dengan semakin banyaknya cairan yang membersit-bersit dari pori-pori tubuhku. Aku merasa bapak tua itu seakan-akan sedang menyentuhi jengkal demi jengkal bagian-bagian tubuhku yang peka… membuatku tak kuasa untuk tak merintih, mengerang…

Akhirnya entah sudah berapa lama aku melakukan itu, sehingga tanpa kusadari sore sudah beranjak malam, cuaca yang berubah gelap tampak jelas dari jendela kamarku. Tapi yang kunanti tak kunjung datang. Aku merasa perlu menyalakan lampu karena aku tak pernah merasa nyaman dalam kegelapan. Setelah kamarku terang perasaanku berubah timbul tenggelam antara kenangan dan kenyataan, yang membuat pikiranku terpecah. Apalagi selama melakukan kegiatan yang aneh itu posisiku dalam keadaan berdiri di depan cermin besar yang terpasang dalam kamarku, membuatku merasa letih, sehingga, membuatku merasa perlu berbaring karena kurasakan pendakianku sudah dekat pada puncak… Aku merasakan pahaku telah basah oleh cairan yang menderas dari sumbernya, dan semakin intens aku menyentuhnya, merabanya, menekannya, tubuhku semakin menggeletar tanpa kendali…mendekati berakhirnya pendakian yang melelahkan… tetapi…

TING-TONG!!! TING-TONG!!! Tiba-tiba kudengar bunyi bel memecah kesunyian, memecah saat-saat indah yang hampir tiba. Oh! pasti dia! tak salah lagi, pasti dia! Dengan tergopoh-gopoh kukenakan lagi dasterku. Seperti tergesa oleh sesuatu, aku tak berpikir lagi untuk mengenakan dalamanku yang lainnya. Tak apa, pikirku, bukankah diluar cuaca sudah gelap, tak apa kalau aku hanya mengenakan ini saja…

Benar saja! Aku melihat sosok tua itu sedang berdiri menunggu di depan pintu gerbang rumahku. Dalam keremangan malam masih nampak jelas olehku kacamata tebalnya, pakaian khasnya, safari biru tua, bersarung kotak-kotak warna hitam, dan kopiah yang selalu bertengger di kepalanya menutupi sebagian rambut putihnya. Di sampingnya motor bebek tua yang lampunya masih menyala.

Dengan berdebar aku melangkah ke luar rumah hanya dengan daster yang tipis dan pendek melekat pada tubuhku. Untunglah aku belum menyalakan lampu teras maupun rumah, sehingga tak mungkin Pak tua yang agak rabun itu mampu menebak isi di dalam busana yang kupakai saat itu. Tetapi…Ya ampuunn… lelaki tua ini melihatku dengan saksama ketika aku mendekati pintu pagar, pandangannya itu seperti langsung menembus pakaianku, menembusi juga relung-relung hatiku. Dengan gemetar aku membukakan kunci gembok untuknya dan membiarkannya masuk sambil menuntun motor tuanya. Ketika aku menutup pintu gerbang rumahku dan akan mengunci gembok, tiba-tiba kurasakan remasan yang nakal pada pantatku. Aku kaget setengah mati, aku berusaha menepiskannya. Tetapi sungguh tak kunyana, tangannya yang nakal itu tiba-tiba menyelusup ke dalam dasterku bagian bawah dan langsung meremas bokongku dari dalam. Ah.. ah… aku berusaha sekuatnya menepiskan tangannya yang nakal dan tak sabar itu, tetapi tangan pak tua itu memaksa tetap tinggal dalam dasterku dan terus meremas pantatku. Ah… ah… aku semakin gemetar dibuatnya. Ini masih di luar rumah dia sudah begini nakalnya, aku takut ada orang lain atau tetanggaku memergoki perbuatan kami, jadi aku berusaha menepiskannya sekuatku. Tetapi muncul perasaan aneh yang lebih kuat membiarkan pak tua itu menakali diriku. Rasa takut, rasa malu, yang berbaur dengan sensasi-sensasi aneh ternyata membuat diriku semakin gejolak dalam diriku semakin meninggi, bahkan lebih tinggi daripada ketika aku melakukannya sendirian tadi.

Sebaliknya yang kurasakan pada P. Siraj, dia semakin menggila mengetahui aku tak mengenakan dalaman, tangannya mulai beringsut ke sana kemari, dan celakanya gejolakku yang menguat malah membuatku membiarkan saja tindakan nakalnya itu. Dari bokongku tangannya beralih merabai selangkanganku yang sudah membasah akibat cumbuannya. Jemarinya itu… aduh… seperti bermata saja layaknya sehingga langsung menemukan pusat syarafku yang paling peka yang sudah tak tertutup apa-apa, dan menggelitik-gelitik di sana. Adduuuhh… tubuhku memberikan respons berupa geletar-geletar tak terkendali, dan kurasakan pak Siraj semakin meningkatkan cumbuannya pada selangkanganku. Bukan itu saja, tubuhnya yang berat kuarasakaan memepetku pada pintu pagar sehingga aku hanya bisa bertumpu pada jeruji pintu pagar dan tanganku hanya bisa berpegangan erat-erat di sana. kendaraan yang sesekali melintas di depan rumahku bukannya membuat gejolakku surut, tetapi sebaliknya, aku merasakan adrenalinku semakin terpompa kuat-kuat, sehingga akhirnya aku harus menyerah bulat-bulat pada cumbuan pak tua ini.

Jemari-jemari pak tua ini semakin intens merabai, menyentuhi, menekan, area selangkanganku, dan yang lebih parah lagi seperti kurasakan menggenthel kelenjar syarafku yang paling peka, sehingga mau tak mau sesekali kurasakan juga denyutan-denyutan yang membersitkan kebasahan dari dalam rongga kewanitaanku mulai muncul. Makin lama aku merasakan denyutan-denyutan itu makin sering, dan makin kontinyu… aduhh… tiba-tiba aku merasa sebentar lagi kenikmatan itu akan melandaku seiring makin gencarnya cumbuan lelaki tua ini pada genitalku yang terpeka.
Aduhh… aku merasakan sesuatu yang kasar dan panas tiba-tiba terbenam dalam tubuhku, mungkin cuma satu, tapi begitu liar menekan, menusuk, dan berputar-putar dalam tubuhku, membuatku kelojotan. Ya ampun… Tuhann… aku sungguh-sungguh sudah tak kuat lagi… genitalku sudah tak mampu lagi menerima rangsang yang sedemikian liar dan kontinyu. Panggulku sudah makin kuat berkedut, dan kewanitaanku sudah terus berdenyut, makin kuat, makin kuat…serasa menahan bergalon-galon cairan yang telah siap termuntahkan. Dan…. ahhh…. akhirnya tiba juga…jiwaku serasa terbang, tubuhku melorot berkelojotan, ya… ampunn…tiba-tiba aku merasa cairan dari dalam tubuhku tumpah begitu saja, seperti air bah menerjang bendungan rapuh… serasa bergalon-galon…mengalir…menerjang-nerjang dinding rahimku yang terus berkedutan… ampuuunnn…….Tuhann… ini… ahhh… nikmat sekali…. aku terus melorot, hingga jatuh terduduk di atas lantai paving halaman rumahku… memalukan sekali…

Baru sekali ini, baru sekali ini, Pak Siraj mengerti bahwa saat itu aku sudah mencapai kelimaks, sehingga ia membiarkanku terduduk menggelesot di lantai. Ia tak menyentuhku, seakan ingin membiarkanku beristirahat sejenak. Walaupun begitu ia masih saja bertanya padaku apakah aku sudah keluar? Tentu saja pertanyaannya itu hanya makin membuatku malu, aku hanya bisa menunduk. Masih kurang puas saja dengan kediamanku, dia mengulangi lagi pertanyaannya itu sehingga akhirnya dengan perasaan sangat malu, aku mengangguk, barulah ia mengerti. Celakanya lagi ia masih saja bertanya apakah aku merasa enak atau nikmat? Ohh, pak tua-pak tua… kalau saja ia tahu apa yang baru saja kualami tentu ia tak akan bertanya seperti itu. Tapi lagi-lagi aku ternyata mengangguk, hilang sudah rasanya mukaku saat itu.

Setelah sekian detik berlalu, pak Siraj menarik tanganku agar aku berdiri. Sebisa mungkin aku berdiri walaupun agak sempoyongan. Ia menuntunku masuk ke dalam rumahku seperti sedang menuntun makhluk yang rapuh…
Lampu rumah yang belum kunyalakan emmbuatku merasa kurang nyaman sehingga tanpa kusadari aku menekan saklar, maka terang-benderanglah ruangan dalam ruang tamuku. Aku tak menyadari bahwa itu aku kembali memicu aksi liar Pak Siraj. Dasterku yang transparan membuat jakun pak tua ini turun naik, dan sebelum aku menyadarinya tiba-tiba ia sudah memelukku erat-erat, tangannya dengan liar dan ganas meremas-remas buah dadaku yang putingnya tercetak jelas… Tubuhku yang masih lemas tak mampu memberikan respons yang memadai, sehingga pak tua ini begitu leluasa menguasai tubuhku. Dalam keadaan yang masih lemas dan letih serta belum mampu merespons apa yang akan terjadi selanjutnya, terbelalak mataku memandang sarung lelaki tua ini menggunung seperti terdesak sesuatu. Saat itu tahulah aku, bahwa Pak Siraj ternyata tidak lagi mengenakan pakaian dalam, ia telah telah begitu terangsang dan ingin segera mencumbuku kembali. Beberapa kali bahkan aku merasa tonjolannya menyenggol paha dan perutku. Celakanya aku sudah tak berdaya saat itu untuk sekedar menghindar dari hadapannya. Lalu tiba-tiba saja dengan beringas ditariknya dasterku ke atas, melewati kepalaku, dan…lepas…

Ohhh…Tuhann… aku telanjang lagi sekarang…. di hadapan pak tua yang sesungguhnya lebih pantas menjadi kakekku… Lebih terkejut lagi aku manakala ia tiba-tiba melapaskan sarungnya sehingga bisa kulihat dengan jelas….
P. Siraj mulai menarikku ke sofa ruang tamu dan memberangkinku di sana. Tuhann…maafkan aku jika ia menginginkanku lebih dari sekedar bercumbu.

Dalam ketelanjanganku, di luar dugaanku tiba-tiba aku merasakan sensasi-sensasi yang memompa hasratku yang telah padam. Aku merasa sexy sekali dalam keadaan seperti ini dipelototi oleh pak tua ini, dan diraba-raba, disentuh-sentuh sesukanya, dan berkali-kali aku merasakan tonjolannya yang sudah terbebas itu bergesekan dengan pahaku yang sudah terbuka. Tetapi rupa-rupanya dia belum berminat untuk menggagahiku, sekalipun dia tahu bahwa saat itu aku sudah dalam keadaan lemah dan tak mampu lagi melawan. Ia masih ingin pergulatan ini tidak berakhir sekejap nampaknya, sehingga dengan liar diraihnya salah satu payudaraku dan dihisapnya dengan kuat dalam mulutnya yang berbau tembakau, aku hanya bisa memejamkan mata, merintih, dan menceracau… Kalau bisa saat itu aku ingin bisa melawan gejolak yang mulai mengharubiru seluruh tubuhku. Tapi sayang aku tak mampu dan merasakan sebaliknya. Seperti seorang bayi yang kehausan Pak Siraj menetek pada putting payudaraku berganti-ganti kiri-kanan, kiri-kanan. Diperlakukan seperti itu sedikit demi sedikit gejolak jiwaku bangkit, semakin kuat, dan semakin meninggi. Aku benar-benar tak bisa menhan gejolak ini lantaran area payudaraku adalah salah satu bagian genitalku yang sensitif, yang bila disentuh secara kontinyu akan menimbulkan gairah yang teramat nikmat. Dan lelaki tua yang bersamaku saat ini seperti tak pernah puas-puasnya menggeluti payudaraku silih-berganti membuatku serasa melayang-layang. Entah sudah berapa lama ia menetek di situ dan meninggalkan bekas-bekas merah pada kulit buah dadaku. Duhh, dalam hatiku membatin bagaimana jika suamiku tahu bercak-bercak ini? Tetapi sebelum sempat pikiranku melanglang buana dan dipenuhi rasa bersalah, kurasakan tubuh tua ini merangsek turun sembari kepalanya terus saja mencucupi payudaraku, tangannya kadang menggantikan meremasnya, mulutnya yang keriput itu kulihat turun menyusuri dadaku, lalu turun ke perut, menjilat-jilat pusarku beberapa saat sehingga membuatku menjerit-jerit kegelian, lalu menyusur turun lagi, dan turun lagi melewati bagian bawah perutku yang selalu kurawat dan kucukur sehingga tak nampak sehelai bulu pun di sana, dan terus saja sambil mencucup-cucup di sekitar itu. Sesaat ada perasaan bersalah menyeruak di benakku, tetapi hanya sesaat. Bibir pak tua itu begitu cepat melenakan rasa bersalahku, dan kurasakan betapa lidahnya yang panas secara perlahan menyentuh kelopak kewanitaanku, membelahnya, dan menggeseknya tepat di atas kelenjarku yang paling peka. Aku kaget, aku serasa tersengat, aku merintih, meronta, dan mengerang tanpa rasa malu lagi ketika kurasakan lidah pak tua ini beberapa kali mengusap tepat pada kelenjarku, makin lama makin cepat sehingga membuatku lupa diri. Aku melihat kepala berambut putih itu bergerak-gerak di bawahku, kepalanya agak terbenam di antara kedua pahaku. Segera kujambak rambutnya hingga terjatuh kopiahnya, tetapi kepala pak tua itu masih setia bertengger di antara selangkanganku yang terbuka lebar, lidahnya terus mencecar pertahanan terakhirku. Lama-lama aku tak lagi menjambaknya seiring kelezatan yang membuncah di dalam tubuhku, aku malah menekan dalam-dalam kepala tua itu ke selangkanganku, menambah kuatnya rasa sedap yang menyengati diriku. Bisa kurasakan betapa bibir pak tua ini berulangkali mencucup kelenjarku, menyedotnya kedalam mulutnya, mengunci kelenjarku di antara bibirnya, dan menggeseknya dengan ganas. Adduhhh… seirng gempuran yang makin menjadi pada genitalku, kedutan-kedutan, denyutan-denyutan, mulai muncul semakin intens, semakin kontinyu, dan semakin kuat, sehingga kurasakan beberapa desiran halus menyeruak dari dalam kelopak kewanitaanku. Pantatku terasa basah kuyup. Aku semakin tak bisa bertahan, denyutan-denyutan dalam rahimku kurasakan makin sering, makin kuat dan mendesak-desak, seperti menabraki dinding-dinding syaraf sepanjang rahimku. Makin lama aku makin tak tahan, desakan dari dalam rahimku semakin menguat seiring jeratan lidah pak Siraj pada kelenjarku, dan aku merasakan pertahananku sudah hampir jebol. Luar biasa apa yang kuterima kali ini, hingga kedua kakiku pun tanpa kusadari telah melingkar di atas pundahkPak Siraj, menekannya kuat-kuat, sehingga semakin bertambah-tambah kenikmatan yang menyengati tubuhku. Aku merasa saat itu telah berubah menjadi wanita yang jalang… ya seorang wanita jalang yang sedang diamuk berahi… yang sedang megap-megap menanti datangnya sebuah letupan. Bahkan… kali ini… aku tak kuasa lagi menahan eranganku, rintihanku, jeritanku…

Tiba-tiba aku merasakan letupan dari dalam rahimku, menjalar-jalar sepanjang lorong di dalam tubuhku, seperti menyetrum setiap pembuluh syarafku yang peka. Meletup begitu saja tanpa tertahan lagi. Ah…ah…ahhmm…
Maka, tumpahlah apa yang seharusnya tumpah…Seketika itu kurasakan seluruh tubuhku menggeletar, pandanganku nanar, serasa jiwaku melayang tinggi, ragaku serasa terendam ke dalam samudera kenikmatan ragawi yang tak bertepi. Sedetik, dua detik, tiga detik, sepuluh detik, entah berapa lama… kesadaranku seperti hilang, yang kulihat hanya warna-warni yang berpendar dimataku lalu menjadi kabur…

Entah berapa lama aku melihat warna-warni itu mengabur ketika jiwaku terasa melayang-layang. Lalu perlahan-lahan tampak olehku warna-warni itu berubah jelas dan nyata sehingga bisa kurasakan kesadaranku telah hampir sepenuhnya pulih. Ketika itu seperti terlambat kusadari bahwa Pak Siraj telah mengambil posisi menindihku, pinggulnya tepat di atas pinggulku yang terbuka, dan tubuhnya di antara kedua kakiku yang terkuak lebar., dan aku merasakan ototnya telah menempel pada bawah perutku. Tahulah aku, pak tua ini hendak menyetubuhiku, hendak merenggut kehormatanku yang sesungguhnya hampir tak bersisa lagi. Sedangkan saat itu tubuhku terasa begitu ringan, lungkrah, lemas, dan benar-benar tak mampu menghindar lagi. Aku hanya mampu menunggu dengan perasaan was-was dan perasaan berdosa yang perlahan menyeruak di antara kesadaranku. Tapi sekali lagi aku terlambat, bahkan kedua kakiku yang telanjang begitu lemas ketika ia membukanya lebar-lebar dan menekuk lututku. Aku merasakan otot itu mulai menempel tepat pada kelopakku yang masih membasah dan licin. Lalu kurasakan Pak Siraj mulai mendorong pinggulnya ke arahku sehingga bisa kurasakan kelopakku tertekan ke dalam, satu kali… luput, aku lega, dua kali… meleset… aku merasa ngeri jika tekanannya yang ketiga kali akan menodaiku, jadi aku memiringkan pinggulku ketika ia mulai mendorong lagi. Ya Tuhaann… aku seperti terselamatkan ketika ia tak kunjung bisa menembusku. Pak Siraj merasa penasaran, dibukanya kedua kakiku makin lebar, bahkan kali ini ditumpangkannya kedua kakiku tersangkut pada bahunya, sehingga bisa kurasakan saat itu kalau kelopakku kewanitaanku langsung bergesekan dengan ototnya tanpa penghalang sedikitpun. Aku merasa takut… takut sekali… Dan ia mendorong pinggulnya lagi ke arahku… tangannya yang keriput itu membantu mengarahkan ototnya tepat pada kewanitaanku, sehingga bisa kurasakan ototnya mulai menyelusup seakan membelah kelopak kewanitaanku. Aku takut sekali, aku menahan, aku mengejan, dan pinggulku bergerak semampu yang aku bisa walaupun tidak leluasa. Berhasil… aku lega… Pak Siraj mencoba lagi, mendorong lagi, kali ini meleset lagi…dan kujepit di antara kedua pahaku yang masih licin dan membasah. Ia menggeram, ia mendesis. Mungkin ia mengira sudah berhasil, sehingga terus didorongnya pinggulnya berulang kali ketubuhku sampai kepalanya terdongak ke atas… Tiba-tiba kurasakan tubuhnya bergetar sekalipun baru sekian menit memompa. Mendadak kurasakan perutku tersiram sesuatu cairan yang dingin dan kental, begitu kuat menyemburnya sehingga sampai terpercik ke payudaraku. Seketika itu ia seperti menyadari sesuatu yang salah tempat manakala matanya memandang ke bawah, ia telah kelimaks dengan cara yang tak semestinya, Ia telah gagal menyetubuhiku. Aku lega dan senang tak bisa kupungkiri, karena berarti ia gagal merenggut kehormatanku. Sementara Pak Siraj nampak kecewa sekali. dari mulutnya yang keriput berungkali terucap kata “maaf”. Mungkin ia mengira aku menginginkan persetubuhan ini terjadi sewajarnya, padahal dalam hatiku bilang huh siapa yang mau! Mungkin ini karena kesadaranku telah kembali pulih seutuhnya sehabis kelimaksku dua kali sepanjang percumbuan itu. Pak Siraj ambruk di sebelahku seperti kain basah. Ia menutupi bawahnya dengan sarungnya yang kusut masai.

Ketika kulihat Pak Siraj telah loyo lunglai dan nampak kehabisa tenaga, aku mulai bisa menguasai diriku. Dengan tubuh yang masih telanjang bulat bergegas aku masuk ke dalam kamar, mengelap semua cairan kental yang melekat di tubuhku dengan perasaan yang -entah mengapa- terasa begitu menjijikkan. Lalu kupakai kembali semua dalamanku, Kuganti dasterku yang menggoda itu dengan baju piyama yang lebih tertutup dan sopan. Entah mengapa aku melakukan itu aku tak menyadarinya benar. Saat itu yang kurasakan gairahku yang tadi seperti api yang menyala-nyala dan seolah membakarku, kini terpadami begitu saja. Seperti tak bersisa. Tak ada lagi gelora, tak bersisa lagi gairah, dan begitu cepat kurasakan bagian bawah tubuhku mengering dengan cepat.

Ketika keluar kamar menuju ruang tamu, kulihat P. Siraj sudah merapikan dirinya, sarungnya, safarinya, kopiahnya sudah rapih seperti kedatangannya sekalipun kali ini agak kusut, terutama sarungnya. Ia memandangiku dengan tersenyum kecut.

“Sebenarnya saya ingin agak lebih lama di sini Jeng..itu kalau Jeng Sari tak keberatan.”
“Ehm, maaf Pak, ini sudah larut, saya takut akan tidak baik nantinya, terutama kalau ada tetangga yang tahu keberadaan Bapak di sini.” Entah mendapat kekuatan darimana aku bisa beralasan seperti itu tanpa bermaksud menyinggung perasaannya.
“Jadi… saya ini langsung pulang Jeng, tidak bisakah Bapak menunggu barang satu dua jam, nanti Jeng saya terapi lagi yang sesungguhnya..”
“Maaf Pak, sebaiknya mungkin lain kali saja”
“Jadi Jeng Sari masih bersedia untuk lain kali?”
“Iya, Pak,” jawabku mantap tapi penuh kepura-puraan dalam diriku. Entah mengapa aku menjadi tidak nyaman pak tua ini berlama-lama bersamaku, entah mengapa saat itu aku ingin sendiri saja, dan aku merasa merasa muak..
“janji ya Jeng, lain kali..” aku hanya mengangguk sembari mengulurkan amplop kepadanya. Aku membayarnya karena ia telah kadung berjanji melakukan terapi kepadaku, bukannya untuk maksud lain karena ia telah memberiku kesenangan ragawi.

Malam itu aku merasa lega terselamatkan dari bencana yang besar dalam hidupku. Malam itu aku tidur dengan nyenyak sekali walaupun sesekali terganggu mimpi buruk akan sesuatu yang tak kupahami…. Entah mengapa aku tak lagi merasakan perasaan berdosa atau bersalah atas peristiwa yang baru saja terjadi. Hatiku terasa begitu datar dan tawar. Tapi satu hal yang akhirnya kusadari benar bahwa peristiwa demi peristiwa yang kualami itu benar-benar merubah diriku ke depannya 180 derajat.

By: Sari Dewi

15 Tanggapan

  1. pada 7 Maret 2008 pada 17:50 | Balas niko niko intimo
    wihhh…. mantep sis…. semoga ada lagi cerita lainnya
  2. amat detil, benar2 cerita yg bagus makasih ya atas sharing nya, moga2 ada seri selanjutnya
  3. Nah ini baru nih. Sang pemerkosanya LOYO. jadi ada sedikit aroma realitasnya, TOP nih SARIDEWI. Salut atas ide ceritanya. keep up … !!!
  4. benar-benar bikin konak…. hebat…
  5. keren abiss sis, dah sekelas karya penulis ternama nih :D
  6. Ceritanya halus, runtut dan realitis banget penuh dengan pertentangan batin, sehingga mirip true story. Yang membuat penasaran apakah yang akan dilakukan Jeng Dewi (namanya Dewi kan?) setelah merasa dirinya berubah 180 derajat. Apakah akan ada petualangan yang lainnya? Ditunggu deh..
  7. Mantap, pasti ada lanjutannya khan. susunan dan urutan kata detail sekali, bikin konak dan horny. teruskan ceritanya…..tetap dewi jual mahal.
  8. Betul katanya bang ruri, cerita hrs lanjut, tapi sebagai dewi yang punya mempertahan harga diri untuk tdk kebobolan Penis pak siraj dkk, tapi terus dlm rongrongan birahi siraj. krn pak siraj pny ilmu atau apapun utk menaklukan dewi. Ini crita baru mantap. bravo, kutuunggu selanjutnya
  9. Kereen….. ditunggu lanjutannya…. buat yg ngarang jgn lama2 dong nulisnya…bikin lemes nih….
  10. Bener mas Gedembem…Kueren !!!
    Wih klimaksnya di “Maaf” yang diucapin pak Siraj waktu gagal penetrasi……………………………………..waaahhhh.
    Kalo berhasil penetrasi dijamin nggak keren…
    Lu, emang bener-bener pinter aduk-aduk ati orang
    well done……
    lanjut kan?
  11. Kapan nih kelanjutannya jangan kelamaan
  12. ceritanya bagus banget nih.
  13. wahh… mane lanjutannya ya?
    Ayo dong lanjutin lagi sis. Bikin si Dewi nagih keperkasaan pak Siraj… Kayaknya seru tuh… hueheheh…
    nunggu mode = on…
  14. mana lanjutannya nich lamma banget …
  15. pada 26 April 2011 pada 11:13 | Balas Ajian Kamayan
    Wah hebat ni, di ada sambunga ngak? Mohon dipercepatkan yach..wah..sokong bener ni..mana sambungannya..^__^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar