Laman
Rumah Baru KisahBB
kirim cerita karya anda atau orderan DVD ke:
Order via email: mr_shusaku@yahoo.com
tuliskan: nama, alamat jelas, nomor HP, dan list barang yang diinginkan di email pemesanan
email akan segera saya balas dengan rincian harga & no ac bank bca/mandiri unk transfer. barang akan dikirim dengan tiki/pos setelah konfirmasi transfer diterima.
Promo diskon gede-gedean
Paket istimewa 500rb (50dvd),
untuk dalam Pulau Jawa free ongkos kirim, untuk luar Pulau Jawa tergantung daerah.
Harga normal Rp 15rb/dvd kalau beli banyak Rp.12.500/dvd, untuk paket kali ini jatuhnya Rp. 10rb/dvd, murah banget!!
Tapi ini terbatas hanya untuk 10 orang saja.
jadi silakan order, bisa dilihat list barang di
untuk pemesanan email ke mr_shusaku@yahoo.com
Subject: paket istimewa 500rb
tuliskan: nama, alamat jelas, nomor HP, dan list barang yang diinginkan di email pemesanan
email akan segera saya balas dengan rincian harga & no ac bank bca/mandiri unk transfer. barang akan dikirim dengan tiki/pos setelah konfirmasi transfer diterima.
-untuk pesanan di atas 50dvd, selanjutnya dihitung @Rp.10.000,-
-hanya untuk film2 satuan (JAV, western XXX, dan Semi), tidak berlaku untuk koleksi pics & kompilasi
Jumat, 22 Juli 2011
Terjebak Profesi
Meli (beda orang sih, tapi sama namanya) adalah salah seorang teman wanita saya.
Bukan good friend, sih. Cuman sekedar friend aja. Kadang-kadang, dia dan gerombolan
cewek-ceweknya hanging out di sebuah cafe bersama saya. Yah, kongkow-kongkow ngalor
ngidul.
Dia adalah salah satu temen wanita saya yang memilih jalan hidup yang ekstrim, yaitu
menjadi wanita panggilan alias bisyar alias pelacur.
Why did she choose to become prostitute? No one know. Dibesarkan dalam sebuah keluarga
middle-class, seharusnya dia tidak kesulitan didalam masalah finansial. So, alasan
klasik “butuh duit” kayaknya bisa dicoret. Ada teman saya yang bilang, maybe dia
tuh patah hati berat sehingga jadi begitu. Ada juga yang bilang dia hiperseks, dll.
Ga tau mana yang benar. Yang pasti, gue pernah pake dia dan memang OK. Hahaha…
Wajah lumayan dengan body yang OK. Hah…memang cukup pantas dengan harganya yang
bikin kantong tipis. Terakhir gue pake diberi gratis, soalnya temen dhewe. Hehehe.
Waktu pertama kalinya, gua kena biaya kenikmatan 500rb, sekitar 2 tahun yang lalu.
OK. Enough about the introduction.
Sore itu, begitu selesai kuliah, Meli langsung menuju keluar kampus, menunggu jemputan
dari supirnya. Dia sudah tidak sabar untuk kembali kerumah buat tidur. Malamnya dia ada
kencan dengan salah satu pelanggannya, seorang mahasiswa dari sebuah PTN di kotanya.
Setelah supirnya datang, dia lalu naik ke mobil dan langsung meminta supirnya untuk
mengantarnya kerumah dengan segera.
“Pak Yudi, tolong segera ke rumah ya. Saya capek banget.”, pintanya dengan pelan.
“OK, Non. Sampeyan santai saja.”, sahut supirnya.
Meli lalu memejamkan mata. Hm, supirnya ternyata ngebut. Terasa banget mobilnya
ber-”manuver” kekanan dan kekiri, diselingi oleh lengkingan klakson dari
kendaraan-kendaraan lain. Haha…Seru juga.
Setelah beberapa menit kemudian, sampailah Meli kerumahnya. Terlihat beberapa orang
masih sibuk bekerja. Orang tua Meli adalah seorang pengusaha mebel dan tak jarang
rumahnya dijadikan Workshop dadakan saat gudang tempat memproduksi barang sudah penuh.
Rumahnya kalau dibilang besar juga nggak, namun dibilang kecil juga nggak. Lumayanlah.
Garasi dan taman belakangnya yang sering dijadikan workshop dadakan ini untuk
memproduksi mebel.
Meli lalu segera menuju ke kamarnya dilantai dua dan segera mandi, membersihkan badannya
yang terasa penat. Setelah selesai mandi, dia segera merebahkan tubuhnya ke ranjang dan
tidur. Tak lupa sebelumnya dia menyetel jam weker agar berdering tepat pukul 18:00. Ada
pelanggan yang siap membayarnya nanti malam.
Setelah berapa lama dia tertidur, Meli sedikit tersadar. Matanya masih terpejam. Dia
merasakan dinginnya udara AC yang menerpa kakinya. Setelah beberapa detik kemudian,
kesadaran otaknya mulai pulih. Dia lalu bangun dan menuju ke lantai bawah untuk mencari
makanan, perutnya lapar.
Dibawah, ada tiga orang pekerjanya yang sedang asyik merokok dan mengobrol di taman belakang,
persis disebelah dapur. Begitu melihat Meli turun, mereka terus memandangi gadis amoy itu
tanpa berkedip sambil sesekali berbisik. Mali diam saja walau didalam hati dia merasa sebal.
Ketiga orang ini adalah mandor para pekerja, jadi mereka sering pulang telat/lembur.
Saat menuju ke dapur, Abdul, salah seorang pekerjanya sedang memasak mie instan.
“Mau makan, Non?”, sapa Abdul.
“He eh. Laper.”, sahut Meli singkat.
Didik yang tadinya sedang duduk di taman belakang lalu berdiri dan menuju ke lemari es.
Sewaktu melewati Meli, tangannya mencolek pantat anak majikannya ini sambil berkata, “Ih,
pantat kamu seksi banget, Non.”.
DHIENG ! Sontak Meli melolot sambil menunjukkan jarinya kearah Didik, “Eh. Kamu jangan
kurang ajar ya. !”. Didik ini memang dasar bandel. Diperlakukan begitu, dia tambah ingin
berbuat lebih jauh, “Ala non…Masa begitu aja kagak boleh. Situ kan udah pengalaman.”,
ujarnya enteng. Abdul dan Soleh tertawa kecil mendengarnya.
Diliputi oleh amarah, Meli lalu membentak, “Apa maksudmu, Aku laporkan Papi baru tahu ya.
Kamu dan kalian semua bakal dipecat dan jadi pengangguran !”.
“Lho..mau laporan? Aku juga nanti lapor ke Bapak kalo non ini ternyata Pelacur !”
GUBRAK ! Sebuah kalimat sederhana dari Didik, namun membuat Meli mati kutu. “Where the hell
that these morons know from?”, pikir Meli.
“Heh. Sudah kurang ajar, berani ngomong yang ga karuan. Awas ya. Aku telepon Papi !”, ancam
Meli. Dengan santai Didik lalu berkata, “Lho ya terserah Non. Aku juga nanti lapor gitu.”.
Lalu dengan panjang lebar Didik bercerita bagaimana dia tahu kalau Meli ini bisa dibooking.
Meli langsung diam seribu bahasa.
Abdul lalu mendekat dan dengan usil dia menyenggol payudara Meli dengan sikunya.
“Ups. Sori. Kan udah biasa, Non.”. Mereka bertiga lalu tertawa. Dengan menahan malu, Meli
lalu berlari meninggalkan mereka sambil menangis. Didik lalu berteriak, “Tenang Non. Rahasia
situ aman kok!”.
Sejak saat itu, Meli sering sekali diusilin oleh mereka, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka
memegang kartu trufnya, yang kalau sampai dibongkar, dia bisa diusir dari rumah mengingat
Papinya adalah orang yang masih memegang budaya kuno yang kolot. Hm…
Beberapa minggu kemudian….
Meli melihat jam di dinding kamarnya. “Hm, masih pukul 3 sore.”, pikirnya. Lalu dia memutuskan
untuk kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang dan meneruskan tidurnya.
Dasar. Sehabis pulang dari kuliah tadi, bukannya ganti baju malah langsung tidur. Hm…
Entah berapa lama kemudian, dia kembali terbangun dari tidurnya. Setelah kesadarannya pulih,
dia lalu membuka matanya. Waduh, betapa terkejutnya dia melihat Abdul didalam kamar. Yang
bikin dia tambah kaget adalah si Abdul lagi melepas celana panjangnya.
“Hei. Loe ngapain begitu?”, pekik Meli.
Abdul kaget setengah mati, sampai dia hampir saja terjatuh sewaktu melepas celana panjangnya. Dia
lalu terpaku, tidak bisa berkata apa-apa.
“Keluar kamu, brengsek !”, pekik Meli lagi.
“I-i-i-ya non. A-ku…”, kata Abdul sambil terbata-bata, saking kagetnya.
“K E L U A R !!!!”, teriak Meli. Tanpa banyak bicara, Abdul segera keluar kamar tanpa sempat
memakai kembali baju dan celananya.
Belum hilang rasa kaget Meli atas kehadiran Abdul yang “tak diundang” tadi , tiba-tiba terdengar
ketokan di pintu kamarnya dan tanpa sempat dia jawab, masuklah ketiga mandor pekerja ayahnya itu.
“Mau apa kalian?”, ujar Meli dengan ketus. “Keluar, Cepat !”.
Abdul yang berdiri disebelah Didik hanya menundukkan kepala. Soleh cuman diam saja, sedang Didik
yang sedang merokok menjawab, “Ala non. Kok judes banget sih.”. Meli diam saja sambil menatap
tajam kearah Didik.
Didik lalu menutup pintu dan merogoh saku celananya. Setelah itu, dia mendekat kearah Meli dan
meletakkan segepok uang diranjang. “Tuh, non. Ada uang 600rb. Taripnya non kan?”, ujarnya enteng.
“Nah, gimana? Beres kan. Daripada aku bicara ke Bapak, mending non mau saja. Toh saya kan bayar.”,
ujar Didik sambil duduk ditepi ranjang. Meli tidak menjawab. Didalam hatinya berkecamuk dua
hal. Dia sama sekali tidak ingin melayani mandornya ini, namun dia juga takut kalo sampai
rahasia dia terbongkar.
“Hehe…Mau kan non? Saya pengen deh ama cewek kayak kamu. Pengen coba. Itu tuh duit hasil urunan
kami bertiga lho. Diambil dari Gaji bulan kami dari Bapak.”, ujar Didik. Meli ingin sekali berkata
tidak (100%), namun bagimana jika Didik memakai “kartu truf” dirinya? Bingung 1000 keliling.
Selama beberapa menit, kesunyian melingkupi kamarnya Meli. Tak seorangpun berbicara. Diam seribu
bahasa. Sama-sama menunggu reaksi dari “lawannya”. Didik terus menyedot dan mengepulkan rokoknya
dengan cepat, mungkin untuk menutupi kegelisahan dirinya.
Tak lama kemudian, Didik meletakkan rokoknya yang tinggal separuh ke meja riasnya Meli. Lalu dengan
pelan dia mendekati anak majikannya ini. Pelan2 dipegangnya tangan kanan Meli. Hm, no reaction.
Lalu pelan2 diciumnya pipi Meli. Hm…still no reaction. Meli just sit still. Didik lalu menarik
selimut yang dipakai Meli untuk menutupi tubuhnya. Nampak Meli masih memakai baju kuliahnya tadi
pagi, sepotong kaus ketat pink dengan lengan yang pendek. BH hitam yang dipakainya terbayang dibalik
kausnya itu. Pemandangan ini membuat ketiga mandor ayahnya tidak bisa mengedipkan mata.
Karena merasa tidak ada perlawanan, Didik lalu mulai menciumi leher Meli yang putih. Pertama dia
menciumnya dengan pelan, takut ada tamparan yang melayang. Namun sedikit demi sedikit, ciumannya
semakin dalam dan cepat. Tangan kanan Didik kemudian meraih payudaranya Meli dan meremasnya dengan
gemas. Meli mengaduh pelan, dadanya terasa sedikit nyeri.
Didik semakin kesetanan menciumi lehernya Meli. Dia lalu menempatkan Meli didepan pangkuannya dan
membiarkan wajahnya menatap ke punggung gadis ini. Dengan penuh nafsu, Didik lalu menggesek-gesekkan
penisnya di pantat Meli sambil kedua tangannya terus meremasi payudara Meli dengan gemas.
“Oh ya…sip…”, erang Didik. Dia semakin erat memeluk Meli dan menggesek-gesekkan penisnya dengan
semakin cepat. Tak puas hanya dari luar, Didik lalu memasukkan tangannya ke balik kaus ketat gadis ini
dan meremasnya.
“Oh yap. sip…uh…enak non…Dul, rene-o koen. Jok meneng wae…”, kata Didik sambil terengah-engah.
Abdul yang dari tadi mengamati pemandangan itu segera mendekat. Soleh hanya menonton sambil senyum-
senyum saja. Dia tetap didepan pintu kamarnya Meli. Mungkin tugasnya adalah untuk menjaga pintu. Haha…
kasian deh loe.
Dengan ragu-ragu, Abdul lalu menciumi bibir Meli. Meli diam saja sambil matanya menerawang. Lama kelamaan,
Abdul semakin berani dan melumat bibir indah Meli dengan penuh gairah. Dia lalu meraih tangan Meli yang
menempatkannya persis dipenisnya yang masih tertutup celana dalam saja. Pertama-tama dia yang membuat
gerakan mengkocok, tetapi lambat-laun Meli sendiri yang mengkocok penisnya. Abdul semakin terangsang dan
sekarang bisa fokus menikmati wajah dan leher Meli, bergantian dengan Didik. Sedangkan penisnya sudah
dikocok oleh Meli dengan cepat.
“ah…Ah…”, desah Meli, gelagapan juga diserang oleh dua lelaki ini.
“uh…payudara non seksi sekali. ah…enak non.”, erang Didik.
“Tenan ta?”, tanya Abdul sambil mencari buah dada Meli dan lalu meremasnya berkali-kali. “Uh, tenan Di.
Kenyal banget. sip…”, ujarnya serambi melumat bibirnya Meli. “Soleh, sampeyan gilirannya mengko wae ya.”.
Soleh cuman tertawa kecil sambil terus menonton kedua temannya mengerjai anak majikan mereka.
Abdul lalu melepas CD-nya dan membiarkan Meli memegang penisnya yang sudah menegang. Meli lalu mengkocoknya
dengan cepat, membuat Abdul mengerang nikmat. Setelah beberapa detik dikocok, Abdul lalu mendekatkan penisnya
ke bibir Meli yang tipis itu, dan memaksanya untuk dikulum. Meli terpaksa membuka mulutnya dan membiarkan
penis Abdul “menyetubuhi” bibirnya. Dia lalu menyedot penis itu dengan enggan.
“Oh ya. Enak non. Yang keras donk kalo sedot.”, pinta Abdul. Meli diam saja sambil terus menyedot penis Abdul
didalam mulutnya.
Beberapa menit kemudian, Didik menghentikan gesekan penisnya yang di pantat Meli. Nampaknya dia hendak
ejakulasi sehingga ditahan dulu. Abdul yang tadi asyik dioral Meli juga lalu menghentikan
aktifitasnya. Didik lalu menarik tangannya dari balik kaus Meli dan berdiri dari ranjang.
Dia melepas seluruh pakaiannya sehingga telanjang bulat.
Didik kembali duduk keranjang dan menarik keatas kaus ketat yang dipakai Meli,
tak lupa juga mencopot BH hitam dan celana dalam hitam yang masih menutupi tubuh gadis berkulit putih ini.
Abdul terus menyaksikan “prosesi” pelepasan kaus tadi sambil mengkocok penisnya yang sudah menegang.
Soleh tertawa ringan, lalu berkata, “Wik, adekmu gedhe-men to Di.”. Didik hanya menyeringai sambil berkata,
“Aku lak wis ngomong toh, leh. Mbah ***** kuwi pancen OK. Adek awak dhewe iki iso dipompa kayak ngene.”.
Mereka bertiga lalu tertawa-tawa. Meli memang sempat terbelakak melihat besarnya penis dari Didik. Dari
informasi yang dia ceritakan, ukurannya sekitar 20an cm (Really?) dengan diameter diatas rata-rata.
Mengacung kayak pedang para Musketeers. Hahaha. Sedang ukuran penisnya Abdul normal-normal saja, cenderung
kecil.
“Dul, aku dhisik yo.”, kata Didik sambil menahan nafsu. “We…Ora iso, Mas. Aku dhisik.”, ujar Abdul dengan
cepat. Mereka lalu bertengkar kecil sendiri. Meli hanya diam saja sambil berusaha menutupi tubuhnya dengan
kedua tangannya. Dia ingin sekali menolak, namun sekarang ada perasaan berbeda yang melingkupi pikirannya.
Akhirnya, biar segera ada keputusan, mereka lalu setuju suit. Satu-dua-tiga, dan Didik yang menang. Hehehe…
Dengan senyum kemenangan, didik lalu menarik kedua tangan Meli dan merebahkan tubuh gadis amoy ini keranjang.
Dia lalu segera menindihnya. Dia menciumi bibir dan leher Meli dengan penuh nafsu. Meli hanya bisa pasrah
sambil matanya menerawang. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
Tak membuang waktu lagi, Didik lalu memposisikan penisnya yang – wow – itu kedepan lubang vagina Meli dan mulai
menusuknya. “Ah…”, tubuh Meli tersentak kedepan saat penis Didik membelah liang vaginanya.
“Uh…Sakit mas!”, iba Meli. Didik memandang sebentar wajah Meli yang meringis menahan sakit, lalu tanpa ampun
dia meghunjamkan seluruh batang penisnya kedalam vagina Meli.
“Aduh….ahhhhh !”, erang Meli kesakitan. Tubuhnya tersentak kedepan dengan cepat. Walaupun vaginanya sering
“dipakai”, namun baru kali ini dia mendapat serangan rudal yang cukup besar. Didik merem-melek merasakan
sensasi kenikmatan yang luar biasa. Lalu dia segera mengkocok penisnya di vagina Meli dengan cepat. Kedua
tangannya yang hitam pekat itu memeluk tubuh gadis ini dan bibirnya terus melumat lehernya Meli.
“Aduh mas…sakit mas. Pelan-pelan…auh…”, erang Meli lagi. Tangan Meli memegang paha Didik, berusaha
menahan “serangan” lelaki ini agar tidak terlalu dihunjamkan kedalam vaginanya. Didik sebenarnya kasihan juga,
namun rangsangan seksual yang dia rasakan menutup iba-nya. Tubuh Meli nampak terguncang kedepan dan kebelakang
dengan cepat. Bunyi gesekan penis dengan vagina terasa sangat menggoda. Abdul terus mengkocok penisnya sambil
memandangi temannya yang sedang menyetubuhi anak majikan mereka ini.
“Ah…C*k, uenak tenan, memeknya, c*k. Ah…ya. yap…sip…”, ujar Didik penuh nikmat, disertai sedikit
umpatan “tradisional”-nya. Meli terus menutup matanya menahan sakit. Akhirnya, beberapa menit kemudian, Didik tak
kuasa menahan ejakulasinya.
“Sip…aku metu non…sip…”. Dengan hunjaman terakhir kearah vagina Meli, penis Didik menyemprotkan seluruh
sperma yang ada kedalam liang kewanitaannya. Terlihat tubuh Didik bergetar, matanya tertutup setengah, merasakan
sebuah kenikmatan yang luar biasa, menyerbu saraf-saraf otak dan tubuhnya.
Setelah puas, dia lalu mencabut penisnya, disertai dengan sebuah rintihan pelan dari Meli. Terlihat spermanya
meleleh keluar dari dalam liang vagina gadis malang ini. Didik lalu merebahkan tubuhnya disamping Meli sambil
mencium bibirnya. Meli langsung membuang muka. Didik cuman terkekeh melihatnya.
Abdul lalu menarik turun Didik sambil berkata, “Wes. Saiki aku rek.”. Lalu dia dengan cepat menindih kembali
gadis amoy itu dan memasukkan penisnya kedalam vagina Meli. Dia lalu mulai mengkocok penisnya dengan cepat.
“Lho…kok longgar begini. J*nc*k. Mestinya aku dhisik, sak durunge sampeyan mas.”, omel Abdul sambil
sementara menghentikan kocokan penisnya. Soleh dan Didik cuman tertawa lebar mendengarnya. Meli hanya bisa
pasrah, membiarkan tubuhnya dinikmati oleh kedua mandor Bapak-nya ini.
Abdul kemudian kembali mengkocok penisnya. Diangkatnya kedua lengan Meli lalu diciuminya ketiak Meli dengan
penuh nafsu. “Uh..ketiaknya seksi, rek.”, ujarnya penuh nafsu. Lagi-lagi ucapannya itu membuat Soleh dan
Didik tertawa lebar.
Untuk lebih menikmati tubuh gadis ini dengan lebih baik, Abdul lalu memegang kepala Meli dan menciumi bibirnya
sambil terus membiarkan penisnya menikmati beceknya liang vagina Meli. Mereka terus berciuman bibir dengan
penuh nafsu. Meli nampaknya melayani ciuman ini, karena kedua tangannya sekarang memeluk tubuh Abdul dan
membiarkan dirinya disetubuhi.
Setelah kira-kira lima menit kemudian, Abdul melenguh dan berkata. “OH…aku meh metu non.”. Mereka lalu
kembali berpelukan dan berciuman bibir dengan panas. Tak lama kemudian, Abdul menyemprotkan spermanya kedalam
vaginanya Meli. Sewaktu mengalami ejakulasi, dia terus menciumi bibir Meli sambil tangannya meremas payudara
gadis itu. Tubuhnya tersentak kedepan beberapa kali, menyemprotkan benih dirinya ke liang rahim anak majikannya.
Setelah puas, Abdul lalu melepaskan pelukan dan ciumannya, mencabut penisnya dan merebahkan tubuhnya keranjang,
melepaskan kepenatan tubuhnya.
Tak lama kemudian, Abdul dan Didik segera berpakaian, membiarkan Meli bugil diatas ranjang, kelelahan dan
penuh keringat.
“Makasih non. Lain kali kita begini lagi ya…”, ujar Didik yang disambut tawa kedua temannya. Meli diam saja.
Ketiganya lalu pamit dan keluar kamar dengan perasaan puas.
Meli hanya diam. Dia lalu bangun dari tempat tidur. Diambilnya tissue dan dengan cekatan dia membersihkan
vaginanya dari lelehan sperma lelaki yang telah menikmati tubuhnya. Setelah itu, dia mengambil uang 600rb yang
tadi diberikan oleh mandornya.
Dia memandangi uang-uang tersebut, pecahan 100rb sebanyak 6 lembar. Setelah merenung selama beberapa waktu,
akhirnya dia memasukkan uang tersebut kedalam dompetnya, bangun dari tempat tidur dan hendak menuju ke kamar mandi
untuk membersihkan badan.
“Aduh..”, rintihnya pelan. Oh, Vaginanya terasa sakit dan perih. Setelah dia periksa dengan cermat, Meli melihat
bahwa vaginanya memerah dan ada bercak darah. Hm…Nampaknya vaginanya terluka. Dengan menahan sakit, dia lalu
berjalan tertatih-tatih kekamar mandi dan mulai membersihkan dirinya.
Keesokan harinya….
“Lho…Kamu kenapa, Mel. Kok jalannya begitu?”, tanya ayahnya dengan heran melihat putrinya berjalan dengan
sedikit aneh.
“Ga papa, kok. Kaki aku kram, sehabis senam kemarin.”, ujarnya singkat.
“Oh. Begitu.”, sahut ayahnya.
Sewaktu dihalaman depan, dia berpapasan dengan Didik yang sedang mengangkut kayu.
“Pagi, Non.”, sapanya sopan. Meli tidak menjawab dan hanya melengos saja.
“Jalannya kok gitu. Sakit ya? Entar kapan-kapan saya pelan2 deh.”, goda Didik lagi, disambut tawa Abdul dan
yang ternyata ada dibelakang mereka.
Meli tambah kesal, lalu dengan cepat dia menaiki mobil dan memacunya ke kampus.
#################
Cerita ini merupakan kelanjutan dari pengalaman salah seorang teman. Jika ada yang
belum tahu, teman saya ini namanya, sebut saja, Meli. Dia adalah salah seorang “escort
girl” high class yang saya kenal. Kalo ketemu dia, jangan pernah keluar kata “pelacur”
atau “bispak” atau “bisyar” lho. Bisa-bisa BT tuh si doi dan loe-loe pada batal crot dah.
Sore itu, saya mengantar pulang Meli sehabis dari Gym. Waktu itu dia memakai tanktop
setali berwarna hitam polos ketat dengan celana pendek. Seksi deh pokoknya. Sesampainya
didepan rumah, tiba-tiba meli memegang tanganku dan berkata, “Jim, muter-muter dulu
yuk.”. Dia menatap rumahnya yang masih banyak para tukang kayu ayahnya bekerja.
“Ha? Kenapa memangnya? emang loe kagak capek neh?”, tanyaku heran.
“Wis ta. Muter-muter aja dulu disini, atau kemana kek.”, ujarnya sedikit gusar.
Weleh…weleh…memangnya kenapa sih kalau langsung pulang? Pake acara muter-muter
segala. Mana BBM mahal lagi. Hehehe…Tapi biarpun aku ngomel2 dalam hati, tetap aku
turuti dia muter-muter didalam kompleks perumahan yang memang luas itu. Perumahan ini
terletak di sebelah barat kota S, cukup terkenal.
Setelah hampir 1 jam muter-muter, kami memutuskan untuk kembali kerumah. Mungkin dia
kasihan juga melihat aku yang kecapaian sehabis fitnes. Belum maem lagi neh…
Begitu sampai didepan, nampak dia menghela nafas.
“Emang kenapa sih, Mel? Sampe rumah kok malah ga suka. Kan enak bisa tidur…”.
“Itu kan menurutmu, Jim. Tuh lemburannya belum selesai. Si Didik dkk pasti belom
pulang.”.
Oh. Aku langsung mengerti.
“Gini aja. Apa mau gua temani kamu? Pasti mereka ga bakal berani macam-macam lagi.”,
tawarku. Meli diam saja, lalu dia menyahut, “Ga usah deh, Jim. Paling ya gapapa.”.
“Are you sure, gorgeous?”, godaku. Meli tersenyum kecil dan mengangguk pelan.
Dia lalu turun dari mobil dan aku segera pulang kerumah. Pikiranku cuman satu
waktu itu: T I D U R !!! Capek tau…
Meli melepas sandalnya lalu kemudian masuk kedalam rumah dan cepat-cepat melangkah menuju
kamarnya yang berada di lantai 2. Dia berjalan dengan cepat namun tanpa suara, berjinjit.
Meli berharap tak seorangpun dari karyawannya menyadari bahwa dia telah pulang.
Bisa repot kalo mandor-mandor gatel yang mengerjainya dulu tahu kalo dia udah pulang.
Tetapi begitu sampai dilantai atas, ternyata dia melihat Didik, Soleh dan seseorang yang
tidak dikenal sedang duduk-duduk di lantai atas. Mereka masih tahu diri rupanya, tidak
duduk di sofa ruang tamu atas. Hehehe…
Begitu melihat Meli naek, ketiga lelaki itu langsung berdiri dan menyapa dengan ramah.
“Sore, Non.”, sapa Didik ramah. Soleh dan temannya juga menyapa ramah.
Meli cuman diam saja. Dia lalu berjalan semakin cepat menuju kamarnya.
“Pokoknya gua masuk kamar lalu dikunci, beres deh.”, pikirnya.
Namum Didik segera menghadang langkahnya, dan berkata, “Duh, jangan kesusu non.
Bentar aja.”. Kedua teman Didik yang lain tetap berdiri sambil menatap mereka
dengan tegang.
“Mau apa sih?”, ujar Meli ketus.
“Duh. Non ini ketus banget. Kita cuman mau pake non kok. Mereka sih, bukan saya. Pengen
nyoba katanya.”, sahut Didik.
“Ga ah. Gue lagi ga mood.”, kata Meli dingin.
“Lho…Trus kapan non mood? Kita sekarang bayar full kok.”, ujar Didik, sedikit memelas.
Dia lalu berpaling kepada temannya dan berkata, “Ayo. Ndi duitnya?”.
Soleh segera merogoh koceknya dan mengeluarkan beberapa lembar 50ribuan. Teman Didik yang
lain juga mengambil sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan pecahan 100ribuan.
“Nih, non. Mereka udah siap, masing-masing 600rb. Malam ini non ga ngapa-ngapain udah
dapat 1,2 juta. Lumayan toh.”, ujar Didik sambil tersenyum. Sambil mengumpulkan uang
dari teman-temannya dia menambahkan, “Mereka udah mandi kok non. Jadi udah bersih. Aku
tahu sampeyan suka cowok yang bersih kan?”. Didik lalu mendekat menyerahkan segepok
uang yang cukup tebal.
Dengan segan Meli menerima uang itu, lalu dihitungnya. Ketiga lelaki hidung belang
itupun menunggu dengan tegang. Yap, tepat satu juta dua ratus ribu rupiah.
“Nah, bagaimana non?”, ujar Didik pelan.
Meli lalu berpaling kepada mereka dan berkata, “Ya udah. Nang cepet muncrat sana.”
sambil masuk kedalam kamar. Sontak terdengar tawa dari ketiga cowok tersebut. Didik
berkata kepada Soleh, “Wes, dijamin uenak. Putih, seksi lagi. Hahaha…”. Lalu mereka
ikutan masuk kedalam kamar.
“Non, kenalin. Ini koncoku, bukan karyawan sini sih. Dia nyambut gawe di kontraktor,
staf pembelian. Namanya Rahmat. Ga cocok ama orangnya ya mbak? Jeneng keren wong ga
keren.”, sahut Didik sambil tertawa.
Meli cuman tersenyum kecil. Mereka lalu bersalaman.
“Wah, mbak-nya cakep dan seksi, apalagi pake baju begitu. Saya jadi adem panas.”, ujar
Rahmat spontan. Terdengar teman-temannya cekikikan. Meli lalu memasukkan segepok uang
itu kedalam dompetnya. Kedua “calon pelanggannya” menunggunya dengan gelisah.
Setelah selesai, Meli cuman berdiri saja memandang mereka. Ketiga cowok gatel itu nampak
juga bingung dan ragu-ragu mau ngapain. Bisikan demi bisikan sayup bisa didengar oleh
Meli.
“Ayo, wes nang maen sana.”
“Sopo dhisik?”
“Wah, emboh. Wes sampeyan dhisik Dik.”
“We…aku ora melu bayar kok. Duit entek.”, ujar Didik sambil meringis.
“Sampeyan lak durung pernah. Wes dhisikan.”
“Lha trus piye?”, ujar Soleh bingung.
“Yo mboh.”
Meli cuman diam saja memandangi para lelaki itu berbisik-bisik sendiri. Bah, kayak anak
kecil aja mereka ini. “Jadi ga nih? gue mau pigi.”, ujar Meli enteng.
“Ya bentar non. Awak dhewe jek rembukan.”, sahut Soleh gugup. Waduh, mau crot aja pake
musyawarah. Hehehe…Meli sebel juga melihat ketiga cowok itu. Kok pake acara malu-malu.
Mungkin Didik jadi BT juga melihat ulah teman-temannya. Dia lalu dengan tegas berkata,
“Wes. Ngewe wae. Rahmat, sampeyan dhisik. Sampeyan lak jek joko. Jarene pengen pertama
kali ama amoy. Tuh, wes keturutan. Nang cepet maen sono.”. Soleh tergelak mendengarnya,
sedang Rahmat cuman meringis.
“Non, Mas Rahmat iki jek joko. Jadi durung pengalaman. Sampeyan alon-alon ae ya?”, ujar
Didik. “Gombal jek joko. Bullshit !”, sahut Meli ketus.
“Lhe, beneran mbak. Sumpah. Elek-elek ngene aku jek joko iki.”, ujar Rahmat serius.
Meli diam saja.
“Wes. Kalian segera maen. Aku dan Soleh cuman melihat aja dulu.”, ujar Didik sambil
diiyakan Soleh. Mereka lalu duduk di lantai sambil memandangi Rahmat yang nampak gugup.
Meli diam saja sambil berkacak pinggang.
Tak lama kemudian, dengan kikuk Rahmat mendekati Meli dan mulai menciuminya. Kedua
tangannya memeluk punggung gadis itu sambil diusap-usap. Entah maksudnya apa. Soleh dan
Didik tertawa kecil menyaksikan pertunjukan hot itu sudah dimulai.
Mereka berciuman bibir selama beberapa saat. Meli cuman menanggapi dengan pasif saja.
Setelah puas melumat bibir gadis ini, Rahmat lalu menciumi payudaranya yang masih
dibalut tanktop ketat. Diremas-remasnya dengan gemas, lalu Rahmat menjilati belahan
payudara Meli yang tidak tertutup tanktop. Nafasnya semakin memburu.
“Mbak, buka baju donk.”, pinta Rahmat yang lalu disoraki oleh kedua temannya yang sedang
asyik mengamati mereka. Meli memperingatkan mereka agar tidak terlalu ribut, takutnya
banyak orang yang dengar. Didik dan Soleh lalu tersadar dan meminta maaf.
Perlahan Meli menarik tanktop hitamnya itu dan melepasnya, lalu meletakkannya perlahan
diatas meja rias. Dia juga melepas celana pendek jeans yang dipakainya. Rahmat
membelalakan mata. Didepannya ada seorang gadis yang seksi, memakai bra merah dengan cd
merah juga. Yang bikin menggoda, baik BH maupun CD-nya itu transparan dan berenda.
“Wow, seksi sekali mbak ini.”, celutuk Rahmat sambil menelan ludah. Dia lalu mendekat dan
mencium habis seluruh belahan payudara Meli. Setelah puas dia lalu berusaha melepas
kaitan BH dibagian belakang, namun beberapa kali mencoba tidak bisa.
“Yo ngene iki nek ga pengalaman. Lepas BH ae ora iso.”, tawa Soleh dan Didik bersamaan.
Meli cuman tersenyum lalu melepas sendiri kait BH-nya, tak lupa dia juga melepas CD-nya.
Biar cepet selesai, mungkin demikian pikir Meli. Rahmat nampak terpesona untuk yang kedua
kalinya. Dia lalu dengan segera melepas kemeja kerjanya dan celananya. Nampak penisnya
sudah menggantung keras.
Rahmat lalu menidurkan Meli keatas ranjang dan mulai menindihnya. Dengan bibirnya, Rahmat
menjilati tubuh gadis seksi ini dari atas kebawah. Disedotnya puting Meli dengan penuh
nafsu, sampai Meli berteriak kesakitan.
Mungkin karena tidak sabar ingin melepas keperjakaannya, Rahmat segera memposisikan
penisnya yang sudah menegang itu pas didepan vagina “escort girl” ini. Lalu hanya dengan
sekali dorong, dia sudah berhasil menyetubuhi gadis amoy ini. “Oh……”, erang Rahmat
penuh nikmat. Meli cuman menggigit bibirnya, merasakan sebuah penis asing memasuki liang
vaginanya.
Diliputi rasa nikmat yang tiada tara, Rahmat segera menggenjot Meli dengan penuh nafsu.
Dengan ganas dia mengkocok penisnya didalam vagina Meli sambil mengerang penuh nikmat.
Dia memegang pinggang Meli dan menariknya kedepan dan kebelakang, disesuaikan dengan
irama kocokan penisnya. Meli hanya bisa mengerang, merasakan sedikit sakit di
selangkangannya.
Dari ceritanya, tidak sampai 2 menit, Rahmat tiba-tiba mengejang dan berteriak
“Oh…Ah…” dan menyambut orgasmenya.
Penisnya menyemprotkan sperma dengan cepat didalam vagina Meli ini. Ya, dia mencapai
orgasme. Meli hanya mengerutkan dahi, menahan rasa nyeri di bagian bawah tubuhnya.
Rahmat menggoyangnya terlalu kasar sehingga dia tidak bisa ikut menikmati.
Setelah puas, dia lalu mencabut penisnya dan tidur merebah disebelah Meli.
“Oh, nikmat sekali anumu Mbak. Sip…”, ujarnya terengah-engah.
Meli diam saja. Dia lalu bangun dan mengambil beberapa tissue dan hendak membersihkan
vaginanya yang dipenuhi oleh cairan sperma Rahmat. Tiba-tiba Soleh yang sudah bugil naik
keatas ranjang dan berkata, “Mbak, ga usah dibersihkan. Biarin aja. Biar tambah becek.”.
Meli cuman memandang lelaki ini dengan heran. Tapi tanpa banyak bicara, Soleh segera
menindih Meli dan mendorong Rahmat agar turun dari ranjang.
“Wes. Minggiro sampeyan. Iki giliranku.”, kata Soleh sambil terkekeh-kekeh. Dengan loyo
Rahmat segera turun dari ranjang dan tiduran dilantai sambil tetap bugil. Rasa nikmat
masih melekat diseluruh tubuhnya.
Sama seperti Rahmat, Soleh nampaknya juga tidak sabar ingin menikmati anak gadis
majikannya ini. Lalu dia menusukkan penisnya kedalam vagina Meli dan setelah masuk
kedalam, dia segera mengkocoknya dengan cepat.
Meli hanya mengerang. Dia merasakan sedikit nikmat sekaligus nyeri. Soleh dengan ganas
menggoyang tubuhnya. Kedua tangan lelaki ini merengkuh payudaranya dan meremasnya dengan
gemas, sambil terus menyetubuhinya. Erangan demi erangan memenuhi kamar tidur Meli.
Soleh lalu mengangkat kedua lengan Meli dan menciumi ketiaknya dengan penuh nafsu. Dia
menjilati daerah itu dengan lidahnya, menikmati setiap incinya. Lalu dia mengarahkan
lidahnya dan menjilati puting buah dada Meli dengan cepat, memilin puting yang satunya,
sambil terus mengkocok penisnya. Meli hanya mengerang sambil menggigit bibirnya. Rasa
nyeri di selangkangannya masih belum hilang.
Setelah puas memainkan payudara Meli, Soleh segera memeluknya dari atas, lalu dengan
tempo yang semakin cepat, dia menyetubuhi anak majikannya ini dengan ganas.
“Ah…Ah…aduh…”, erang Meli merasakan nyeri yang semakin menyengatnya. Soleh tidak
memperdulikan hal itu, dia terus saja menyetubuhi gadis itu sambil menciumi lehernya.
Sekilas Meli melihat Didik sudah bugil juga namun dia tidak mendekat. Dia hanya duduk di
kursi sambil mengkocok penisnya sendiri, bermasturbasi. Rahmat masih tetap tidur di
lantai kamar, berharap bisa segera memulihkan tenaganya. Penisnya yang loyo terkulai
dan mengecil dipahanya.
Nah, kemudian ini nih bagian yang paling seru.
Saat mereka lagi asyik-asyiknya, tiba-tiba pintu kamar Meli terbuka lebar. Adik perempuan
Meli, sebut saja Meiling, nyelonong masuk sambil membawa beberapa buku kuliah.
“Cie, kamu jek inget integral double nggak? Aku ajarin ….”
Rekan-rekan, bayangkan betapa kagetnya si Meiling, SEKALIGUS para cowok dan Meli itu
sendiri.
Meiling melihat kakak perempuannya (dipanggilnya “Cie Cie”) sedang disetubuhi
oleh seorang lelaki. Dia mengenal lelaki itu, namanya Soleh, salah seorang mandor tukang
yang bekerja pada ayahnya.
Rahmat yang sedang tiduran dilantai langsung bangun sambil mengambil apa aja yang bisa
digunakan untuk menutup bagian bawah tubuhnya. Terlihat dia hanya berhasil mengambil
tanktop hitam Meli dan menutup bagian penisnya.
Soleh, saking terkejutnya, dia langsung mengumpat dan mencabut penisnya dari vagina Meli
dan menggunakan bantal untuk menutup tubuhnya. Didik, yang posisinya paling dekat dengan
pintu sempat terjungkal kelantai saking kagetnya. Dia lalu dengan cepat membanting pintu
untuk menutupnya. Suasana didalam kamar yang tadinya penuh nafsu seksual sekarang berubah
menjadi tegang. Semua mata memandang Meiling.
“Cie…?”, ujar Meiling pelan. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Meli segera
duduk diranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut dan memandang adiknya dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Cie ?”, tanya Meiling lagi. Kali ini nadanya bergetar. Tak lama kemudian meleleh air
matanya. Soleh dan Rahmat memandang Meiling dengan tegang, begitu juga dengan Didik.
Lalu Meiling segera membalikkan badan dan hendak keluar kamar. Namun Didik dengan cepat
memegang lengannya dan menariknya dengan keras sehingga dia jatuh ke lantai.
“Me…Meme. Didik, kamu jangan apa-apakan memeku ya. Awas kamu ya !”, teriak Meli
dengan keras. Didik diam saja, pandangannya tajam kearah Meiling.
“Cie…”, tangis Meiling sambil menutup kedua mata dengan tangannya. Didik berdiri pas
didepan dia, sambil bugil tentunya. Meli dengan cepat turun dari ranjang dan memeluk
adik wanitanya itu.
“Jangan kamu sentuh adikku.”, Teriak Meli dengan ketus. Meiling menangis sesenggukan.
“Didik, piye? Pengen coba adiknya pisan?”, goda Soleh. Meli memandang Soleh dengan tajam.
“Hei. Apa kamu kayak cie cie kamu juga?”, tanya Didik dengan agak keras.
Meiling tidak menjawab, dia tetap menangis sesenggukan.
“Hei. Jawab. Kamu kayak cie cie kamu juga apa nggak?”, tanya Didik lagi, lebih keras.
“Kayak apa seh…Aku ini ngga ngerti…”, teriak Meiling sambil menangis.
“Cie cie kamu kan cewek bayaran. Kami lagi pake dia.”, sahut Soleh enteng.
Ucapan Soleh itu membuat jantung Meiling seakan berhenti berdetak. Dia memandang
kakaknya,
hendak meminta jawaban, sekaligus kebenaran. Kedua bersaudara itu saling berpandangan
sesaat. Tanpa menjawab, Meli kembali memeluk adiknya sambil menangis.
“Tuh. Kami nggak memperkosa kakak kamu. Jadi kamu ga boleh marah sama kita.”, ujar Didik
yang kemudian diiyakan dengan cepat oleh Rahmat dan Soleh.
“Nah, kamu kayak kakak kamu apa nggak?”, ujar Didik lagi, sekarang nadanya lebih lembut.
Meiling menggeleng dengan lemah. Wong memang dia ini gadis baik-baik kok. Saya tau betul.
Didik lalu menarik Meli dan mendorongnya ke ranjang. Soleh segera mendekapnya sambil
menciuminya. Meli berusaha meronta, tetapi Didik mengancam akan menyakiti adiknya kalo
dia terus melawan. Akhirnya dia diam saja. Soleh tentu segera “bekerja” lagi, dia kembali
menciumi leher Meli dan meremasi kedua payudaranya dengan gemas.
Meiling merasa muak melihat pemandangan itu dan dia membuang muka. Hatinya hancur. Kakak
perempuan yang selama ini dia sayangi ternyata seorang pelacur. Hm…
“Apa kamu masih perawan?”, tanya Didik dengan tegas. Meiling memandang lelaki itu dengan
jijik sambil berkata, “Apa urusanmu?”.
BRAK !
Tiba-tiba Didik dengan keras menghantamkan tinjunya ke kursi sehingga membuat kaget
seluruh isi kamar. Soleh pun sampai menghentikan cumbuannya ke Meli.
“Jawab ! Apa kamu masih perawan?”, tanya Didik lagi dengan keras.
Dengan menangis, Meiling menganggukkan kepala. Yah. Dia memang gadis baek-baek, Dik.
“Wo..Sip, Dik. Entuk perawan amoy malam iki.”, celutuk Soleh ringan, disambut tawa
Rahman.
Meli berusaha berontak tetapi pelukan Soleh terlalu kuat.
Melihat jawaban Meiling, Didik lalu berkata, “Ya udah. Kamu keluar sana. Tapi jangan
bilang sama papa kamu apa yang kamu liat malam ini. Ngerti?”. Meli langsung menatap Didik
seakang tidak percaya. Tidak hanya dia, tetapi semua orang menatapnya dengan tidak
percaya. Meiling segera bangun dari duduknya. Dia memberesi buku-buku kalkulus yang tadi
berserakan sambil menangis sesenggukan.
Soleh segera protes, “Lho…kok dilepas, Dik? ono perawan dilepas. kon iki gob…”.
Belum selesai berbicara, Didik menjawabnya dengan keras, “Hei. Kita ini mungkin brengsek,
tetapi bukan Bajingan. Ngerti? Aku ga mau merusak gadis baek-baek. Inget, sampeyan juga
dhuwe anak perempuan neng deso. Gelem ta anak sampeyan diperkosa?”. Soleh langsung diam.
Ucapan Didik tadi benar-benar Skak-mat.
“Udah, kamu keluar saja. Ingat, jangan bilang papa kamu. Ngerti?”, ujar Didik.
Meiling hanya mengangguk lalu dengan cepat keluar kamar. Dia lalu duduk di kursi sofa
ruang tamu atas sambil menangis, dia menunggu kakaknya.
Didalam kamar, terlihat Soleh sudah mulai menyetubuhi Meli, menuntaskan apa yang tadi
tertunda sesaat. Meli diam saja membiarkan tubuhnya dinikmati oleh pegawai papanya. Dia
merasa sangat lega, adik perempuannya aman dari serangan, setidaknya untuk saat ini.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar Meli terbuka. Meiling melihat ketiga lelaki tersebut
keluar dari sana, Soleh, Didik dan Rahmat. Soleh keluar ruangan sambil menjilati jari
tengahnya, yang dipenuhi lendir.
“Lho, kok masih disini mbak?”, sapa Didik. Meiling diam saja sambil membuang muka.
Didik lalu duduk disebelah Meiling. Merasa jijik, Meiling segera memposisikan duduknya
agar menjauh. Soleh dan Rahman tertawa kecil. “Dik, jok sampeyan badhok dhewe yo.
Bagi2.”. Keduanya pun segera turun tangga, meninggalkan Dik dan Meiling sendirian di
lantai atas.
Merasa tidak nyaman, Meiling segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar
Meli. Didik menghela napas.
“Mbak, jaga baek-baek tuh perawan. Jangan diumbar kayak cie cie kamu.”. Meiling lalu
menghentikan langkahnya dan memandang Didik dengan tajam.
“Maksudmu?”
“Ya nggak ada.”, ujar Didik sambil berdiri lalu menuju tangga.
“Jangan jadi pelacur kayak cie cie kamu. Cari lelaki yang baik dan jadikan suami. OK?”.
Meiling hanya diam saja, memandang Didik yang langsung turun tangga.
Setelah itu, dia masuk kedalam kamar dan melihat Meli, yang masih bugil, sedang menangis.
Dia lalu mendekat dengan perasaan haru. Dibelainya kepala kakak perempuannya itu. Tak
terasa, dia ikut hanyut dalam suasana haru dan dia meneteskan air matanya. Mereka berdua
lalu menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar