Rumah Baru KisahBB

Setelah 2x ga diterima di Wordpress sehubungan penjualan DVD, Shusaku akhirnya memutuskan memindahkan blog cerita seru KisahBB kesayangan kita ke sini.

kirim cerita karya anda atau orderan DVD ke:


Order via email: mr_shusaku@yahoo.com


tuliskan: nama, alamat jelas, nomor HP, dan list barang yang diinginkan di email pemesanan


email akan segera saya balas dengan rincian harga & no ac bank bca/mandiri unk transfer. barang akan dikirim dengan tiki/pos setelah konfirmasi transfer diterima.

Promo diskon gede-gedean

Paket istimewa 500rb (50dvd),

untuk dalam Pulau Jawa free ongkos kirim, untuk luar Pulau Jawa tergantung daerah.

Harga normal Rp 15rb/dvd kalau beli banyak Rp.12.500/dvd, untuk paket kali ini jatuhnya Rp. 10rb/dvd, murah banget!!


Tapi ini terbatas hanya untuk 10 orang saja.

jadi silakan order, bisa dilihat list barang di

- list semi & softcore

- list western xxx

- list jav


untuk pemesanan email ke mr_shusaku@yahoo.com

Subject: paket istimewa 500rb

tuliskan: nama, alamat jelas, nomor HP, dan list barang yang diinginkan di email pemesanan

email akan segera saya balas dengan rincian harga & no ac bank bca/mandiri unk transfer. barang akan dikirim dengan tiki/pos setelah konfirmasi transfer diterima.


-untuk pesanan di atas 50dvd, selanjutnya dihitung @Rp.10.000,-

-hanya untuk film2 satuan (JAV, western XXX, dan Semi), tidak berlaku untuk koleksi pics & kompilasi

Jumat, 02 September 2011

Seks Cewek Pengantin: Dendam Erny, Derita Vivi 1

“Apa artinya ini Mas?!!” terdengar suara teriakan wanita bernada keras menggema di ruang tamu sebuah rumah mewah.

“Ya, saya harap kamu mengerti dengan pilihan saya ini.” Tutur seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk diruang tamu itu bersama seorang wanita dengan kemarahan yang terpancar jelas diraut wajahnya.

“Bagaimana dengan pernikahan kita selama ini Mas?! Bagaimana dengan Joanna dan Jonny?! Apa Mas tidak kasihan dengan mereka?! Mereka itu anak-anak kita, Mas?!” sahut wanita itu berusaha memberi pengertian bagi suaminya itu.

“Bukan begitu, Erny. Saya minta pengertianmu tentang perasaan saya. Sudah lama saya merasa tertarik dengan Vivi, lagipula dia cukup akrab dengan anak-anak kan? Pastinya tidak ada masalah kalau saya menikahinya”

“Jadi, maksudnya selama ini saya dimadu? Begitu?! Teganya kamu... Mas Johan... Teganya kalian!”” Erny berteriak penuh kemarahan.

“Bukan, bukan begitu! Saya merasa dengan kehadiran Vivi, keluarga kita akan semakin lengkap. Bukannya kalian juga berteman baik dari dulu? Seharusnya kamu mendukung pernikahan kami!” jelas Johan berusaha untuk menenangkan amarah Erny.

“Enak saja! Alasan apa itu?! Bagaimana dengan perasaan saya?! Saya sudah mendukung Mas selama 10 tahun sejak kita menikah! Dari saat Mas Johan masih bekerja sebagai pegawai rendahan sampai jadi manajer seperti sekarang!! Ini balasan Mas Johan untuk kesetiaan saya selama ini?!”

“Bukan begitu! Saya hanya minta agar kamu mengerti dengan perasaan saya ini! Apakah itu susah sekali?! Lagipula wanita yang saya pilih bukan orang asing! Kalian juga sudah mengenal Vivi dari dulu! Vivi itu wanita baik-baik! Kamu sebagai seorang istri seharusnya bangga karena suamimu ini masih pengertian dengan kalian! Laki-laki lain pasti sudah menceraikan istri yang tidak mau menuruti suami seperti kamu!” Bentak Johan dengan nada marah karena kehilangan kesabaran.


Vivi

Malam itu benar-benar malam yang terburuk bagi Erny dalam kehidupan rumah tangganya dengan suaminya, Johan. Bagaimana tidak, setelah 10 tahun membina rumah tangga bersama, Erny tidak pernah menyangka bahwa suaminya itu telah berselingkuh dengan seorang wanita yang tak lain adalah sahabat masa kecil Erny, Vivi. Memang banyak rumor yang beredar kalau Johan berselingkuh dengan seorang wanita muda, namun Erny menaruh kepercayaan penuh pada Johan dan tidak menghiraukan rumor itu sama sekali. Namun semua kesetiaan Erny terbukti keliru dengan pernyataan Johan malam itu yang memberitahu rencana pernikahannya secara mendadak pada Erny. Erny masih tidak percaya bahwa suaminya, Johan, memang telah berselingkuh dan lagi mengakui cintanya terhadap wanita lain itu. Fakta bahwa wanita yang hendak dinikahi oleh Johan itu adalah sahabat karib Erny sendiri kian membuat hati Erny membara dan hancur.

“Kalau begitu... Mas Johan boleh memilih! Kalau Mas menikahi Vivi, saya dan anak-anak akan angkat kaki!” ancam Erny.

Di lubuk hatinya yang terdalam, Erny berharap agar ancamannya ini dapat mengurungkan niat Johan untuk menikah lagi dan sekaligus untuk menguji apakah masih ada rasa cinta Johan padanya.

“Kalau begitu, kamu juga boleh memilih! Hidup bersama saya dan Vivi atau silahkan kamu bawa semua barang-barangmu dan keluar dari sini! Saya tidak akan berhubungan lagi denganmu! Lagipula Joanna lebih suka dengan Vivi dibandingkan kamu!” Johan kembali membentak Erny dengan nada keras.

Jawaban Johan yang disampaikan lewat bentakan itu langsung menghancurkan hati Erny berkeping-keping. Pikiran Erny berkecamuk dalam hatinya. Memang, kalau dibandingkan dengan Erny yang sudah berusia 30 tahun, Vivi yang masih berusia 23 tahun sangat berbeda jauh. Bukan hanya lewat perbedaan umur saja, namun Vivi yang memang berparas amat cantik itu bisa dikatakan mengalahkan Erny diberbagai bidang. Jelas, tubuh indah milik Vivi yang langsing dan padat dengan tinggi 162 cm yang proporsional amat kontras dengan tubuh Erny yang gemuk sehabis melahirkan Jonny, anak keduanya dengan Johan. Terlebih lagi, dengan sikap Vivi yang feminin dan baik hati itu terkadang membuatnya lebih disukai dibandingkan Erny oleh Joanna, anak pertama Erny yang baru berusia 6 tahun.

Walaupun sikap Joanna itu kadang melukai perasaan Erny sebagai seorang ibu, Erny tidak begitu menggubris sikap Joanna pada Vivi, mengingat persahabatan Erny dan Vivi sejak kecil. Ya, pada waktu mereka masih kecil, Vivi adalah tetangga Erny, karena perbedaan usia mereka itulah, Erny sering merawat Vivi yang saat itu masih bayi, bahkan Erny sudah menganggap Vivi seperti adiknya sendiri. Ia turut menyaksikan pertumbuhan Vivi dari seorang anak kecil menjadi seorang wanita muda yang amat cantik. Hati Erny kian tersayat-sayat mengingat bagaimana ia merawat Vivi dulu layaknya seorang kakak pada adiknya; ironisnya, sahabatnya itu kini justru akan merebut suaminya sendiri dari tangannya. Betapa kejinya balasan yang ditimpakan Vivi padanya, pikir Erny.

“Saya akan memberimu waktu untuk berpikir, toh pernikahan kami baru dilaksanakan bulan depan. Tapi ingat, saya tidak akan merubah pikiran saya. Keputusan saya sudah bulat dan saya akan tetap menikahi Vivi, terserah apa kamu suka atau tidak!” tegas Johan seraya berlalu masuk ke dalam kamar.

Seketika itu pula Erny ambruk ke lantai dan menangis tersedu-sedu menyadari bahwa cintanya telah dikhianati oleh Johan. Untunglah Joanna sedang menginap di rumah teman sekelasnya, sehingga anak itu tidak perlu menyaksikan pertengkaran orang tuanya itu, sementara Jonny masih terlalu kecil untuk mengerti pokok permasalahan Erny dan Johan. Erny berpikir dengan keras, bisa saja ia meninggalkan rumah itu, namun itu berarti bahwa ia harus menyerahkan kedua anaknya pada Vivi, dan itu tidak lebih dari pengibaran bendera kekalahannya dalam mempertahankan rumah tangganya. Erny berusaha tegar, ia tidak akan menyerah semudah itu. Ia memikirkan masa depan Joanna dan Jonny yang entah bagaimana nasibnya apabila ditinggal olehnya ditangan Vivi. Namun apabila ia bertahan, itu berarti dia harus rela dimadu seumur hidupnya oleh Johan, sesuatu yang tentu saja tidak diinginkan oleh seorang istri yang setia sepertinya. Mata Erny kian berat, ujian ini begitu sulit baginya, bagaimana rumah tangganya kini terancam hancur karena ulah seorang sahabatnya sendiri, bagaimana nasib anak-anaknya kelak dan bagaimana ia harus melewati hari-hari dengan adanya istri kedua Johan itu.

“AARGHH!!!” PRAANG... Erny mengamuk dan dilemparkannya asbak kaca yang berada dimeja disampingnya ke lantai hingga asbak itu pecah berkeping-keping. Kembali Erny terlarut dalam kesedihannya, saat terbayang masa-masanya bersama Johan dan pertemanannya dengan Vivi, Erny tak kuasa menahan amarahnya lagi. Kini dendamnya membara kepada sahabat yang mengkhianatinya itu.

“Kalau saja dia tidak pernah ada... kalau saja kami tidak pernah berteman... KALAU SAJA AKU BISA MEMBUATNYA MENDERITA!!” demikian gemuruh hati Erny pada Vivi.

Tidak ada lagi perasaannya sebagai seorang sahabat bagi Vivi, yang ada kini hanyalah dendam yang mendalam sebagai seorang wanita yang disakiti dan seorang sahabat yang dikhianati. Erny sadar bahwa untuk membalas dendamnya pada Vivi, ia perlu menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Erny berusaha keras mendinginkan kepalanya yang terbakar oleh amarah dan dendam sambil berusaha berpikir bagaimana caranya untuk memberi pelajaran bagi Vivi. Membunuh Vivi tentu saja merupakan jalan pintas, namun Erny berpikir apabila hal itu dilakukan, sudah pasti dirinyalah yang pertama kali dijadikan tersangka karena motifnya amat gampang dibaca apalagi menyewa orang untuk membunuh tentunya tidak mudah dan bisa saja menguras banyak biaya. Lagipula Erny lebih menginginkan agar Vivi sengsara dan menderita. Melukai atau menyiksa Vivi hingga cacat? Itu mungkin ide yang efektif, namun pastinya akan membuat Erny meringkuk ditahanan polisi apabila Johan sampai tahu tentang hal itu. Bisa saja Vivi yang dilukai akan membalas dendamnya pada Joanna atau Jonny. Kepala Erny kini malah semakin pusing dengan rencananya itu, ia sama sekali tidak bisa menemukan cara yang efektif. Dalam keputusasaannya, Erny mengambil handphonenya dan beranjak keluar dari rumahnya. Erny segera menelepon menghubungi kakaknya, Marny.

“Halo, ada apa, Er?” tanya Marny.

“Kak... tolong bantu saya Kak... Saya sudah tidak tahan...” pinta Erny dengan suara tersedu-sedu. Tentu saja Marny sontak terkejut mendengar suara adiknya itu.

“Lho? Ada apa, Er? Kamu kenapa?!”

“Kak... saya... saya...” Erny kembali terisak menahan tangisnya.

“Sudah, sudah... Er, tenangkan diri dulu ya? Ceritakan apa yang terjadi.” Ujar Marny menenangkan Erny.

Mendengar suara Marny, Erny kembali berusaha untuk mengendalikan diri. Setelah memastikan kalau perasaannya sudah tenang, Erny pun mulai menceritakan duduk persoalan rumah tangganya pada kakaknya itu. Mendengar nasib adiknya itu, sontak Marny naik darah dan emosi, apalagi saat mendengar bahwa Johan hendak mengusir Erny.

“Jadi, rupanya si Vivi itu selingkuhannya Johan?! Mereka mau menikah?!” tanya Marny dengan emosi.

“I... iya Kak...”

“Apa-apaan si Vivi itu?! Bukannya dia itu teman baikmu, Er? Tega sekali dia!! Kakak tidak menyangka kalau dia wanita seperti itu!”

“Makanya kak... Erny sudah tidak tahan... Erny juga tidak sampai pikir kalau Vivi rupanya seperti itu...” ujar Erny terbata-bata.

“Terus, bagaimana rencana kamu?”

“Erny mau balas dendam Kak. Erny tidak rela kalau Vivi yang menikmati semua ini tanpa penderitaan.” Tutur Erny.

“Baguslah, Kakak dukung kalau begitu! Terus, kamu mau apakan si Vivi itu?!” tanya Marny.

“Erny bingung... kak... Kita tidak bisa membunuh atau melukai Vivi... kita bisa dipenjara...”

“Aduuh! Kamu kepikirannya kejauhan! Bukannya ada cara yang lebih gampang?!” gerutu Marny.

“Apa Kak?” tanya Erny bingung.

“Makanya Er, tenangkan diri dulu lain kali.” Jawab Marny.

“Bukannya gampang? Daripada dibunuh atau dilukai begitu, lebih baik kalau kita melukai mental si Vivi saja!” lanjut Marny.

“Maksudnya?”

“Er, suruh saja orang buat memperkosa si Vivi sebelum dia menikah!” cetus Marny.

Pernyataan kakaknya itu seolah seberkas cahaya yang menghapus kebingungan hati Erny. Benar-benar sebuah ide yang luar biasa! Membuat Vivi diperkosa sebelum menikah dengan Johan!

“Mengapa tidak? Tentu saja! Itu cara yang paling baik untuk menaklukkan Vivi!” pikir Erny. Dengan diperkosanya Vivi, tentu saja akan memberi luka mendalam bagi Vivi sementara membuat Johan berpikir bahwa Vivi bukan seorang wanita yang baik-baik karena sudah tidak perawan sebelum menikah. Benar-benar sambil menyelam minum air! Lagipula dengan trauma pemerkosaan itu, pastilah mental Vivi akan goyah dan gampang diintimidasi oleh Erny. Erny yang kenal baik dengan Vivi tahu betul bahwa kepribadian Vivi yang feminin dan agak penakut itu akan membuatnya gampang dikontrol dibawah kendali Erny.

“Benar Kak! Ide kakak bagus sekali! Tapi bagaimana cara melaksanakannyaKak?”

“Tenang sajalah! Kakak yakin kalau banyak laki-laki yang mau kalau kamu bayar untuk memperkosa si Vivi, lagipula si Vivi kan cantik? Malah lebih gampang untuk mencari ‘sukarelawan’?” papar Marny.

“Kalau kamu mau, Kakak bisa mencarikan beberapa orang.” Lanjutnya. Marny lalu memberikan sedikit nasihat untuk Erny dalam merencanakan perangkap itu.

“Boleh Kak! Tolong kakak carikan orang-orang yang bisa dipakai buat si Vivi!” Pinta Erny yang kini tampak ceria, kontras dengan raut wajahnya sebelum menelepon Marny.

“Ya sudah kalau begitu. Jangan sedih lagi ya? Ingat, kalau besok Johan bertanya lagi, jawab saja kalau kamu setuju. Supaya rencana kita bisa berjalan.”

“Iya Kak. Terima Kasih Kak!”

“Iya, kakak tutup dulu ya? Besok kakak akan menyuruh orang-orang yang kakak pilih ke rumahmu waktu Johan ke kantor. Kamu siapkan saja tawaran buat mereka.”

“Baik, Kak.”

“Daah, malam ya, Er.”ujar Marny sambil menutup teleponnya

Erny tersenyum sekilas, ide brilian itu amat efisien dan mudah untuk dilaksanakan, sekarang hanya tinggal mempersiapkan semua keperluan agar rencana itu bisa berjalan lancar. Erny segera bangkit sambil tertawa-tawa kecil membayangkan rencananya itu. Erny segera pergi tidur dengan perasaan tidak sabar untuk menunggu kedatangan esok hari. Pagi harinya, Erny bangun dengan perasaan lega. Erny meregangkan tubuhnya dan menghela nafas sejenak sebelum turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar itu. Erny lalu pergi menuju ke dapur, dilihatnya Johan sudah berpakaian lengkap, siap untuk pergi ke kantornya. Johan sedang duduk dimeja makan sambil membaca koran pagi dan menyeruput secangkir kopi hangat. Erny lalu mendudukkan dirinya di hadapan Johan. Sesaat hawa dingin yang terasa cukup menekan karena mereka berdua saling terdiam tanpa bicara sebelum akhirnya Johan mulai angkat bicara.

“Er, bagaimana keputusan kamu soal pernikahan kami?” tanya Johan langsung ke pokok permasalahan.

Begitu mendengar pertanyaan Johan itu, segera darah Erny kembali naik ke ubun-ubun melihat bagaimana suaminya itu tergila-gila pada Vivi. Erny nyaris mengamuk kembali, namun ia teringat nasihat Marny semalam. Erny pun berusaha menjaga emosinya dan bersikap seolah ia pasrah dengan pernikahan Johan itu. Bagaimanapun agar rencana ini berhasil, upacara pernikahan Vivi dan Johan harus tetap berlangsung.

“Sudahlah Mas, kalau itu memang keinginan Mas Johan, saya sebagai istri hanya bisa ikut saja.” Tutur Erny dengan nada lirih yang dibuat-buat.

Johan langsung tersenyum sumringah begitu mendengar perkataan Erny itu. Johan sedikit kebingungan dengan sikap Erny yang berubah drastis 180 derajat dibandingkan kemarin.

“Kamu... kamu yakin, Er?!” tanya Johan keheranan.

“Iya Mas. Kemarin saya sudah bicara dan dinasehati Kak Marny. Memang sebagai istri kita harus membuat suami kita bahagia. Karena saya mau Mas Johan bahagia, saya rela kalau Mas mau memperistri Vivi. Lagipula perkataan Mas Johan kemarin memang benar, Vivi bukan orang asing bagi kita, saya kenal baik dengan Vivi, makanya saya setuju.” Kilah Erny.

“Er, saya benar-benar bahagia, akhirnya kamu mau mengerti juga perasaan saya!” Johan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya lagi.

“Tapi Mas Johan harus berjanji kalau Mas bisa membagi kasih sayang dengan kami dengan seimbang. Terus, jangan lupakan anak-anak.”

“Iya, pasti! Kamu kan juga istri saya? Bagaimana mungkin saya melupakan kamu?” ujar Johan.

Erny lega, setidaknya Johan dapat masuk perangkap lebih mudah dari yang ia bayangkan. Sekarang ia perlu mengatur agar ia ikut terlibat dalam acara pernikahan Vivi itu.

“Mas Johan, kalau boleh saya juga mau ikut membantu acara pernikahan Mas dengan Vivi.” Pinta Erny.

“Boleh saja. Tapi kenapa kamu juga mau ikut membantu? Sebenarnya kita sudah merencanakan kalau kamu tidak perlu ikut. Si Vivi katanya tidak enak kalau kamu ikut repot, makanya dia mau berusaha sendiri.” Tanya Johan agak penasaran.

“Sudah, tenang saja Mas. Bagaimanapun, Vivi itu teman dekat saya, Mas tahu sendiri kalau saya hampir menganggap Vivi sebagai adik saya sendiri. Tentu saja saya harus ikut membantu.” Dalih Erny.

“Kamu tidak repot nantinya?” tanya Johan. Erny hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Syukurlah! Er, saya benar-benar senang punya istri yang pengertian seperti kamu!” puji Johan.

“Begini, kalau bisa, mungkin kamu bisa membantu Vivi untuk mempersiapkan dirinya. Kamu kan sudah pernah menikah, mungkin kamu bisa mengajari Vivi atau membantunya mempersiapkan diri.”

“Mas bagaimana? Mas tidak mau ikut mempersiapkan Vivi?” tanya Erny.

“Sebenarnya tadinya saya mau, tapi sepertinya tidak bisa. Kebetulan direktur cabang kami, Pak Anton sedang cuti. Saya harus menyelesaikan tugas-tugas sebelum beliau selesai cuti. Makanya untung kamu bisa mengerti.” jelas Johan.

“Lho? Mbak Sasha bagaimana? Bukannya dia bisa membantu?”

“Kebetulan Sasha juga ambil cuti. Saya belum tahu kapan mereka kembali, makanya, kamu bisa membantu kan?” tanya Johan penuh pengharapan.

“Beres, Mas. Saya akan membantu sebisa mungkin!” jawab Erny mantap.

“Bagus! Terima kasih ya, Er! Saya serahkan semua ke kamu!” jawab Johan dengan ceria.

Dalam hatinya, Erny jauh lebih ceria dari Johan; sekarang sebagian besar kendali berada ditangannya. Erny tertawa-tawa dalam hati melihat bagaimana gampangnya rencananya berjalan dan bagaimana semua situasi yang seolah mendukungnya. Johan pun segera berangkat ke kantor setelah sarapan pagi, tanpa menyadari rencana jahat istrinya terhadap Vivi. Sementara Erny tidak sabar lagi menunggu para ‘sukarelawan’ yang akan dikirim Marny. Beberapa jam kemudian, pintu rumah Erny diketok dengan keras. Erny segera beranjak keruang tamu untuk membukakan pintu pada tamu yang hendak berkunjung itu. Begitu pintu rumah dibuka, Erny terperangah sedikit melihat 3 orang lelaki berkulit gelap di depan beranda rumahnya. Salah satu lelaki itu tampak kekar dan beringas dengan rambut gondrong seperti preman. Lelaki yang kedua berpostur kurus dengan gigi tonggos dan sebuah tompel di pipinya. Lelaki yang terakhir berpostur gemuk dengan perut yang tambun. Ketiganya langsung mendelik melihat Erny yang membuka pintu.

“Kamu yang namanya Erny?!” tanya lelaki berpostur kekar dengan nada yang keras.

“I... iya!” jawab Erny tergagap melihat ketiga lelaki itu. Erny merasa agak takut melihat penampilan ketiga pria itu.

“Kami dengar dari Bu Marny kalau ada lowongan kerja, benar bu?!” tanya lelaki ketiga yang gemuk itu.

“Iya, benar.” Jawab Erny, ia sebenarnya ingin mempersilahkan ketiga pria ini untuk masuk ke dalam rumahnya, namun ia cemas karena bisa saja nanti malah dirinya yang dirampok atau diperkosa ketiga pria beringas ini.

Entah bagaimana, seolah bisa membaca pikiran Marny, lelaki kekar itu langsung angkat bicara.

“Kenapa kita tidak diizinkan masuk? Takut dirampok, Heh?!” sindirnya.

“Oh, iya, iya. Silahkan masuk, bapak-bapak!” ujar Erny penuh keterpaksaan.

Tentu saja ia tidak mungkin menolak ketiga pria itu dengan sindiran yang dilontarkan si kekar barusan. Tanpa dipersilahkan, ketiga pria itu langsung duduk di sofa ruang tamu rumah Erny. Erny tetap berusaha untuk menjaga kesabaran dan tampak kalem atas kekurangajaran pria-pria itu.

“Nah, jadi disini kita mau disuruh apa?” tanya lelaki kekar itu tidak sabaran.

“Iya, katanya ada kerjaan yang bagus nih!” imbuh lelaki yang gemuk.

“Begini bapak-bapak...”

“Namaku Iqbal, ini Aziz, dan yang gemuk itu Yono!” ujar pria kekar yang rupanya bernama Iqbal itu dengan keras memperkenalkan diri mereka. Erny langsung dapat mengenali ketiga orang itu dengan singkat lewat perkenalan itu karena perbedaan dan ciri khas ketiga orang itu. Si kekar bernama Iqbal, si tompel bernama Aziz dan si gendut bernama Yono.

“Lalu, kerjaan apa yang mau dilakukan?” tanya Aziz.

“Begini, bapak-bapak. Saya mau menyewa anda sekalian untuk memberi pelajaran pada seseorang.” Papar Erny.

“Oh begitu, siapa orangnya?! Mau diapakan? Dipukul atau dibunuh, heh?!” jawab Iqbal dengan nada bersemangat.

Erny tidak segera merespon reaksi Iqbal, ia hanya membuka sebuah album foto dan mengeluarkan selembar foto Vivi dari album itu dan melemparkannya kehadapan ketiga pria itu.

“Ini orangnya, target anda, namanya Vivianny, panggilannya Vivi.” Ujar Erny.

“Hah?! Cewek?” Iqbal terkejut begitu melihat foto Vivi.

“Wuiih, cakep juga nih cewek! Mukanya mirip artis.” gumam Aziz.

“Badannya juga oke, hehe... sayang kalau dibunuh nih, mendingan dientot aja, pasti enak, hehehe...” celetuk Yono.

“Ya, memang itu yang saya minta pada anda sekalian, Pak Yono.” Tutur Erny.

Seketika itu pula, raut wajah ketiga pria itu berubah dari bengis ke senyum yang memuakkan.

“Yang benar, bu?” tanya Yono setengah tidak percaya.

“Ya, untuk ini anda akan saya bayar 4 juta masing-masing.” Jawab Erny.

“Lumayan juga nih.” Gumam Iqbal.

“Wuiih, enaak, udah dapat cewek, dibayarin lagi.” celoteh Aziz

“Silahkan bapak-bapak perlakukan Vivi sesuka anda. Tapi, jangan sampai dia dibunuh. Saya mau dia tetap hidup supaya dia sengsara.”

“Weleh, weleh, kenapa begitu bu? Kalau dibunuh bukannya lebih gampang?” tanya Yono.

“Tidak! Si Vivi ini berniat merebut suami saya, lebih baik kalau dia diperkosa dulu, supaya dia tahu derajatnya! Nantinya dia bakal lebih gampang diatur dirumah ini!” jawab Erny.

“Ooh, gituu... Kalau begitu kapan kami beraksi Bu?” tanya Aziz.

“Bulan depan, rencananya suami saya dan Vivi bakal melangsungkan pernikahan mereka. Saya akan mengatur agar anda sekalian ikut ditugaskan dalam acara pernikahan ini supaya kita bisa lebih gampang menculik si Vivi.” Papar Erny serius.

“Lalu kamu sendiri?” tanya Iqbal dengan raut serius.

“Saya akan ikut menjemput si Vivi bersama anda agar ia tidak curiga.” Jawab Erny.

“Begitu semuanya selesai, uang anda akan saya bayarkan.” Lanjut Erny.

“Wuiih, sip banget! Aku ikut, Bu!” Jawab Aziz tanpa basa-basi.

“Aku juga mau.” Susul Yono.

“Oke, kalau begitu aku ikut juga!” imbuh Iqbal.

“Bagus, kalau begitu saya akan menghubungi anda sekalian untuk rencana selanjutnya. Mohon agar hal ini dirahasiakan dari siapa saja!” pinta Erny.

“Berees, bu! Tenang saja, kita bakal diam kayak patung!” ujar Yono.

“Hehe... pasti Bu! Yang penting saya dapat jatahnya Non Vivi.” Aziz menimpali.

“Ya sudah kalau begitu. Nanti anda akan akan saya kabari, untuk hari ini cukup sekian.” Tutup Erny.

Ketiga orang itu pun pergi keluar dengan raut wajah puas. Erny tidak bisa menyembunyikan kegirangannya lagi, ia pun tertawa puas melihat segalanya berjalan lancar seperti keinginannya. Sekarang ia hanya tinggal mengatur skenario saja agar ia terhindar dari tuduhan. Hari demi hari pun berlalu, Erny tetap menjaga sikap dan memainkan perannya sebagai seorang istri yang pasrah dan penurut; Sambil terus menghubungi Marny dan menyusun skenario dan rencana mereka sedetil mungkin. Johan yang terlalu fokus pada Vivi sama sekali tidak memperhatikan tingkah Erny apalagi Marny. Rencana kedua kakak-beradik itu pun semakin matang dan siap untuk dilaksanakan. Vivi, yang awalnya agak canggung dengan sikap Erny yang bersedia menerima kehadirannya, walaupun Vivi sudah berdusta padanya, akhirnya bersedia menerima “kebaikan” hati Erny untuk membantunya dalam melaksanakan pernikahan itu. Erny mempersiapkan hampir semuanya, mulai dari gaun pengantin Vivi, bridal studio dan resepsi acara itu. Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu tiba. Subuh jam 4 pagi, pintu rumah rumah Johan dan Erny diketuk. Johan membuka pintu dan ia tersenyum lebar saat melihat Vivi datang untuk persiapan pernikahannya.

“Wah, datangnya pagi sekali!” canda Johan.

“Iya. Katanya periasnya datang jam 5 pagi ya, Mas?” tanya Vivi.

“Kalau sudah tahu kok datangnya pagi banget? Nggak sabaran jadi pengantin nih?” kembali Johan menggoda Vivi.

“Soalnya saya mau memastikan kalau persiapannya sudah beres. Kata Kak Erny, semuanya sudah disiapkan ya, Mas?” tanya Vivi.

“Sudah, kamu tenang saja. Semuanya ada di kamar Erny kok. Ayo, ikut!” ujar Johan sambil menggandeng Vivi masuk menuju kamar Erny.

Sesampainya di kamar, Vivi takjub melihat persiapan yang disiapkan oleh Erny. Bagaimana tidak, sehelai gaun pengantin putih yang indah milik Vivi sudah tergantung dengan rapi dan semua aksesoris yang diperlukan telah tertata diatas ranjang Erny. Kosmetik-kosmetik mahal khusus untuk Vivi telah dibelikan oleh Erny dan tersusun diatas sebuah meja rias.

“Wah...” Vivi bergumam kagum melihat persiapan Erny itu.

“Bagaimana? Si Erny sampai lembur lho untuk mempersiapkan ini semua.” Ujar Johan.

“Bagus sekali... Oh iya, Kak Erny sekarang ada dimana, Mas?” tanya Vivi penasaran. Memang, dari tadi ia tidak melihat atau bertemu dengan Erny sejak pertama kali ia menginjakkan kakiknya dirumah itu.

“Wah, Erny kemarin malam tiba-tiba ada urusan keluarga yang mendadak, makanya dia tiba-tiba pulang ke rumah orangtuanya. Katanya dia tidak bisa hadir di acara hari ini”

“Eh? Kenapa saya tidak diberitahu?” tanya Vivi terkejut mendengar berita itu.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Yang penting kan kita berdua.”

“Bukan begitu! Saya juga mau Kak Erny ikut dalam acara hari ini. Kak Erny sudah banyak membantu saya dari kecil, jadi mana mungkin saya melupakan jasanya!”

“Aah, jangan dipikirkan, Vi! Yang penting semua persiapannya beres.” Ujar Johan

“Kok Mas Johan begitu sih? Bukannya Kak Erny itu juga istri Mas?” gerutu Vivi.

“Katanya kalau saya mau menerima lamaran Mas Johan, Kak Erny tidak akan diacuhkan?” ujar Vivi mengingatkan Johan akan janjinya saat melamar gadis itu. Memang Vivi bersikeras agar Johan tidak melupakan Erny apabila Vivi menjadi istrinya.Ya, pada awalnya memang Johan yang tergila-gila pada Vivi dan berulangkali mengutarakan cintanya pada Vivi. Vivi yang sebenarnya tahu diri dan tidak ingin mengkhianati sahabatnya, selalu menolak Johan; walaupun Vivi juga lebih memilih untuk tidak memberitahu Erny akan sikap suaminya itu untuk menjaga keutuhan rumah tangga Erny. Ironisnya, Vivi sama sekali tidak tahu kalau keputusannya untuk diam itu malah menimbulkan kesalahpahaman Erny. Namun, walaupun Vivi selalu berusaha mengelak, pertahanannya akhirnya terpaksa runtuh saat Johan mengancam akan menceraikan Erny untuk mengejar cinta Vivi apabila Vivi menolak menerima pinangannya. Dengan penuh keterpaksaan, Vivi pun menerima pinangan Johan demi menjaga kelangsungan rumah tangga Erny, dengan syarat bahwa Johan tidak akan meninggalkan Erny ataupun keluarga pertamanya.

“Ya sudah, kalau begitu nanti kita akan mengajak Erny pergi bareng waktu bulan madu, bagaimana?!” bujuk Johan.

“Yang benar, Mas?” wajah Vivi mulai tampak ceria kembali mendengar tawaran calon suaminya itu.

“Iya, iya. Saya janji. Nah, kamu jangan ngambek lagi ya?”

“Ya sudah deh kalau begitu. Nanti boleh kan kalau saya menelepon Kak Erny? Saya harus mengucapkan terima kasih!” tanya Vivi.

“Boleh! Vi, kenapa sih kamu itu segan banget dengan si Erny? Bukannya dia itu cuma kenalanmu saja?” tanya Johan penasaran sambil menggerutu.

“Bukan cuma kenalan Mas...” Ujar Vivi sambil tersenyum.

“Kak Erny itu sudah seperti kakak kandung saya sendiri. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil dulu, Kak Erny sering merawat saya karena orangtua saya sering dikantor. Bisa dibilang kalau saya berhutang budi kepadanya. Lagipula, dia sering mengajari saya banyak hal dan menolong saya, makanya saya sangat menghormati Kak Erny.” Tutur Vivi menjelaskan perasaannya.

Johan menggumam sejenak, kalau memang demikian perasaan Vivi terhadap Erny, maka wajar saja apabila Vivi tidak pernah mau menerima pinangannya. Sebelumnya Johan hanya menganggap hubungan Erny dan Vivi hanya sebatas kenalan masa kecil semata. Ia tidak pernah tahu kalau Vivi punya perasaan sedalam itu pada Erny.

“Ooh, jadi itu alasan sebenarnya kenapa kamu menolak saya dari dulu?” tanya Johan sambil tersenyum.

“Hmm, bisa dibilang begitu sih...” gumam Vivi.

“Eh?” Vivi terkejut saat tiba-tiba Johan memeluknya dari belakang.

“Ya, ya, Vivi memang anak yang baik ya?” goda Johan sambil mengusap-usap kepala Vivi. Dibelainya pergelangan tangan Vivi yang tampak lebih putih, mulus dan wangi berkat lulur yang dipakaikan pada tubuh Vivi sebelum ia datang ke rumah Johan.

“Mas Johan, sabar dulu dong. Resepsinya kan belum mulai?” ujar Vivi dengan wajah memerah.

“Ya sudah deh, Sayang! Aku tunggu ya nanti?” tanya Johan. Vivi mengangguk kecil mengiyakan permintaan Johan itu.

“Eh, Kak Vivi? Kok sudah disini?” tiba-tiba terdengar suara anak kecil dari belakang. Rupanya Joanna terbangun dari tidurnya. Johan pun segera melepas pelukannya pada Vivi.

“Hai, Joanna.” Sapa Vivi sambil tersenyum ramah.

“Joan, kok panggilnya begitu? Bukan “Kak Vivi” lagi, tapi “Mami Vivi” tahu!” tegur Johan.

“Oh, iya. Maaf ya Kak... eh! Mami Vivi!” ujar Joanna salah tingkah.

“Hihihi... tidak apa-apa kok, Joanna. Tidak usah buru-buru, panggil saja sesuka Joanna, ya?” ujar Vivi sambil tertawa kecil.

“I... iya... Mami mau menikah hari ini kan? Boleh nggak kalau Joan melihat Mami waktu pakai gaun?” tanya Joanna penasaran.

“Boleh dong. Nah, sekarang Joanna tidur dulu ya, kan masih pagi? Joanna harus istirahat yang cukup. Nanti Mami bangunkan kalau sudah selesai ya?” bujuk Vivi.

“Iya!” ujar Joanna sambil mengangguk senang. Vivi segera menuntun Joanna kembali menuju kamarnya.

Setelah berhasil menidurkan Joanna, Vivi pun kembali pergi ke kamar Erny.

“Joanna sudah tidur?” tanya Johan.

“Sudah.” Jawab Vivi ceria.

“Baguslah. Oh iya, kamu harus mulai siap-siap, sebentar lagi penata riasnya datang.” ujar Johan sambil berlalu keluar dari kamar Erny untuk mempersiapkan diri.

“Nanti Mas Johan langsung berangkat ke tempat upacara ya?” tanya Vivi.

“Iya, kalau sudah selesai, nanti kamu langsung naik saja ke mobil pengantin. Supirnya sudah tahu tempatnya.” Jawab Johan.

“Sampai ketemu nanti ya, Sayang? Saya tunggu di altar.” lanjut Johan sambil melambaikan tangannya pada Vivi yang dibalas dengan senyuman Vivi.

“Huff...” Vivi menghela nafas sejenak saat Johan menutup pintu kamar itu. Vivi langsung merebahkan dirinya sejenak diatas ranjang Erny.

Sejenak Vivi tampak terhanyut dengan pikirannya, bagaimanapun setelah ini, ia akan tinggal serumah dengan Erny. Vivi nyaris tidak percaya kalau ia sebentar lagi akan menikah dengan Johan, hari-hari itu serasa berlalu begitu cepat. Sikap Erny yang menerimanya dengan lapang sedikit memberatkan hati Vivi; apapun alasannya Vivi masih merasa telah mengkhianati Erny dengan menerima lamaran Johan walaupun sebenarnya itu juga demi kebaikan Erny. Apakah memang pilihannya ini adalah yang terbaik? Itulah pikiran yang terngiang sejenak didalam benak Vivi. Vivi menoleh kesamping, dilihatnya gaun putih yang indah yang sebentar lagi akan dikenakannya menuju pelaminan. Vivi bangkit dari ranjang itu dan berjalan menuju gaun itu, ia tersenyum sejenak saat mengamati gaun itu. Erny telah memilihkan gaun yang amat sesuai baginya. Gaun pengantin putih berbahan satin itu tampak anggun dengan model off-shoulder yang akan menampakkan keindahan bahu Vivi. Atasan gaun Vivi tampak sederhana dengan dan dengan taburan kristal-kristal imitasi kecil yang membentuk lekuk garis-garis yang cantik yang seolah terlukis dengan indah diatas kanvas berupa gaun pengantin satin itu. Sementara bordir-bordir halus dengan sulaman renda yang indah tampak menghiasi bagian pinggang dan ujung rok gaun itu, sebuah pita putih besar menutupi zipper dibagian punggung gaun pengantin Vivi. Vivi mengambil gantungan gaun itu dan menempelkan gaun itu di tubuhnya. Dilihatnya cermin meja rias dimana pantulan bayangannya terpampang dicermin itu. Vivi memutarkan tubuhnya sejenak untuk melihat apakah gaun itu pas di tubuhnya, dan tampak jelas kalau gaun itu benar-benar sesuai untuknya. Vivi membayangkan kehidupan barunya yang akan dimulai dirumah itu. Walaupun agak canggung, dilain pihak, Vivi merasa amat senang dan bahagia karena ia akan tinggal bersama Erny, ia berharap bahwa dirinya dapat membantu Erny sebisa mungkin dan itulah salah satu sebab mengapa ia mau menerima pinangan Johan selain dari ancaman Johan itu. Bagaimana nanti ia akan tinggal bersama Johan dan Erny dengan status yang sama seperti Erny. Bagaimana dirinya dan Erny akan saling bahu-membahu dalam kegiatan rumah tangga mereka, mulai dari merawat anak, memasak ataupun melayani Johan. Perlahan perasaan galau yang sempat menyelimuti hati Vivi lenyap.

TOK... TOK... tiba-tiba pintu kamar Vivi diketuk. Vivi segera beranjak membuka pintu dan dilihatnya 2 orang wanita muda yang membawa seperangkat alat rias. Dengan ceria, Vivi mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam kamar Erny. Selama sekitar 1 jam, Vivi dirias oleh kedua penata riasnya itu. Setelah selesai, Vivi tampak kagum dengan penampilannya sebagai seorang pengantin wanita. Vivi mengenakan gaun pengantinnya yang dilengkapi dengan aksesoris-aksesoris tambahan seperti sebuah petticoat untuk menyangga rok gaun Vivi, sebuah mahkota keemasan yang menghiasi kepala Vivi dan sepasang sarung tangan putih sutra yang menyelimuti jari-jari Vivi hingga ke lengan. Rambut hitam panjang Vivi disanggul dan sebuah slayer putih bermotif bunga-bunga diselipkan pada sanggul rambut Vivi. Wajah Vivi yang dirias tampak amat mempesona. Alis mata Vivi ditebalkan sementara bulu matanya dilentikkan. Dengan sapuan ringan eye-shadow yang tampak berkilau, mata Vivi tampak berseri. Riasan bedak yang tipis dan olesan lipstik merah muda kian menekankan kecantikan alami Vivi. TOK... TOK... kembali pintu kamar itu diketuk.

“Mamii, ada om gendut yang naik mobil. Katanya mau jemput mami!” terdengar seruan Joanna dari balik pintu. “Oh, itu pasti mobil pengantinnya!” pikir Vivi.

“Iya, Joanna! Sebentar ya!” jawab Vivi sambil merapikan penampilannya terakhir kali sebelum berangkat. Setelah memastikan semuanya telah beres, Vivi segera beranjak keluar dari kamarnya; Vivi berpapasan dengan Joanna yang menunggunya. Joanna pun tampak terpana dengan penampilan Vivi.

“Waah, Mami cantik sekali!” puji Joanna.

“Terima kasih, Joanna.”balas Vivi sambil tersenyum. Vivi membungkuk sejenak, mengangkat slayer yang menutupi wajahnya dan melayangkan ciuman sayang pada pipi Joanna.

“Nanti kita ngobrol lagi ya? Sekarang Mami pergi dulu, sudah dijemput nih!” ujar Vivi. Joanna mengangguk senang mengiyakan. Vivi segera berlalu menuju mobil pengantinnya. Kali ini, ia bertemu dengan supir mobil itu yang tak lain adalah Yono.

“Wah, Neng Vivi ya? Cantik sekali, hehehe...” puji Yono sambil tertawa cengengesan.

“Terima kasih, Pak.” Jawab Vivi. Sebenarnya Vivi merasa agak jijik dan resah melihat Yono, apalagi dengan raut wajah dan sorot mata Yono yang tampak seolah hendak menelanjangi tubuh Vivi, namun Vivi tetap berusaha ramah sebisa mungkin dan menghilangkan firasat buruknya.

“Ayo, ayo Neng, silakan masuk!” Yono segera membuka pintu mobil itu dan mempersilahkan Vivi untuk masuk. Vivi mengangkat rok gaunnya dengan dibantu oleh kedua periasnya. Pintu mobil itu pun ditutup oleh Yono dan melaju membawa Vivi bersamanya.

“Neng Vivi, umurnya sekarang berapa?” tanya Yono sambil mengemudikan mobilnya.

“23, Pak...” jawab Vivi.

“Wuiih, masih muda tuh neng! Ngapain buru-buru nikah? Mendingan cari jodoh lain saja dulu, pasti banyak cowok yang mau!” ujar Yono.

“Oh ya?”

“Iya laah, saya mau kok, kalau punya istri secantik Neng Vivi, hehehe...” ujar Yono.

Vivi merasa agak risih mendengar perkataan itu, sekali lagi Vivi berusaha menghilangkan rasa tidak senangnya pada Yono dengan tersenyum kecil. Ia berusaha menganggap bahwa Yono hanya bercanda semata. Vivi pun berusaha mengalihkan perhatiannya dengan melihat pemandangan diluar dan tidak begitu menghiraukan perkataan Yono. Pemandangan jalan perumahan itu segera berganti menjadi pemandangan jalan tol, sebelum akhirnya memasuki jalan-jalan kecil dalam sebuah kompleks. Sinar matahari masih belum begitu terasa karena saat itu waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi.

CKIIIIT.... Tiba-tiba mobil pengantin itu direm mendadak.

“Aduh!” jerit Vivi saat tubuhnya terpental menghantam kursi pengemudi.

“Ada apa sih, Pak?” tanya Vivi sambil beranjak bangkit kembali ke kursi penumpang.

“Itu, neng... ada mobil di depan...” ujar Yono. Vivi menoleh keluar dan memang terdapat sebuah mobil minibus yang berhenti tepat didepan mereka.

“Kenapa tuh, Pak? Coba diklakson saja.” Saran Vivi. Namun belum sempat Yono menekan klaksonnya, sesosok wanita turun dari mobil itu. Vivi terkejut saat menyadari kalau wanita itu tak lain adalah Erny. Erny tampak tergopoh-gopoh menghampiri mobil pengantin Vivi dan mengetuk kaca mobil Vivi. Vivi segera menurunkan kaca mobilnya itu.

“Kak Erny? Ada apa? Bukannya Kakak kembali ke Bandung kemarin?” tanya Vivi terkejut.

“Vi, tolong kakak! Kakak sekarang sedang ada masalah!” ujar Erny dengan nada panik.

“Kenapa Kak? Apa yang bisa Vivi bantu?” tanya Vivi dengan penuh kecemasan.

“Tadi Joanna ditinggalkan dirumah sendirian ya?” tanya Erny. Vivi mengangguk, Joanna memang ditinggalkan karena nanti akan dijemput oleh keluarga Johan pada saat resepsi.

“Begini, Vi! Tadi subuh kakak ditelepon oleh seseorang yang mengancam mau menculik Joanna! Dia tahu kapan Joanna sendirian dirumah!”

“Hah?! Kenapa bisa begitu kak?!”

“Dia pegawai sewaan kakak untuk acara ini! Sepertinya dia sengaja melamar untuk menculik Joanna!” terang Erny. Sontak Vivi pun ikut panik setelah mendengar penjelasan Erny, Ia juga merasa bertanggung jawab karena telah meninggalkan Joanna sendirian di rumah.

“Jadi, jadi bagaimana Kak?! Apa yang bisa Vivi bantu?” tanya Vivi dengan panik.

“Vi, kamu boleh ikut dengan kakak? Kita langsung saja kembali bareng!” tanya Erny.

“Boleh kak! Vivi ikut dengan kakak!” Vivi langsung beranjak keluar dari mobilnya tanpa pikir panjang lagi karena kepanikan yang melanda pikirannya. Vivi berjalan terburu-buru menuju minibus itu, agak sulit memang, karena sepatu hak tinggi yang dikenakannya; namun Vivi tetap berusaha untuk berjalan secepat mungkin dan ia segera masuk kedalam minibus itu.

“Ayo, Pak! Bapak ikut sekalian, supaya bapak bisa menjaga kami!” pinta Erny pada Yono.

Yono juga segera keluar dari mobilnya dan menyusul Vivi kedalam minibus Erny.

Pintu mobil minibus itu ditutup dan mobil itu segera melaju, meninggalkan mobil pengantin Vivi yang diparkir ditepi jalanan tanpa seorangpun didalamnya. Vivi duduk di kursi belakang minibus itu dengan diapit oleh Erny dikanan dan Yono dikiri. Perasaan cemas menghantui pikiran Vivi, namun ada hal lain yang juga semakin membuatnya risih, yaitu Yono yang duduk disampingnya. Vivi menyadari kalau Yono sesekali memegang rok gaun pengantin Vivi dan memainkannya dengan jari tangannya yang gemuk dan hitam itu. Yono juga kepergok beberapa kali mendekatkan wajahnya didekat Vivi dan menghirup nafas sedalam mungkin, seolah meresapi wangi tubuh Vivi itu. Vivi berusaha menjauhkan diri, namun agak susah baginya karena rok gaun pengantinnya sudah cukup banyak memakan tempat akibat petticoat yang ia kenakan.

“Maaf ya, Vi. Acaramu jadi kacau begini...” tiba-tiba terdengar suara Erny yang meminta maaf pada Vivi.

“Tidak apa-apa, Kak! Yang penting Joanna selamat, semoga kita belum terlambat...” jawab Vivi.

“Aah... coba kemarin Kakak membawa Joanna bareng ke Bandung...” ujar Erny.

“Tenang Kak, saya yakin Joanna akan selamat. Yang penting sekarang kita harus tepat waktu.” ujar Vivi sambil berusaha menghibur Erny.

“Makasih ya, Vi...” jawab Erny,

Vivi mengangguk sambil tersenyum kecil untuk menenangkan Erny. Dalam hatinya, Vivi berharap agar mereka dapat sampai tepat waktu. Minibus itu pun terus dipacu dengan kecepatan tinggi melewati jalan tol. Seiring berjalannya waktu, Vivi mulai merasa agak curiga. Seingatnya, Erny tidak punya minibus, dan yang jelas minibus yang ditumpanginya tidak kelihatan seperti mobil sewaan karena tidak ada lambang perusahaan penyewaan. Lagipula, arah mobil itu seperti berputar-putar kearah yang berlawanan dari rumah Erny.

“Kak Erny, mobil ini mobilnya siapa? Vivi belum pernah melihat mobil ini sebelumnya.” Tanya Vivi.

“Oh... ini mobil keluarga di Bandung...” tutur Erny.

“Tapi kenapa pelatnya bukan pelat Bandung? Pelat mobil ini kan B, bukan D” Vivi kembali bertanya keheranan.

“Oh... itu... mobil dinas... ya! Mobil dinas keluarga kakak, soalnya dia sering ke Jakarta!” jelas Erny. Vivi mengrenyitkan dahinya sejenak, nada suara Erny seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Vivi yang sudah lama mengenal Erny tentu saja heran dengan tingkah dan kelakuan Erny tersebut.

“Pak supir, kenapa jalannya lewat tol ini, bukannya lebih cepat kalau kita ambil tol di depan?” tanya Vivi saat minibus itu kembali melenceng dari arah yang seharusnya, namun pengemudi minibus itu tidak menjawab dan merespon pertanyaan Vivi. Erny semakin khawatir dan tampak cemas

“Eh, Vi! Itu bukannya mobil Mas Johan?!” tiba-tiba Erny berseru memecah keheningan.

“Eh?! Mas Johan?” Vivi langsung mendekatkan diri ke kaca jendela minibus itu. diamatinya sejenak keadaan dijalan, namun ia tidak melihat adanya mobil milik Johan. Vivi tidak menyadari kalau Erny mengeluarkan sehelai saputangan dari dalam tasnya.

“Hmmp?” Vivi sontak terkejut saat tangan Erny membekap hidung dan mulut Vivi dengan saputangan itu.

“MMFF!! MMM!!” Vivi berusaha berontak, namun Yono dengan sigap mencengkeram kedua tangan Vivi sehingga gerakan Vivi teredam.

“Bagus, No! Tahan terus! Jangan lepaskan dia!!” perintah Erny sambil terus menekankan saputangan itu kehidung Vivi.

Perlahan-lahan, tubuh Vivi terasa lemas dan pandangannya terasa gelap. Vivi pun akhirnya berhasil terbius oleh obat bius yang dilumurkan Erny ke sapu tangan itu. Setelah memastikan kalau Vivi telah tertidur, Erny melepaskan sapu tangan itu dari wajah Vivi. Vivi pun segera jatuh rebah kedalam pelukan Yono. Yono tampak ceria saat tubuh tambunnya ditimpa oleh tubuh lembut Vivi, Ia segera memeluk Vivi yang telah tertidur itu dan meremas-remas pantat Vivi yang montok.

“Hampir saja! Iqbal, kita langsung ke tempat Aziz.” Perintah Erny. Supir minibus itu segera mengubah haluan dan berangkat menuju tempat yang disebut oleh Erny.

“Wuiih, udah cakep, lembut pula nih cewek! Enaak, dapat penganten baru.” puji Yono

“Oi, No! Jangan buru-buru kau! Aku masih belum dapat jatah cewek itu!” bentak supir minibus itu yang tak lain adalah Iqbal.

“Aah, tenang aja Bal! Aku cuma peluk-peluk saja kok! Nanti dia kita bagi rame-rame! Hmm... Wangii” jawab Yono sambil mencium aroma wangi tubuh Vivi.

“Awas kau kalau main duluan!” ancam Iqbal sambil kian memacu kencang mobilnya sementara Vivi terus tidak sadarkan diri karena terbius sepanjang perjalanan itu dan tubuhnya terus digerayangi Yono yang mencubit-cubit gemas kulit Vivi yang putih mulus. Erny sendiri sibuk mengelap keringatnya yang mengucur deras akibat ketakutan bahwa rencananya nyaris saja gagal. Saat tersadar, kepala Vivi terasa melayang-layang dan pusing sementara tubuhnya terasa lemas tanpa tenaga. Vivi berusaha bergerak, namun kedua tangannya tidak merespon sama sekali. Tangannya serasa terikat menempel jadi satu dan hanya bisa bergerak naik turun, namun kakinya masih bisa bergerak bebas. Vivi berusaha menghentakkan kakinya, ia bisa merasakan kakinya menyentuh lantai. Berarti ia dalam posisi berdiri, namun dimanakah ia sekarang?

Vivi membuka matanya perlahan, segalanya tampak kabur seperti ada embun yang menutupi permukaan matanya, namun Vivi bisa mencium bau cat dan karton yang apek disekitar tempatnya sekarang.

“Oi, si penganten kita udah bangun tuh!” sayup-sayup terdengar suara pria di telinga Vivi. Siapa? Pikir Vivi, namun ia tidak bisa melihat jelas pemandangan sekitarnya. Ia hanya bisa melihat bayangan 4 orang yang bergerak mendekatinya.

“Hehehe... bangun juga akhirnya. Udah nggak sabar aku, moga-moga dia masih perawan!” terdengar suara laki-laki lainnya yang bergema diruangan itu. Mendengar ucapan “semoga masih perawan” itu, Vivi sontak terkejut dan tubuhnya langsung diselimuti ketakutan yang mencekam. Ucapan itu hanya berarti satu hal: yaitu ia akan segera diperkosa oleh para lelaki ini!

“Siapa di sana?! Jangan mendekat!!” Vivi berteriak dengan panik, namun bayangan keempat orang itu kian mendekat, seolah mengacuhkan dirinya.

Karena merasa keselamatan dan kehormatannya kian terancam, Vivi semakin panik dan ketakutan. Kakinya segera diayunkannya dengan keras kearah bayangan orang-orang itu dengan harapan agar tendangannya itu dapat menakuti mereka. Namun usahanya sia-sia saja, selain tubuhnya yang terasa lemas, petticoat dan rok gaun Vivi kian mengurangi kekuatan tendangan Vivi. Wajar saja kalau tendangannya meleset semua. Dengan usaha keras, Vivi kembali mengayunkan tendangannya, namun kali ini malah kakinya berhasil ditangkap oleh salah satu orang-orang itu. Habislah sudah pertahanan Vivi, kini dirinya sudah mati kutu dikelilingi oleh 4 orang itu.

“Wuiih, galak juga nih cewek! Seraam... hahaha...” ejek salah satu orang-orang itu.

“Nendang angin aja luh!” ejek suara lelaki yang lain.

“Tolong... saya mohon... jangan sakiti saya!” pinta Vivi dengan putus asa.

“Lhoo... siapa bilang mau disakitin, Neng? Kita mau bikin Neng Vivi keenakan kok!” tiba-tiba terdengar suara dari belakang Vivi.

“Hegh!” Vivi terhenyak sejenak saat lehernya dicengkeram dari belakang. Sejenak terasa hembusan nafas yang memburu menyentuh permukaan kulit Vivi.

“Ah!” Vivi terkejut saat merasakan sesuatu yang lunak dan licin menyapu jenjang lehernya dari belakang dan mengoleskan cairan yang lengket dan kental ke permukaan kulit leher Vivi. Vivi akhirnya menyadari kalau saat ini ada seseorang yang menjilati lehernya itu.

“Enaak, makin nggak sabar aku! Tenang saja neng, nanti pasti neng ketagihan kok main bareng-bareng kita!” goda lelaki yang menjilati leher Vivi itu.

“Tidak... Saya tidak mau!!! TOL...”

PLAAK! Belum sempat Vivi berteriak, tiba-tiba sebuah tamparan mendarat telak di pipinya yang mulus, tak pelak, pipi yang putih mulus itu kini tampak merah merona akibat tamparan yang keras itu.

“Siapa yang suruh kamu teriak, heh?! Dasar pelacur!” tiba-tiba terdengar suara perempuan diruangan itu. Vivi tersentak, ia merasa sangat mengenali suara itu.

“Kak... Erny...?” ujar Vivi setengah tidak percaya, suara itu sekilas mirip dengan suara Erny, namun apa mungkin sosok Erny yang ia hormati dan kagumi itu rela berbuat seperti ini?

“Buta apa? Dasar wanita penggoda!” jawab suara perempuan itu.

“Waduh...waduh... tenang bu. Kayaknya Neng Vivi nggak bisa melihat kita dengan jelas, dia kan baru bangun?” ujar seorang lelaki menenangkan perempuan itu.

“Pantas aja nendangnya nggak kuat. Setengah buta ya?” gumam lelaki yang lain.

“Hmph!” gerutu perempuan itu sejenak, ia lalu berbalik arah dan mengambil sesuatu sebelum kembali mendekati Vivi dengan sesuatu ditangannya. BYUUR!

“Aah!” Vivi menjerit saat wajahnya disiram dengan air yang dingin. Perempuan itu langsung maju dan mengucek kedua kelopak mata Vivi dengan kasar.

“Nih! Bisa lihat belum kamu haah?! Bisa lihat belum?!” ujar perempuan itu penuh kegeraman.

“Jangan! Jangan! Aduh! Sakiit... Saya mohon! Hentikan!!” Vivi menjerit-jerit kesakitan karena gosokan kasar perempuan itu di kedua belah matanya.

“Udah... udah Bu! Jangan terlalu keras, nanti bisa buta Neng Vivinya!” kembali terdengar suara lelaki yang menenangkan kemarahan perempuan itu.

Perempuan itu pun menghentikan kucekannya, sementara wajah Vivi dilap pelan dengan sebuah kain yang berbau apek. Setelah wajahnya kering, Vivi kembali membuka matanya, kini pemandangan yang dilihatnya cukup jelas. Ia bisa melihat lantai semen dan rok gaunnya yang membentang beserta kedua pergelangan tangannya yang diikat menjadi satu dengan seutas tali tambang yang tampak terjulur ke atas.

Perlahan-lahan, Vivi mendongakkan kepalanya untuk melihat wujud asli keempat bayangan itu sekaligus memastikan dugaannya. Vivi benar-benar terkejut dan amat shock saat melihat Erny berdiri dihadapannya bersama 3 orang lelaki yang buruk rupa. Vivi mengenal 2 orang diantaranya, yaitu si supir mobil pengantin yang gemuk yang sekarang berada dibelakang tubuhnya dan si supir minibus beserta seorang pria lagi berada disamping Erny, yang sedang menahan kakinya namun pria ketiga yang kurus dan bertompel itu sama sekali belum pernah dilihat Vivi.

“Kak Erny? Apa ini?! Kenapa Vivi dibeginikan?” tanya Vivi setengah tidak percaya, setengah ketakutan.

“Pakai tanya lagi! Ini hukuman buat kamu, dasar pelacur!” umpat Erny.

“Apa salah Vivi kak?! Kenapa Kak Erny jadi begini?!” Vivi semakin tidak percaya dengan sikap Erny itu. Betapa tidak, Erny yang sehari-harinya begitu baik padanya, kini berubah total seperti orang lain.

“Dasar kucing garong!! Enak saja merebut suami orang! Pura-pura tidak bersalah lagi!” umpat Erny.

“Saya nggak menyangka kalau kamu bisa setega itu! Saya merawat kamu dari kecil dan ini balasannya? Hah?! Dasar wanita penggoda!!” bentak Erny penuh emosi.

Hati Vivi seketika terasa sakit tersayat-sayat saat mendengar kata-kata Erny itu. Bukan niat hatinya untuk merebut suami Erny, namun itu lebih karena pengaruh dorongan Johan yang tergila-gila padanya. Niat baiknya yang merahasiakan pendekatan-pendekatan Johan pada dirinya malah kini menjadi bumerang yang berbalik mengancam keselamatan dirinya.

“Bukan kak... itu... itu...” Vivi berusaha menjelaskan keadaannya pada Erny, namun itu malah memancing emosi Erny. Erny beranjak mendekati wajah Vivi dan PLAAK... kembali ditamparnya pipi mulus Vivi sekali lagi.

“Diam kamu! Jangan banyak alasan!! Saya bunuh kamu kalau macam-macam!!” ancam Erny.

Vivi sadar, Erny yang sekarang bukanlah Erny yang biasanya ia kenal dan ia hormati, Erny yang ada di depannya saat ini adalah seorang wanita yang terbakar dan dibutakan oleh dendam. Vivi tidak mungkin dapat mengutarakan apapun bagi Erny dalam keadaan emosi seperti ini. Tanpa bisa dicegah lagi, Vivi menitikkan air mata saat merasakan rasa pilu karena perubahan sikap sahabatnya itu.

“Maaf... Kak... Vivi minta maaf... Tolong maafin Vivi Kak...” Vivi mengiba dihadapan Erny, Vivi berharap masih ada rasa belas kasihan dari Erny. Bagaimanapun Vivi masih bisa mengerti apabila Erny marah dan hal itu tidak lebih dari kesalahpahaman semata.

“Aah, sudah! Jangan banyak bacot kau! Sekarang nurut saja atau kami main kasar!” tiba-tiba Iqbal membentak Vivi.

“Kak, Vivi mohon...”

Mendengar Vivi yang tidak menggubris ancamannya, Iqbal langsung naik pitam, ia berjalan ke arah Yono dan mendorong pria gemuk itu menjauh dari tubuh Vivi.

“AAH!” Vivi menjerit kesakitan saat sanggul rambutnya dijambak dengan kasar oleh Iqbal.

“Heh? Kau dengar tidak?! Aku suruh kau jangan banyak bacot! Mau kusuruh preman-preman lain kesini biar kau dientot lebih lama, Heh?!” bentak Iqbal ditelinga Vivi.

“A... ampun Pak... Aduh...ampun...” Vivi kembali mengaduh karena cengkeraman tangan Iqbal di rambutnya.

“Sudah! Pakai saja dia sesuka kalian!! Ajarkan dia supaya tahu diri!!” perintah Erny yang langsung ditanggapi dengan seringai ketiga pria itu. Vivi amat shock dengan sikap Erny itu. Ia masih tidak bisa mempercayai kalau wanita yang dianggapnya seperti kakaknya sendiri itu tega berbuat sekeji ini.

“Jangan Kak! Ampun! Tolong saya, jangan perkosa saya!!” Vivi menjerit-jerit ketakutan, namun sia-sia saja. Ketiga pria itu sudah keburu berada dihadapannya, sementara Erny sama sekali tidak menghiraukan jeritan dan isak tangis Vivi, ia malah duduk disebuah kursi dihadapan Vivi untuk “menonton” pelajaran yang akan diberikan ketiga pria itu bagi Vivi.

“No, tarik talinya!” Iqbal memberi perintah kepada Yono. Yono dengan cengengesan segera memutar sebuah gagang besi yang menarik tali tambang yang mengikat tangan Vivi. Otomatis, kedua tangan Vivi tertarik keatas dan tubuh Vivi ikut melayang tergantung oleh tali tambang itu. Aziz tetap menahan kaki Vivi yang tadi ditangkapnya itu.

“Aduuh! Sakit...” Vivi meringis menahan perih ditangannya karena tubuhnya tergantung dengan bertumpu pada kedua tangannya yang terikat erat pada tambang itu.

Vivi sempat mendongak keatas dan dilihatnya tali yang mengikat tangannya terpasang pada sebuah katrol besi yang ada di langit-langit ruangan itu. Ruangan itu tampak seperti sebuah gudang yang sudah lama ditinggalkan, banyak kardus karton berserakan dan beberapa kaleng cat disekitar gudang itu, apalagi dengan adanya katrol yang kini mengangkat tubuh Vivi, sudah jelas bahwa ruangan itu adalah sebuah gudang peralatan, namun Vivi sama sekali tidak tahu dimana lokasi gudang itu karena ia dibius saat dibawa ke gudang itu.

“Wah, kakinya muluus...” Vivi tersentak saat mendengar celotehan Aziz yang sedang mengagumi kakinya. Aziz mengelus sambil mengendusi betis kaki Vivi yang masih dibalut stocking putih itu. Vivi merasa jijik dengan tingkah laku Aziz itu, namun apa dayanya? Ia tidak bisa berontak sama sekali dengan keadaan tergantung seperti ini. Aziz lalu melepaskan sepatu hak tinggi putih yang masih terpasang di kaki Vivi. Dengan rakusnya, ia segera mengemut jempol kaki Vivi.

“Ah! Jangan Pak!” Vivi menjerit, namun sia-sia saja. Jempol kakinya sudah keburu berada didalam mulut Aziz. Aziz mengenyot jempol kaki Vivi dengan perlahan sambil menjilat-jilati dan mengisap tiap jari kaki Vivi, sehingga Vivi menggelinjang pelan akibat rasa geli yang melanda kaki kanannya itu. Apalagi saat Aziz sedikit menggigiti ujung-ujung jari kakinya.

“EH?!” Vivi kembali tersentak saat kedua belah payudaranya dicengkeram dari belakang oleh sepasang telapak tangan yang hitam dan gemuk. Vivi merasakan hembusan nafas yang tidak asing lagi; Vivi menoleh kebelakang dan dilihatnya Yono sedang terkekeh-kekeh.

“Ah?!” Vivi menjerit kecil saat tangan Yono meremas payudaranya.

“Hehehe... Nah, mau bagaimana nih sekarang?” gumam Yono sambil mendekatkan tubuhnya menempeli tubuh Vivi dari belakang.

“Hentikan Pak... Jangan... AW!” Vivi mengaduh kesakitan saat Yono mencubit payudaranya yang kenyal itu.

“Bego kau, No! Kalau begitu mana bisa dia keenakan?! Biar kuajarin kau!” umpat Iqbal.

Tanpa basa-basi, Iqbal langsung mengeluarkan sebilah pisau dan menebas strap bahu gaun pengantin Vivi hingga putus. Dengan gampangnya, Iqbal melorotkan bagian dada gaun pengantin Vivi, sehingga tampaklah sebuah bra berenda berwarna putih susu yang menutupi payudara Vivi. Iqbal dan Yono mengamati dada Vivi sejenak, ukurannya memang tidak terlalu besar, namun tampak sesuai dengan bentuk tubuh Vivi. Belahan dada Vivi tampak menggemaskan dan menggoda.

“Nah, diam kau! Atau kutebas kau dengan pisau ini!” ancam Iqbal. Vivi hanya bisa menjawab dengan rintihan-rintihan menahan rasa geli di kakinya akibat jilatan Aziz. Vivi tak bisa berbuat banyak karena ia tahu Iqbal adalah tipe orang yang serius dan kejam. Ia hanya bisa pasrah sesunggukan saat pisau Aziz merobek bagian tengah bra putihnya, sehingga kedua belah payudara yang putih mulus dengan puting susu yang merah muda begitu menggoda itu kini tergantung, tersaji dihadapan Aziz dan Yono.

“Nah, begini caranya!” ujar Iqbal sambil mencengkeram dada kanan Vivi dengan telapak tangannya yang berotot.

“Ah...” Vivi mendesah pelan saat Iqbal mengelus pelan payudaranya yang mulus itu, tangan Iqbal dengan pelan meraba permukaan kulit payudaranya. Bulu kuduk Vivi langsung berdiri akibat rabaan permukaan tangan Iqbal yang kasar. Iqbal sesekali menyentil puting susu Vivi dengan kukunya yang panjang, akibatnya Vivi langsung bergidik kegelian. Sesekali terdengar desahan yang tertahan dari bibir Vivi yang mengiringi isak tangisnya.

“Aakh...” Vivi langsung melenguh saat Aziz meremas dan menekan payudaranya itu. Rasanya seperti dipijat, jauh berbeda dengan remasan Yono barusan. Mungkin hal itu karena tangan Iqbal yang kekar jauh lebih bertenaga dibandingkan tangan Yono. Iqbal terus mempermainkan payudara Vivi dengan berbagai cara. Sesekali dicubitnya puting susu Vivi ataupun ditekannya keras hingga puting susu Vivi tertekan masuk seiring dengan pijatan dan remasannya di payudara Vivi.

Diperlakukan sedemikian rupa, gairah seksual Vivi mulai bangkit secara otomatis. Walaupun ia sedang terisak menangisi nasibnya, hal itu tidak mempengaruhi rasa geli dan sedikit nikmat yang mulai menjalari tubuhnya. Dadanya serasa diairi listrik yang menyengatnya dengan rasa nikmat saat Iqbal mencubiti atau menekan putingnya. Yono yang dari tadi hanya menonton, mulai tidak sabar. Katrol itu kembali diputarnya sedikit.

“Aww! Sakiit...” Vivi kembali meringis kesakitan saat tubuhnya dikatrol keatas sehingga melayang sedikit lebih tinggi.

Yono berjalan ke arah Vivi, ia lalu berdiri di hadapan dada Vivi, memang setelah tubuhnya dikatrol, kini dada Vivi tepat berada dihadapan wajah Yono. Yono bisa melihat payudara kanan Vivi yang memerah akibat pijatan Iqbal, matanya kini tertuju pada payudara kiri Vivi yang masih putih mulus.

HAPP... Tanpa banyak dikomando, Yono segera melahap payudara Vivi itu. Bibirnya melingkari puting payudara Vivi dan payudara itu dikenyotnya dengan pelan, seolah bayi yang menyusu pada ibunya saja.

To be continued…

By: Bridesexstory Team
-----------------------------
22 komentar Post your own or leave a trackback: Trackback URL
  1. joe lee mengatakan:
    Pertamax kah?
    Duh koq ceritanya nanggung amat…..
    Mudah2an kelanjutannya ngak kelamaan
    Makin berkembang neh skill penulisnya
    Lanjutkan gan!!!!
  2. pendekar_keduax mengatakan:
    nanggung bos shu ceritanya, tapi seru .. hehehehe
  3. Jacky mengatakan:
    Kerennn, ditunggu lanjutannya
  4. Bridesex Writer (BrideSS) mengatakan:
    Terima kasih buat Bro Ninja Gaijin atas idenya dalam pembuatan cerita ini, U R the best bro :D !
  5. dean winchester mengatakan:
    masih apetizer ternyata …but great , gue jadi penasaran cerita selanjutnya……
    bride story is the best….!!!!
  6. Bravo Arema Indonesia mengatakan:
    sambungan nya doong….
  7. Mr R mengatakan:
    bagus banget sis. jadi penasaran, kira2 dia hamil gak ya? trus. putingnya kok gak keluar asin ya. hehe….
  8. muphengers mengatakan:
    keliatannya gak lama kemudian si erny jd becek, trus gak tahan..akhirnya erny maksa ngikut maen..jd deh mereka di-gangbang…
  9. alvin mengatakan:
    koq telat bos shu ? cerita ini udah sekitar seminggu yg lalu di FB bridesexstory..
    update yg Slutty Wife Tia donk
  10. ahhcroot mengatakan:
    penuh dengan kekerasan ….
  11. silemot mengatakan:
    heee…. nanggung banget.. kayak mesin disel mau panas ga jadi neh…. tp bagus kok bikin penasaran kayak sinetron aja..
  12. Ninja Gaijin mengatakan:
    Bride! Makasih untuk cerita ini. Idenya dikerjakan dengan baik sekali. Tetap berkarya, kawan-kawan!
  13. Diny Yusvita mengatakan:
    Akhir2 ini apresiasi terhadap penulis sedikit sekali yah ? para pembaca kemana-kah?
  14. alonso mengatakan:
    pada nonton Piala Dunia, sis Diny ;p
  15. Matijoni mengatakan:
    Eng… Iya nih skrg begadangnya banyakan ntn depan tipi sis.. ;D
    Hmmh..
    Aku msh lbh suka sex cewek pengantin yg pertama. Ga tau kenapa emosinya dapet aja.
    Gregetan waktu terjadi perubahan karakter cewek dari nolak trus jd nurut bgt diapa2in.
    Kayaknya seleraku emang yg ada unsur submissive female, humiliation, exhibitionist, gitu2 deh.
    Tp karya2 penulis yg ini emang punya identitas tersendiri.
    Salut ama originalitasnya!
    Buat sis diny, aku suka ceritanya tp kdng kebanyakan narasi.
    Hehe… Maap yah kebanyakan depresiasi drpd apresiasinya..
  16. l lawliet mengatakan:
    nih cerita sebenarnya punya plot dan mengaduk emosi,
    tapi si penulis kurang mengeksplor emosi di kata-katanya
    no offense y^^
    sejauh ini cerita yang mengandung emosi yang kuat klo menurut w sih y punya bang pbinal : ryt series, sis diny : geisha..tpi semua cerita sis diny emang top dlam pemilihan kata-kata, dan tak lupa penulis turbo di kbb :sis yo juga selalu total lo..
    eh. btw
    sis yo kmana nii?
    jd kgen
    hehehe
  17. Laso mengatakan:
    Kok temen deket, selisih usianya jauh banget..
  18. Pendekar Maboek mengatakan:
    Bridesexstory team! Selalu masuk karya unggulan, tp ibarat menu makanan, cerita ini baru appetizer aja, ntar deh komen lengkapny kalo main course ama dessert-nya udah disajikan lengkap, biar lengkap jg menuny jd 4 sehat 5 sempurna nih he he he
  19. doujin si apatis mengatakan:
    nice story aja gan dr gw..
    sebelumnya gw mohon maap kalo cuma bisa mengkritik doang di blog ente tanpa bisa ngasih solusi, mungkin krn sifat gw yg kritis jg bro.. skrng gw bakal jd anak baik deh, ga bakal kritik2 tp cuma ngasi saran boleh ya..
    nih gw ada saran gmn kalo KBB itu update ceritanya dijadwal biar teratur, trus kalo bisa salah satu cerita diupdate tiap sabtu alias malem minggu..
    maap kalo repost ya gan, cuma sekedar saran.. diterima boleh dicuekin jg gpp :)
    viva KBB (Kisah Beauty and The Beast)
  20. juragan_gebleg mengatakan:
    setuju sm doujin.kalo bisa teratur jadwalnya,yah gpp deh nunggu 3 ato 4 hari sekali,yg penting jelas kpn keluarnya.
    Maap nih bos shu,cuma baru bisa ngasih saran.hehe
  21. hello K!tty mengatakan:
    yupp setujuh amah bang pendekar
    bagus bagus dan bagussss…^_^
  22. sandewa mengatakan:
    bukan sulap bukan sombong..!!!!
    tapi ane udah baca full version dari cerita ini..hahahahahha
    kalo banyak yg penasaran, ntar ane kasih link nya

1 komentar:

  1. Hello, just wanteԁ tο mention, I lоved thiѕ blоg post.
    It was helpful. Keep on posting!

    Also ѵіsit my homepage - Chemietoilette
    my webpage > Chemietoilette

    BalasHapus