Fanny |
Fanny adalah gadis yang paling cantik dari seluruh gadis yang ikut dalam rombongan KKN itu. Tubuhnya tinggi semampai dan padat berisi, tinggi badannya yang hampir 170 cm membuatnya tampak begitu jangkung diantara rekan-rekannya, masih ditambah bentuk tubuhnya yang begitu indah dan sekal, apalagi kalau dia sedang memakai busana ketat seperti yang biasa dipakainya, membuat bagian-bagian tubuhnya yang vital seperti dada dan pantat terlihat menonjol. Wajahnya bulat dan hidungnya mancung khas orang bule tapi berkulit kuning langsat seperti orang Asia. Hal itu bisa dimengerti karena Fanny berdarah campuran Indonesia dan Italia, sebuah perpaduan Euro Asia yang sangat menarik menghasilkan wajah yang sangat khas. Ditambah lagi rambutnya yang kecoklatan lurus sepunggung dibiarkannya tergerai. Yang paling menarik dari Fanny adalah matanya yang kehijauan. Mata itu begitu bercahaya seperti batu zamrut berkilau.
Pagi itu pondokan tempat Fanny tinggal terlihat begitu sepi, seluruh rekannya sudah berangkat untuk melakukan aktifitas, hanya Fanny yang tinggal di pondokan. Fanny yang hari itu memang tidak ada kegiatan menyibukkan dirinya dengan membaca buku novel yang sengaja dibawanya dari rumah.
Baru saja Fanny membaca bebeapa halaman ketika didengarnya ketukan di pintu depan. Fanny yang pagi itu memakai blous putih dengan rambutnya yang berkilau lurus tergerai bebas terlihat lebih cantik dari biasanya. Dia tempak sedikit heran, siapa yang sepagi ini sudah bertandang ke pondokannya. Fanny segera menuju ke depan. Tanpa disangak-sangak, di ruangan depan sudah berkumpul tujuh orang pria setengah baya. Mereka adalah Pak Kades Wirya, Sarta Sekretaris desa, Pak Jamal tuan tanah yang paling kaya di seluruh desa, Pak Hasan jawara kampung, Pak Arman Mantri hutan dan dua orang lagi, yang satu sudah tua, kurus dengan wajah pucat seperti orang sakit dikenalnya sebagai Amar, salah satu sesepuh desa. Yang duduk di sebelah Amar badannya kurus dan jangkung dengan janggut kambing. Fanny tidak tahu nama aslinya, orang desa lebih dering menyebutnya Ki Wongso, orangnya sudah tua sekali, mungkin sudah lebih dari 70 tahun, terlihat dari rambut dan janggutnya yang sudah putih semua dan giginya yang hanya tinggal beberapa gelintir.
Untuk sesaat Fanny merasa ngeri melihat ketujuh orang tua yang duduk di hadapannya itu. Tatapan mata mereka membuat Fanny merasa mereka bisa melihat menembus pakaiannya. Sorot mata mereka seperti sorot mata srigala lapar yang siap menerkam mangsanya.
“Maaf Bapak-bapak.. ada perlu apa ya..?” tanya Fanny berusaha ramah, meskipun tubuhnya mulai gelisah.
“Eh.. begini Neng.. kami ada perlu dengan Neng Fanny..” kata Pak Kades dangan nada canggung.
“Dengan saya..?” Fanny heran. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Eh.. begini Neng Fanny..” Pak Kades Wirya berujar canggung, dia terlihat gelisah, terlihat dari gerakan-gerakan tangannya yang tidak teratur. “Sebelumnya saya minta maaf karena mengganggu Neng Fanny.”
“Ada apa ya Pak..?” Agak canggung Fanny menanyakan maksud kedatangan mereka. Mereka tidak langsung menjawab melainkan saling tatap satu sama lain.
“Saya datang ke sini sebetulnya ingin membicarakan masalah desa ini pada Neng Fanny..” Kata Pak Kades.
“Kalau saya bisa Bantu, saya akan Bantu.” Fanny menjawab cepat.
“Oh.. ya.. dan memang hanya Neng Fanny saja yang bisa membantu masalah desa ini,” kata Pak Kades dengan mata menatap liar ke arah Fanny, membuat Fanny merasa grogi dan takut.
“Begini Neng, Neng Fanny tentu tahu kan, kalau desa ini memuja Dewi Kesuburan?” Tanya Pak Kades. Fanny hanya mengangguk saja, dia sudah tahu riwayat pemujaan dewi kesuburan ini sejak pertama kali menginjakkan kaki di desa ini.
“Dan apakah Neng Fanny juga tahu kalau setahun sekali Dewi Kesuburan akan turun ke desa ini dalam wujudnya sebagai seorang wanita?”
“Ya.. saya tahu,” kata Fanny sedikit jengkel. ”Tapi apa hubungannya semua itu dengan saya?”
“Yah..” Pak Kades menghela nafas sesaat. “Perlu Neng Fanny tahu, berdasarkan perhitungan dan ramalan Dukun Desa, Dewi Kesuburan Desa ntuk tahun ini adalah.. Neng Fanny sendiri.”
“Apa?” Fanny terkejut sesaat. “Tapi itu tidak mungkin..” dia tidak tahu maksud ucapan Pak Kades. Dia bahkan yakin Pak Kades baru saja bergurau.
“Betul Neng,” Amar menyela “Neng Fanny lahir tanggal 8 Mei kan..? Dan Neng punya tahi lalat di paha kiri kan? Persis seperti yang sudah diramalkan.”
“Dari mana Bapak tahu?” Fanny spontan bertanya.
“Itu tidak penting, yang jelas sekarang Neng Fanny telah terpilih sebagai Dewi kesuburan.” tandasnya lagi.
Fanny terdiam sesaat mencoba menerka maksud pembicaraan Pak Kades dan temannya, tapi dia sama sekali tidak menemukan apa-apa di kepalanya tentang dewi kesuburan ini.
Baik..” Fanny mengalah. “Katakan saya bersedia, lalu apa yang harus saya lakukan sebagai Dewi Kesuburan ini?”
Ketujuh orang itu langsung berubah ekspresi dari yang semula sopan mendadak berubah menyeringai memuakkan dan tertawa-tawa aneh begitu mendengar ucapan Fanny barusan.
“Tugas anda.. yah.. Dewi Kesuburan bertugas untuk membagikan kesuburannya pada para penduduk desa. Dewi Kesuburan adalah lambang dari lahan yang siap ditanami oleh petani. Neng Fanny sebagai lahannya dan kami petaninya.”
Seketika Fanny terperanjat mendengar tamsil yang diutarakan barusan. Kesuburan, lahan, petani, menanam benih, semuanya mendadak menjadi begitu jelas bagi Fanny.
“Ma.. maksudnya saya akan dijadikan sebagi persembahan? Begitu?” Fanny tiba-tiba berteriak. Wajahnya seketika memerah karena marah dan malu.
“Intinya, Neng Fanny harus merelakan kami menanamkan benih ke dalam tubuh Neng Fanny “ kata Pak Kades, datar. Seketika itu pula emosi Fanny, didorong oleh rasa malu dan muak, langsung meledak.
“Tidak.. aku tidak mau!” Fanny membentak marah sambil menuding. “Dasar tua bangka tidak tahu diri! Keluar kalian! Busuk kalian semua!”
Anehnya dibentak-bentak dan dicaci maki seperti itu tidak membuat ketujuh orang tua itu marah. Reaksi mereka justru berkebalikan. Mereka malah tertawa, seolah baru saja melihat sebuah pertunjukan lawak yang sangat lucu.
“Kalau Neng Fanny tidak mau ya tidak apa-apa,” Pak Kades tersenyum sinis. “Tapi saya tidak menjamin keselamatan Neng Fanny dan rekan-rekan Neng Fanny kalau nantinya warga menjadi marah dan berbuat kekerasan pada Neng Fanny.”
Fanny terperanjat mendengar ucapan Pak Kades. Kata-kata itu seperti vonis mati baginya yang langsung merontokkan ketegarannya. Seketika Fanny langsung terduduk lemas seolah tubuhnya tidak bertulang lagi.
“Jadi bagaimana Neng Fanny?” Tanya Pak Kades.”Semuanya terserah Neng Fanny lho..” ujar Pak Kades datar, nyaris tanpa ekspresi.
Fanny terdiam mendengar ucapan itu, rasa marah, malu dan jijik bercampur menjadi satu. Fanny tidak bisa membayangkan wanita yang terhormat seperti dirinya dijebak dan disudutkan dalam nasib yang sangat mengerikan bagi wanita. Dirinya tidak rela dicemari oleh orang-orang seperti mereka, tapi pada saat yang sama Fanny tahu dirinya tidak berdaya sama sekali. Dia sendirian di tempat ini, tidak ada satupun yang bisa menolongnya sekarang karena seluruh penduduk berada dalam satu pihak dengan ketujuh pemuka desa. Fanny berpikir keras mencari jalan keluar, tapi tampaknya semua buntu. Dia bisa saja melarikan diri, tapi mau lari kemana? Dia juga tidak tahu apa-apa tentang lingkungan di sekeliling desa yang sangat terisolir itu. Dan akhirnya Fanny mengambil keputusan.
“Baiklah Pak.. saya bersedia..” Fanny menjawab lirih. Tanpa sadar sebutir air mata mengalir membasahi pipinya yang putih mulus.
Ketujuh pemuka desa itu bergumam puas penuh kemenangan seolah baru saja memenangkan hadiah yang sangat besar nilainya.
“Kalau begitu Mulai hari ini sampai nanti bulan purnama penuh Neng Fanny akan tinggal di tempat yang sudah kami sediakan.” Kata Pak Kades dengan nada suara yang ditekan, berusaha terdengar wajar untuk menyembunyikan kegembiraannya.
Kemudian Fanny dibawa oleh ketujuh pemuka desa ke sebuah rumah adat di tepi hutan pinggiran desa,. Di rumah yang cukup mewah itu sudah disediakan berbagai fasilitas lengkap. Fanny diperlakukan bagai seorang ratu.sampai malam purnama penuh tiba. Dan pada malam yang sudah ditunggu-tunggu itu, Fanny dimandikan dengan air kembang yang sangat harum, tubuhnya dilulur sempurna sehingga kulitnya makin terlihat putih. Fanny juga didandani dengan bermacam perhiasan. Pergelangan tangannya dihiasi gelang emas sementara lehernya juga dilingkari kalung emas, pada dahinya terjuntai tiara emas yang dihiasi permata berwarna-warni. Akan tetapi pakaian yang dipakai Fanny sangat tidak masuk akal. Dia hanya memakai sehelai kain merah dan tipis yang diikat melingkari dadanya untuk menutupi payudaranya. Kain itu terlalu kecil dan terlalu tipis untuk bisa disebut penutup dada sehingga payudaranya yang putih terlihat menonjol sementara puting payudaranya terbayang dengan sangat jelas. Di pinggangnya terlilit kain yang dikencangkan dengan ikat pinggang emas, tapi meskipun kain itu menjuntai sampai mata kaki, kain itu terbuat Dari bahan yang sangat tipis dan tembus pandang sehingga memperlihatkan pinggul dan selangkangan Fanny yang hanya ditutupi oleh celana dalam model g-string berwarna merah. Dengan begitu pantatnya yang padat seperti tidak tertutup oleh apapun.
Fanny kemudian dibawa menuju ke sebuah pendopo besar, sebuah ruangan yang hanya terdiri dari atap dan tiang-tiang besar penyangga tanpa dinding. Pendopo itu cukup besar, hampir mirip dengan aula. Tidak ada apa-apa di pendopo itu, kecuali sebuah ranjang besar berlapis kain ungu terang dengan keharuman yang luar biasa memabukkan asap berbau kemenyan wangi yang berasal dari anglo tanah yang dipasang di keempat penjuru ranjang. Ketujuh pemuka desa yang menjemput Fanny sekarang sudah berada di situ, mereka berdiri mengelilingi ranjang dengan masing masing memakai pakaian seperti jubah berwarna putih putih.
Fanny terkesiap saat melihat ketujuh pemuka desa itu, tapi dia lebih kaget saat melihat ke arah luar pendopo, di situ sudah berkumpul hampir seluruh penduduk desa, dan kesemuanya adalah pria, semuanya bertelanjang dada, hanya memakai celana kolor panjang diikat oleh sabuk kulit besar. Fanny baru sadar kalau upacara Dewi Kesuburan hanya dihadiri oleh kaum pria. Sesaat Fanny merasakan tubuhnya menjadi kebas, membayangkan kejadian yang akan menimpanya. Fanny memejamkan mata dan menggeleng mencoba untuk mengusir ketakutannya, tapi dia tidak bisa. Kengerian luar biasa begitu kuat mencengkeramnya laksana tangan iblis yang menari-nari menghimpit seluruh tubuhnya.
Belum lagi sadar dari cengkeraman kengerian, salah satu pemuka desa menuntun Fanny untuk maju menghadapi seluruh penduduk yang hadir. Wajah-wajah mereka menampakkan gairah yang ganjil ditimpa cahaya purnama. Penerangan obor dan lampu minyak di sekelilingnya membuat siluet mengerikan, seolah sepasukan hantu yang bergerak merayap mendekati dirinya. Smentara itu Ki Wongso yang Fanny kemudian tahu adalah dukun desa mulai beranjak berdiri di sampingnya.
“Wahai penduduk desa,” Ki Wongso berteriak lantang, membuat penduduk desa serentak menatap ke arahnya.
“Malam ini adalah malam purnama ke lima, dimana malam ini adalah saat Dewi Kesuburan turun ke bumi.” Kata Ki Wongso masih dengan lantang. “Karena itulah malam ini, kupersembahkan gadis ini bagi Sang Dewi.”
Serentak penduduk desa berteriak lantang. “Terimalah persembahan kami.”
Teriakan itu diucapkan berulang berkali-kali dan menggema di segala penjuru. Suaranya bersahutan dan terdengar mengerikan. Fanny seperti mendengar lagu kematian yang dinyanyikan untuknya. Sementara itu Ki Wongso terlihat berkomat-kamit sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Suaranya seperti lebah berdengung.Sementara terlihat Amar yang dikenal sebagai tangan kanan sang dukun maju sambil membawa sebuah bokor tembaga.
“Di dalam bokor itu terdapat perlambang dari apa yang harus kami tanam tahun ini.” kata Ki Wongso. “Setiap perlambang juga melambangkan salah satu dari kami. Dan sekarang tugas Neng Fanny untuk menentukan perlambang apa yang keluar tahun ini.”
Fanny yang sudah dicekam kengerian hanya berdiri di tempatnya. Kengerian yang menyelimutinya membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ki Wongso yang tidak sabar mendorong punggung Fanny dan memaksa tangan Fanny untuk mengambil benda di dalam bokor. Fanny dengan keterpaksaan yang luar biasa, mengambil benda yang terbuat dari kepinga tembaga dari dalam bokor. Fanny tidak tahu apa artinya benda itu, dia bahkan tidak berani melihatnya. Ki Wongso kemudian mengambil perlambang itu dari tangan Fanny.
“Tujuh..” Ki Wongso mendesis sambil menyeringai. “Sebuah pertanda yang sangat baik.” katanya, disambut tawa seluruh pemuka desa.
“Neng Fanny telah memilih tujuh, itu berarti ketujuh pemimpin desalah yang akan menanamkan benih di tubuh sang dewi.”
Fanny terkesiap pucat mendengar ucapan Ki Wongso.
“Tidak Pak.. tidak mungkin..” Fanny mulai menangis, ucapan itu berarti dirinya harus merelakan dirinya disetubuhi oleh ketujuh pemuka desa itu secara sekaligus.
“Jangan Pak.. saya tidak mau..” Fanny tersedak sambil terisak tubuhnya serasa mati dengan vonis yang baru saja diterimanya, dia merasa diperlakukan lebih rendah dari pelacur yang paling hina. Dan entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba Fanny berontak dan berusaha lari.
“Tangkap dia!” perintah Ki Wongso. Amar yang paling dekat dengan Fanny, dengan kesigapan seperti seekor harimau, merendahkan badannya sambil kakinya terjulur mengait pergelangan kaki Fanny. Fanny langsung terjungkal dan tertelungkup di lantai tanah. Serentak tiga orang langsung menagkapnya dan menelikung tangannya kec belakang.
“Lepaskan!” Fanny berteriak-teriak sambil meronta-ronta mencoba membebaskan diri, tapi dia hanya seorang wanita, menghadapi tiga orang pria yang menangkapnya jelas dirinya tidak mampu berbuat banyak.
“Percuma Neng lari. Kami pasti dengan mudah bisa menangkap Neng Fanny lagi.” kata Ki Wongso kalem dengan wajah menyeringai di hadapan Fanny. Fanny dengan wajah basah oleh air mata hanya menggeleng ketakutan.Ki Wongso kemudian menjulurkan tangannya dan menekan bagian belakang lehernya dengan satu pijatan kuat. Seperti ada satu aliran listrik mengalir dari tangan Ki Wongso menyengat lehernya. Sesaat kemudian Fanny merasa tubuhnya seperti lemas tanpa daya. Karena itulah dia tidak berontak lagi saat dirinya ditarik dan dibawa ke atas ranjang. Di atas ranjang Fanny merasakan tubuhnya seolah begitu ringan seperti melayang. apakah itu pengaruh pijatan Ki Wongso di lehernya ataukah karena bau kemenyan yang begitu kental, Fanny tidak tahu, yang jelas Fanny sekarang seperti tidak punya daya apa-apa. Seolah dirinya sudah siap diperlakukan apa saja oleh siapa saja.
“Upacara segera dimulai..” kata Ki Wongso ada para penduduk. Serentak semua yang hadir di situ berdiri mendekat dan membentuk lingkaran besar yang berpusat pada ranjang tempat Fanny terbaring, sehingga apapun yang dilakukan di atas ranjang itu, semua penduduk akan bisa menyaksikannya dengan jelas. Mereka lantas melihat Ki Wongso berdiri di samping ranjang. Direbahkannya tubuh Fanny dengan posisi terlentang di atas ranjang lalu diaturnya posisi tangan dan kaki Fanny sehingga membuka ke samping seperti burung yang merentangkan sayapnya. Lalu perlahan dilepaskannya kain tipis yang melilit di pinggang Fanny sehingga hanya tersisa penutup dada dan celana dalem merah yang melekat di tubuh Fanny.
Kemudian tangan Ki Wongso mulai menari-nari di atas tubuh Fanny yang mulus itu, dan dengan satu kali sentakan, kain yang menutupi payudara Fanny langsung terlepas, membuat payudara Fanny yang liat, putih dan mulus langsung mencuat telanjang, diiringai suara tertahan para penduduk yang menyaksikannya. Kemudian tangan Ki Wongso mulai menari di bagian pinggul Fanny. Perlahan ditariknya pinggiran celana dalam Fanny, lalu celana dalam itu ditariknya sampai lepas dari selangkangan Fanny dan akhirnya terlepas dari tubuhnya. Fanny sekarang terbaring dalam keadaaan telanjang bulat di atas ranjang, menjadi bahan tontonan penduduk dan pemuka desa.
Kemudian Ki Wongso menyuruh empat orang memegangi kaki dan tangan Fanny dan merentangkannya ke samping sehingga tubuh bugil Fanny membentuk huruf X. Melihat tubuh mulus dan telanjang itu terentang tanpa daya, Ki Wongso mulai melepaskan jubah putihnya, hingga hanya tersisa celana kolor saja. Dia lalu menaiki ranjang dan berlutut di depan Fanny.
“Ck-ck-ck…benar-benar tubuh yang sempurna, putih mulus tanpa cacat,” ujar Ki Wongso, kemudian Ki Wongso mulai mendekatkan tubuhnya pada tubuh Fanny. Semakin pria itu mendekat semakin kencang pula jantung Fanny berdebar, wajahnya memerah menahan malu sambil menggigit bibir bawah.
“Ohh.. ini payudara terindah yang pernah Bapak lihat, Bapak pegang dikit ya.” Pinta Ki Wongso sambil menaruh tangannya di payudaranya.
“Ahh….” Fanny mendesis merasakan perasaan aneh karena belaian pada payudaranya, jari-jari pria itu juga memencet putingnya sehingga seperti bulu kuduknya berdiri semua.
“Eengghh..!” desisnya lebih keras ketika tangan Ki Wongso mulai meremas payudaranya. Ditekan-tekannya sepasang payudara mulus itu sambil sesekali membetot payudara itu dengan lembut. Hal itu membuat Fanny emndesah kecil, tubuhnya mendadak menegang, seperti ada sengatan listrik dari tangan Ki Wongso setiap kali tangan itu menyentuh payudaranya. Ki Wongso kemudian mulai menjilati puting payudara Fanny dengan lidahnya. Ujung lidahnya kadang menyentil-nyentil ujung puting payudara itu, sesekali Ki Wongso mengulum dan mengenyot payudara Fanny, sehingga orang tua itu terlihat seperti bayi yang sedang disusui oeh ibunya.
Fanny merasakan sentuhan tangan itu seperti membangkitkan monster birahi yang tidur di dalam tubuhnya. Seketika Fanny merasa tubuhnya seperti meremang, dia bergerak dengan gelisah dam neggelinjang tak terkendali. Sesekali kakinya menggeliat kecil seperti menahan sesuatu yang akan keluar dari dalam tubuhnya.
“Ahhhh….. Ohhhhh……….” Fanny mulai mengeluarkan desahan-desahan tertahan, dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terhanyut dalam dorongan birahinya, tapi pada saat yang bersamaan, dorongan itu begitu kuat membetot setiap simpul syarafnya membuatnya terlena. Ki Wongso tahu Fanny sudah mulai terangsang karena itu dia makin gencar melakukan serangan di setiap jengkal kemulusan tubuh Fanny. Kemudian lidah Ki Wongso menyusuri perut Fanny yang rata, terus ke bawah dan ketika sampai di daerah selangkangan Fanny Ki Wongso lalu merangkul pinggang ramping itu membawa tubuhnya lebih mendekat. Paha mulus itu lalu dia ciumi inci demi inci sementara tangannya mengelusi paha yang lain. Fanny merinding merasakan sapuan lidah dan dengusan nafas pria itu pada kulit pahanya membuat gejolak birahinya makin naik.
“Ssshhh…!” sebuah desisan keluar dari mulutnya ketika jari Ki Wongso menyentuh bagian vaginanya.
“Aahhh… aahhh… jangan !” Fanny mendesah antara menolak dan menikmati saat lidah Ki Wongso menelusuri gundukan bukit kemaluannya. Tanpa disadari kakinya melebar sehingga memberi ruang lebih luas bagi Ki Wongso untuk menjilatinya. Tubuh Fanny seperti kesetrum ketika lidah Ki Wongso yang hangat membelah bibir kemaluannya memasuki liangnya serta menari-nari di dalamnya.
Fanny semakin tak kuasa menahan kenikmatan itu, dia bergerak tak karuan akibat jilatan Ki Wongso sehingga Ki Wongso harus memegangi tubuhnya.
“Ahhhh…ahhh…oohh !” desahnya dengan tubuh bergetar merasakan lidah Ki Wongso memainkan klitorisnya.
Sementara semua mata yang menyaksikan permainan tersebut menahan nafas dan gejolak birahi mereka menyaksikan betapa tubuh yang begitu putih, mulus dan sexy milik Fanny dalam keadaan telanjang bulat sedang digeluti oleh seorang tua renta seperti Ki Wongso. Beberapa diantara mereka yang tidak tahan bahkan mulai melakukan masturbasi dengan mengocok penisnya sendiri. Fanny sendiri semula merasa malu tubuhnya yang bugil dijadikan tontonan begitu banyak orang, sekali-kalinya dia pernah telanjang dihadapan pria adalah saat bersama pacarnya, tapi pengaruh yang ditanamkan oleh Ki wongso terlanjur mencengkeram tubuhnya sangat kuat, membuat otaknya menjadi buntu, Fanny sekarang hanya bertindak berdasarkan naluri seksualnya semata.
Tidak tahan dengan serangan-serangan Ki Wongso pada daerah sensitifnya, tubuh Fanny mendadak meregang kuat, membuat empat orang yang memegangi tangan dan kakinya harus menarik kedua belah tangan dan kaki Fanny lebih kuat. Desakan dari dalam tubuhnya ditambah tarikan pada kaki dan tangannya membuat tubuh Fanny menghentak kuat di ranjang, tubuh Fanny kemudian melengkung ke atas seperti busur yang ditarik membuat payudaranya yang membukit itu makin tegak menantang.
“Ohhhkkhhhhhhhhhhhhh…. Aaaaaahhhhhh….” fanny mengejang dan mengerang keras dengan tangan dan kaki menggelepar. Dari vaginanya mengucur cairan bening, Rangsangan Ki Wongso rupanya berhasil membuat tubuh Fanny orgasme dengan begitu kuat. Tubuh Fanny menegang sesaat sebelum kembali melemas. Fanny terkapar dambil terengah-engah. Orgasme yang dialaminya begitu kuat membuat sekujur tubuhnya bermandi keringat.
Ki Wongso yang sudah bangkit pula birahinya melepaskan celana kolrnya sampai bugil. Dipermainkannya penisnya di hadapan Fanny. Dia menyuruh keempat orang yang memegangi tangan dan kaki Fany untuk melepaskannya. Keempat orang itu mundur selangkah. Ki Wongso perlahan mulai menempatkan tubuhnya di atas tubuh mulus Fanny.Tangan Ki Wongso bergerak menggenggam jari-jari lentik Fanny sehingga jari-jari mereka saling menyatu dan saling mencengkeram.
“Nah,sekarang kita mulai ya Neng..” kata Ki Wongso sambil bendaratkan sebuah ciuman di bibir Fanny dan melumat bibir lembut itu berulang-ulang. Fanny hanya menggeleng lemah sambil menangis, tapi Ki Wongso yang sudah terangsang berat tidak mempedulikan penolakan Fanny. Perlahan ditindihnya tubuh bugil Fanny yang putih mulus itu. Lalu pelan-pelan Ki Wongso menekan penisnya ke liang vagina Fanny.
“Sshhh…sakit, aahhh…!!” Fanny mengerang lirih ketika penis Ki Wongso yang besar itu menerobos vaginanya. Fanny meringis dan merintih menahan rasa sakit pada vaginanya, meskipun sudah tidak perawan lagi karena sudah beberapa kali melakukan hubungan seks dengan pacarnya, tapi kemaluannya masih sempit. Ki Wongso harus berusaha keras untuk bisa memasukkan penisnya sambil melenguh-lenguh, vagina Fanny melawan dengan liat membuat Ki Wongso makin bernafsu mendorongkan penisnya. Setelah beberapa saat menarik dan mendorong akhirnya masuklah seluruh penis itu ke vaginanya, saat itu airmata Fanny meleleh lagi merasakan sakit pada vaginanya.
“Huhh…masuk juga akhirnya, tempiknya Neng seret banget.” katanya dekat telinga Fanny. Fanny hanya menangis ketika merasakan penis Ki Wongso dirasakan memenuhi vaginanya.
Sesaat kemudian, Ki Wongso sudah menggoyangkan pinggulnya, mula-mula gerakannya perlahan, tapi makin lama kecepatannya makin meningkat. Fanny yang sebelumnya sudah mengalami orgasme benar-benar tidak kuasa menahan erangan setiap kali Ki Wongso penis Ki Wongso menghujam vaginanya. Gesekan demi gesekan yang timbul dari gesekan alat kelamin mereka menimbulkan rasa nikmat yang menjalari seluruh tubuh Fanny .
“Ohhh… aahhh… oohhh… aahhh..” Fanny mendesah-desah penuh kenikmatan setiap kali penis Ki Wongso menghentak vaginanya, gerakan Ki Wongso sendiri tidak teratur dalam menggenjot vagina Fanny, kadang pelan dan lembut, kadang begitu kasar dan cepat, tapi gerakan-gerakan liar dan tidak teratur itu justru membuat Fanny merasa makin cepat merasakan orgasmenya mendekat.
Ki Wongso meningkatkan tempo goyangannya, penis yang besar dan berurat itu menggesek dan menekan klitoris Fanny ke dalam setiap kali menghujam vaginanya. Kedua payudaranya yang membusung tegak itu ikut berguncang hebat seirama guncangan badannya. Ki Wongso meraih kedua payudara Fanny dan meremasnya dengan gemas. Sementara Fanny sekarang sudah sepenuhnya dikuasai oleh dorongan seksualnya, setiap genjotan penis Ki Wongso pada vaginanya membuatnya tersentak dan mengeluarkan desahan penuh kenikmatan, dia merasakan kenikmatan yang berbeda dari yang pernah didapatkan dari pacarnya, tanpa disadari dia juga ikut menggoyangkan pinggulnya seolah merespon gerakan Ki Wongso.
Hebatnya meskipun sudah sangat tua, tapi kemampuan Ki Wongso dalam melakukan persetubuhan ternyata sangat hebat, mungkin sebelumnya Ki Wongso sudah meminum jamu khusus sehingga membuat tahan lama, selama lebih dari limabelas menit Ki Wongso menggenjot tubuh Fanny, tapi belum ada tanda-tanda kalau dia akan selesai. Fanny yang sudah sedemikian terangsang hanya bisa melenguh dan mendesah-desah merasakan sensasinya yang setiap saat siap meledak. Dan beberapa saat kemudian tubuh Fanny kembali mengejang, tangannya yang menggengam tangan Ki Wongso menekan jari-jari keriput itu dengan kuat.
“Ohhhhkkhhhhh… Aahhhhhhhhh..!!!” Fanny mengerang keras, wajahnya merah padam, tubuhnya mengejang dan bergetar dengan kuat seolah akan melemparkan Ki Wongso dari atas tubuhnya. Sekali lagi Fanny mengalami orgasme. Ki Wongso berusaha menahan agar tidak buru-buru ejakulasi, dia menghentikan gerakannya dan membiarkan Fanny bergerak liar. Seluruh tubuh Ki Wongso juga menegang, bedanya, Ki Wongso sedang berusaha menahan ejakulasinya agar spermanya tidak buru-buru dimuntahkan.
Ki Wongso pelan-pelan merasakan tubuh Fanny kembali melemas, kemudian dia mendekap tubuh mulus itu dankembali melanjutkan genjotannya di vagina Fanny. Kali ini gerakannya lebih cepat dari sebelumnya bahkan cenderung kasar. Fanny merasakan tubuhnya sampai terbanting-banting menahan hentakan demi hentakan pada bagian bawah tubuhnya. Erangan-erangan Fanny semakin keras, badan dan kepala semakin bergoyang-goyang tidak beraturan menahan nikmat di dalam vaginanya. Kadang kala Fanny dan Ki Wongso terlibat dalam ciuman-ciuman lembut, beberapa kali bibir Fanny yang lembut itu dikulum oleh bibir Ki Wongso seolah dilekatkan oleh lem yang sangat kuat, Mata Fanny sudah sayu dan merem melek menerima kenikmatan yang rasanya tidak ada akhirnya. Badannya bergoyang erotis mengikuti setiap genjotan penis Ki Wongso pada vaginanya. Terlihat sekali Fanny sedang menikmati permainan tersebut, Fanny menjadi tidak peduli dengan sekelilingnya. Fanny sudah tidak mempedulikan lagi persetubuhannya dijadikan tontonan begitu banyak orang. Fanny sudah tidak mempedulikan lagi sorak-sorak para penduduk yang ikut menikmati adegan persetubuhannya dengan Ki Wongso. Fanny sudah sepenuhnya dikuasai oleh nafsu birahinya yang kian lama kian memuncak. Fanny menggelinjang liar dan erotis, tubuhnya dibiarkan mengikuti apa mau laki-laki tua yang sedang menyetubuhinya. Desahan dan erangannya makin liar dan meracau. Namun sekali ini laki-laki tua yang sudah sangat pengalaman itu tidak membiarkan Fanny untuk orgasme.
“Ammmpunn..egggghhh…….” erang Fanny keras mengharap orgasmenya segera datang, namun harapannya tinggal harapan, karena Ki Wongso masih ingin mempermainkan Fanny dalam waktu yang lama. Tubuh Fanny sampai mengejang-ngejang setiap kali gagal mengalami orgasme. Baru setelah lebih dari satu jam, Ki Wongso melepaskan Fanny. Seketika orgasmenya meledak dengan begitu kuat membuat tubuh Fanny melengkung mengangkat tubuh Ki Wongso yang menindihnya, kakinya menyepak-nyepak ke segala arah. Erangan yang begitu keras meluncur dari bibirnya.
“AAAAAAAHHHHHKKKKHHHH… OOOHHHHH…!!!!!” Fanny menumpahkan segenap tenaganya untuk meledakkan orgasmenya yang seolah menghancurkan tubuhnya dari dalam. Vaginanya sedemikian kuat mencengkeram penis Ki Wongso membuatnya seperti dibetot oleh tangan yang begitu kuat. Ki Wongso akhirnya tidak tahan lagi. Dengan satu dorongan keras, dilesakkannya penisnya dalam-dalam ke vagina Fanny.
“Ahhkk…” Ki Wongso mengejang tertahan, seketika spermanya menyembur membanjiri rahim Fanny. Setelah itu keduanya kembali lemas dan saling bertumpuk. Fanny membiarkan saja tubuh Ki Wongso menindih tubuhnya. Ki Wongso untuk terakhir kalinya meresapi kenikmatan tubuh Fanny dengan memeluk tubuh lembut itu, merasakan kehangatannya saat tubuh putih mulus itu menyatu dengan tubuhnya sambil sesekali mencium bibir Fanny.
Setalah Ki Wongso selesai melepaskan hasrat seksualnya, sekarang giliran Pak Kades Wirya yang akan menyetubuhi Fanny. Pak Kades yang telah telanjang bulat itu lalu menarik pinggang Fanny dan membalikkan tubuhnya, kemudian ditariknya pinggang Fanny sehingga posisi pinggang Fanny lebih tinggi dari kepalanya yang menyentuh ranjang sehingga payudara Fanny menekan ranjang dan Fanny dalam posisi menungging, kemudian Pak kades mulai melesakkan penisnya ke dalam vagina Fanny dan mulai menggenjotnya dengan kuat. Pak Kades sudah terangsang saat menyaksikan adegan persetubuhan Fanny dengan Ki Wongso merasa tidak perlu lagi pemanasan, gerakan penis Pak Kades pada vagina Fanny makin lama makin kasar sehingga Fanny menjerit-jerit dan melolong histeris, batang kemaluan Pak Kades yang berukuran besar itu mengaduk-aduk liang kemaluan Fanny yang semakin lama semakin lemas. Fanny
Tidak puas dengan gaya anjing, pak Kades membimbing Fanny untuk melakuakn gaya lain, dia duduk di atas ranjang sementara Fanny di atas pangkuannya dengan paha mengangkang dan posisi berhadapan. Dengan posisi duduk, buah dada Fanny tampak sangat menggairahkan, apalagi dengan tubuhnya yang ramping, tampak buah dadanya tergantung indah, padat dan berisi. Sambil menyetubuhi Fanny Pak Kades juga meremas-remas kedua belah payudara Fanny dengan bernafsu, kadang ia mendempetkan kedua buah dada itu lekat-lekat sehingga belahan payudara Fanny terbentuk indah di hadapannya. Semantara Fanny hanya dapat merintih-rintih dalam keadaan antara sadar dan tidak.
Sambil terus memompa Fanny, ia tertawa-tawa disaksikan teman-temannya yang tidak sabar menanti giliran, sesekali Pak Kades juga mengulum bibir Fanny dengan gemas seolah ingin menggigit bibir mungil itu kuat-kuat. Fanny benar-benar tidak berdaya, dia hanya mengikuti naluri seksualnya tanpa mempedulikan apapun lagi, karena itu ketika Pak Kades berhenti memompa Fanny, secara refleks Fanny melenguh dan mulai menggerak-gerakan pantatnya sendiri agar tetap dikocok oleh kemaluan pak Kades yang terasa sesak di vaginanya.
“Ehh.. Neng Fanny seneng ngentot juga rupanya,” Pak Kades tertawa mengejek di tengah lenguhannya. Pak kades tertawa sambil memeluk tubuh Fanny, tangannya mengelus-ngelus punggung putih mulus Fanny sementara buah dada Fanny yang kenyal terjepit di dadanya yang berbulu. Rupanya Fanny mendengar perkataan itu, wajah Fanny tampak memerah karena malu dan marah, lalu tubuhnya diam tak bereaksi, Tapi Pak Kades tidak tinggal diam, dia terus-menerus merangsang Fanny agar tetap berada dalam kendalinya. Pak Kades mencengkeram kuat-kuat kedua buah dada Fanny. Lalu dengan gerakan memutar, diremasnya payudara mulus itu dengan keras sehingga Fanny merintih-rintih antara sakit dan nikmat, sesekali pak Kades kembali menghentikan pompaannya, dan secara refleks kembali Fanny ganti menggoyangkan pantatnya maju mundur, selama beberapa saat hingga Fanny sadar dan dapat mengendalikan tubuhnya. Hal itu terjadi berkali-kali, bahkan saat pemuda itu mendorong tubuh Fanny hingga batang kemaluannya keluar dari liang kemaluan Fanny. Secara refleks diluar kemauan Fanny sendiri tubuh Fanny kembali merapat sehingga batang kemaluan itu kembali terbenam ke dalam liang vaginanya sambil kaki Fanny melipat erat seolah-olah takut lepas.
Pak Kades semakin lama tampak semakin ganas memperkosa Fanny, hingga selang beberapa saat tampak tubuh Fanny berkelonjotan dan menegang, kedua kakinya mengacung lurus dengan otot paha dan betisnya mengejang, jari-jari kakinya menutup, dan nafas Fanny tak teratur sambil terus merintih keras dan panjang. Pak Kades semakin mempercepat gerakannya hingga akhirnya membuat Fanny merintih panjang.
“Oooooohhhkkkkhh… ” seluruh tubuh Fanny menegang dan menggelinjang selama beberapa detik dan aku sadar bahwa Fanny sedang mengalami orgasme dahsyat dan kenikmatan luar biasa. Setelah berkelonjotan sesaat, tubuh Fanny tumbang dengan lemas di pelukan Pak Kades yang masih terus memompa Fanny yang telah lemas sambil tertawa senang.
“Gimana rasanya Neng? Ngomong dong..” kata Pak Kades sambil terus menydok-nyodokkan penisnya di vagina Fanny.
“Nikmaaatt eegg… .nikmaatt… … ennaaakkk… .” jawab Fanny sambil membiarkan kedua puting payudaranya dijilat dan digigit kecil oleh Pak Kades.
“Neng Fanny nggak apa-apa kan kalau Bapak menghamili Neng Fanny..?” sebuah pertanyaan aneh meluncur dari mulut pak Kades. Dalam keadaan normal Fanny tantu akan marah mendengarnya, tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, otaknya sudah tidak mampu berpikir dengan jernih. Fanny mengangguk-anggukkan kepalanya begitu saja.
“Mau Paak..! Silakan bikin Fanny hamil.. Fanny mau dihamili sama Bapakk.. eeeggghhhhh… .aagghhhhh….” jawab Fanny.
Pak kades tersenyum puas mendengar hal itu, dia membayangkan bagaimana mendapat anak dari seorang wanita cantik dan terpelajar seperti Fanny, hal itu membuatnya makin bersemangat menyetubuhi Fanny. Sampai setengah jam kemudian, setelah Fanny mengalami orgasme untuk kelima kalinya, Pak Kades melenguh dan menyemburkan spermanya ke dalam rahim Fanny.
Giliran ketiga adalah Pak Jamal. Tuan tanah yang gemuk itu sudah sedri tadi bertelanjang bulat sambil mengocok-ngocok penisnya sendiri. Begitu sampai gilirannya, dia menarik Fanny yang terbaring memaksa Fanny untuk meneggakkan badan. Kemudian dia menyodorkan penisnya ke wajah Fanny.
“Ayo Neng, sekarang Neng harus ngocokin punya Bapak.” Katanya sambil menyorongkan penisnya. “Neng doyan ngocok kan..?”
Fanny hanya diam saja, tubhnya masih belum sepenhuhnya pulih dari orgasme, karena itu dia hanya menurut saja perintah Pak Jamal, segera dilingkarkannya jeri-jari tangannya yang lentik ke penis Pak Jamal, penis itu terasa penuh dalam genggaman Fanny. Kemudian dengan gerakan lembut, fanny mulai mengocok penis itu naik turun, semula gerakannya pelan, tapi lama lama makin cepat. Pak Jamal merasakan sensasi yang berbeda pada kocokan tangan Fanny yang lembut dibandingkan dengan tangannya sendiri.
“Ohh.. emhh… yeahh… ohhh.. teruss neng.. Kocokannya Neng memang mantap.. ahhh..” Pak Jamal mulai mengerang-erang menikmati permainan jari lentik Fanny pada penisnya.
“Kocokan gadis cantik memang beda..” kata Pak Jamal sambil membelai-belai rambut Fanny. Perlahan tangannya menyusur turun menyentuh payudara Fanny dan mulai meremasinya penuh nafsu. Sentuhan dan remasan tangan Pak Jamal pada payudaranya membuat Fanny kembali terangsang gairahnya, dia makin bersemangat mengocok-ngocok penis besar dan hitam itu.
“Sekarang masukin ke mulutnya Neng Fanny..” perintah Pak Jamal. Fanny yang sudah mulai terbangkitkan gairahnya tidak malu-malu lagi. Diapun mulai memasukkan kepala penis itu ke mulutnya. Pak Jamal mendesah merasakan kehangatan mulut Fanny, sentuhan lidahnya memberi sensasi nikmat padanya.
“Eeenngghh…aahh…aahh !” terdengar desahan Pak Jamal saat penisnya sedang dikenyot-kenyot oleh Fanny. Sesekali Fanny mengeluarkan penis itu dari mulutnya untuk dikocoknya pelan, kemudian dikulumnya lagi. Penis itu semakin mengeras dan berkedut-kedut di dalam mulut Fanny. Penis yang besar mengerikan itu tidak muat seluruhnya ke dalam mulutnya yang mungil, maka sesekali Pak Jamal menekan kepalanya agar bisa masuk lebih dalam lagi.
“Lagi Neng, kurang masuk… aahhh…” demikian katanya sambil mulai mendorong-dorongkan pantatnya sehingga penisnya makin menekan mulut Fanny.
“Aggh..aggh… .” suara Fanny terdengar tersedak oleh penis Pak Jamal. Tangan Fanny berusaha menahan pinggul Pak Jamal agar Pak Jamal tidak bisa memompa penisnya ke dalam mulut Fanny.
Melihat itu, Pak Hasan yang rupanya sudah tidak tahan lagi dengan sigap bangkit dari tempatnya dan berlutut di belakang punggung Fanny.
“Sini Pak.. saya bantuin biar Neng cantik ini cepat menurut..” ujar Pak Hasan kepada Pak Jamal, yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Pak Jamal. Pak Hasan yang ada di belakang Fanny mulai menuyusupkan tangannnya ke bawah ketiak Fanny, tangan itu kemudian meraba-raba payudara Fanny dengan lembut, kemudian payudra Fanny mulai diremas-remas dan diputar-putar oleh Pak Hasan, sesakali Pak Hasan juga mencubiti kedua puting susunya dan menarik-narik puting payudara Fanny dengan jari-jari kasarnya.
Diperlakukan seperti itu, dimana Pak Jamal memompa paksa penisnya yang besar ke dalam mulut Fanny dan jari-jari Pak Hasan dengan lihainya mempermainkan kedua belah payudaranya, terlihat reaksi Fanny mulai berubah, dari yang tadinya tegang dan meronta-ronta, sekarang mulai rileks dan merima perlakuan Pak Jamal dan Pak Hasan terhadap tubuhnya yang mulus itu. Fanny mulai membuka mulutnya menyesuaikan dengan lingkar penis Pak Jamal yang sangat besar itu. Rupanya diperlakukan kasar oleh Pak Jamal dan Pak Hasan memberikan rangsangan tersendiri buat Fanny. Yang dirasakan oleh Fanny sekarang hanyalah rangsangan hebat pada sekujur tubuhnya, rasa nikmat pada vaginanya dan rasa ingin bersetubuh lagi. Tubuh Fanny mulai mengikuti gerakan Pak Jamal dan Pak Hasan, dan kepalanya tidak lagi harus dipaksa dan dipegangi oleh Pak Jamal. Sekarang malah Fanny dengan sukarela mengulum penis Pak Jamal yang besar dan menggerakkan kepalanya maju mundur melahap penis Pak Jamal.
Beberapa menit kemudian Pak Jamal menghentikan pompaan penisnya pada mulut Fanny, Pak Hasan yang ada di belakang Fanny menarik tubuh Fanny dan membaringkannya terlentang di ranjang, Pak Jamal kemudian membuka kaki Fanny lebar-lebar, sehingga posisi Fanny telentang di atas karpet dengan kaki mengangkang lebar. Semua yang hadir terkagum-kagum melihat Fanny yang sangat cantik siap untuk disetubuhi. Pak Jamal kemudian langsung menindih tubuh Fanny sambil mengarahkan penisnya yang besar itu ke vagina Fanny.
“Aagghh… ” erang Fanny ketika penis besar Pak Jamal mulai memasuki vaginanya.
Pak Jamal dengan kasar langsung memasukkan penisnya sampai mentok ke dalam vagina Fanny yang sudah basah itu. Karena besarnya diameter penis Pak Jamal, vagina Fanny terlihat tertarik dan penuh dan menjadi berbentuk bulat melingkar ketat di penis Pak Jamal.
Pak Jamal mulai memompa penisnya dengan cepat keluar masuk vagina Fanny. Fanny yang belum pernah vaginanya dipompa oleh penis sebesar penis Pak Jamal hanya bisa mengerang-erang dengan mata tertutup dan mulut sedikit terbuka.
“Aaahhhh… ooohhhh… aaahhh… oohhhh…” Fanny mendesah-desah setiap kali Pak Jamal menggenjot vaginanya sambil menggelinjang-gelinjang dan kedua tangganya meremas-remas kain seprei.
Pak Jamal semakin cepat memompa vagina Fanny dengan penisnya. Fanny tanpa sadar mengakkat kedua kakinya dan melingkarkannya di pinggang Pak Jamal memberikan kesempatan kepada Pak Jamal untuk terus memompa vaginanya dengan lebih cepat lagi.
“Aaahh…… oohhh… .” Fanny mulai meracau dengan mata tertutup dan tangannya semakin keras meremas-remas kain seprei. Semua mata yang menonton setiap adegan persetubuhan antara Fanny dan Pak Jamal melotot dan terangsang hebat melihat bagaimana seorang pria setengah baya dengan perut buncit sedang menyetubuhi seorang wanita muda yang sangat cantik.
Setelah 10 menit disetubuhi Pak Jamal, tiba-tiba badan Fanny mengejang, kedua kakinya dirapatkan menjepit pinggang Pak Jamal, tangannya memeluk erat leher Pak Jamal dan badannya terangkat cukup tinggi.
“AAAAGGHHH… … .” erang Fanny mencapai orgasme yang sangat tinggi. Kemudian badan Fanny melemah, pelukan tangannya lepas dari leher Pak Jamal, kakinya yang tadinya memeluk pinggang Pak Jamal jatuh ke karpet, vagina Fanny yang tersumpal rapat oleh penis Pak Jamal terlihat mengeluarkan cairan sampai membasahi kain seprei.
Tapi Pak Jamal belum mau cepat-cepat menyelesaikan kesenangannya. Masih dengan tubuhnya menyatu dengan tubuh mulus Fanny, Pak Jamal mendekap tubuh mulus itu dan berguling sehingga posisinya sekarang bertukar, tubuh putih Fanny sekarang berada di atas tubuh Pak Jamal dengan posisi agak melengukng karena perut Fanny tertekan oleh perut Pak Jamal yang buncit. Dengan posisi seperti itu, Pak Jamal memegang pinggang Fanny dengan kedua tangannya, lalu memaksa Fanny untuk bergerak sehingga penisnya yang masih membenam di dalam vagina Fanny kembali terkocok. Semula Fanny hanya mengikuti tarikan dan dorongan tangan Pak Jamal, tapi lama-lama, Fanny yang sudah terangsang hebat mulai menggerakkan tubuhnya sendiri sehingga saat Pak Jamal menghentikan gerakannya, secara refleks Fanny melenguh dan mulai menggerak-gerakan pantatnya sendiri agar vaginanya tetap dikocok oleh kemaluan Pak Jamal.
“Hehehehe…Neng memang gadis pintar..” Pak Jamal tertawa sambil memeluk tubuh Fanny, tangannya mengelus-ngelus punggung putih mulus Fanny. Fanny tidak mempedulikan ejekan Pak Jamal. Dia terus menggerkakan pantatnya naik turun memompa penis Pak Jamal pada vaginanya.
Mendadak Pak Hasan maju mendekat. Dipegangnya pantat Fanny sambil sesekali diremasnya bongkahan pantat yang mulus itu.
“Nggak keberatan kan Pak Jamal kalau saya ikutan?” tanya Pak Hasan sambil sibuk meremasi pantat sekal Fanny.
“Ohh.. tentu tidak Pak Hasan..” kata Pak Jamal di tengah usahanya menggagahi Fanny. Fanny terkejut ketika tangan kasar Pak Hasan membuka celah pantatnya. Sesaat kesadarannya pulih.
“jangan paakk.. ampuun.. jangan di situ..” Fanny menggeliat mencoba berontak, tapi tangan Pak Jamal segera mendekapnya dengan erat membuatnya tidak bisa bergerak dalam pelukan Pak Jamal.
“Nah… sekarang Bapak mau nyobain lubang pantatnya gadis kota..” sahut Pak Hasan sambil terkekeh-kekeh.
“Jangan Paak……” tangis Fanny mulai pecah lagi, dia tersedu-sedu merasakan tangan Pak Hasan pada pantatnya. Pak Jamal tidak membiarkan Fanny berontak, dekapannya makin erat membuat Fanny terhimpit oleh dua pria sekaligus. Pak Jamal merentangkan kedua paha Fanny sampai terbuka lebar-lebar,
“Jangan… jangan… .” tangis Fanny semakin keras.
Seakan-akan tidak mendengarkan tangisan Fanny, kemudian Pak Hasan memegang kedua bongkahan pantat Fanny dan menguakkannya ke hadapan Pak Hasan. Tarikan Pak Hasan pada pantat Fanny itu mengakibatkan lubang pantat Fanny menjadi terlihat dan sedikit terbuka seakan-akan siap menerima penis Pak Hasan yang besar.
“AAAHHHKKHHH….” Tiba-tiba terdengar jeritan Fanny. Rupanya Pak Hasan mulai memasukkan penisnya yang besar ke dalam lubang pantat Fanny.
“Jangaaan… ampuun… saaaakiiittt..” teriak Fanny ketika secara perlahan tapi pasti penis Pak Hasan masuk ke dalam lubang pantatnya.
“Uhhh… masih seret dan sempit nih..” kata Pak Hasan ketika seluruh penisnya sudah masuk ke dalam lubang pantat Fanny. Pak Hasan kemudian mengangkat pantat Fanny sedikitsehingga sekarang posisi Fanny makin menungging, di lubang pantatnya terbenam seluruh penis Pak Hasan yang besar. Untuk sesaat tidak ada pergerakan baik dari Pak Hasan, Fanny maupun Pak Jamal, mereka seakan-akan sedang berpose dalam posisi seperti itu. Rupanya Pak Hasan sedang memberikan waktu supaya Fanny terbiasa dengan keadaan dimana penis Pak Hasan yang besar didalam lubang pantat Fanny dan penis Pak Jamal berada di vaginanya.
“Aaagg… aaggghhh… ” jerit pelan Fanny ketika Pak Hasan mulai menarik penisnya secara perlahan dari lubang pantat Fanny sampai tinggal kepala penis Pak Hasan yang masih terbenam dalam lubang pantat Fanny.
“AAAAGGGHHHHHHH… ..” jerit Fanny dengan keras ketika secara tiba-tiba dan kasar Pak Hasan memasukkan kembali seluruh penisnya ke dalam lubang pantat Fanny. Sementara Pak Jamal juga mulai menggerakkan pantatnya sehingga penisnya kembali menyodok vagina Fanny. Kemudian Pak Hasan dan Pak Jamal mulai secara kompak memompa penisnya masing keluar masuk vagina dan lubang pantat Fanny.
Pompaan mereka semakin lama semakin cepat, membuat tubuh Fanny tergoncang-goncang. Kepala Fanny bergoyang tidak beraturan karena nikmat yang dirasakannya. Kedua payudara Fanny dijilati oleh Pak Jamal dari bawah. Kedua tangan Pak Jamal memainkan puting Fanny seperti orang mencari sinyal radio.
Selama hampir limabelas menit Kedua laki-laki gemuk itu menghimpit tubuh Fanny, tubuh putih mulus itu seperti daging dalam jepitan roti hamburger. Semua mata menayksikan tanpa berkedip bagaimana tubuh putih mulus Fanny terhentak-hentak di tengah jepitan Pak Jamal dan Pak Hasan.
Perlahan Pak Hasan menyusupkan tangannya di ketiak Fanny, lalu dengan sebuah sentakan, dia dan Fanny bangun dan duduk dengan punggung Fanny melekat di dadanya sementara tangan kekarnya mengunci kedua lengan Fanny, posisi ini membuat jepitan vagina Fanny pada penis Pak Jamal terlepas. Kemudian dengan gerakan pelan, Pak Hasan merebahkan dirinya terlentang, masih dengan punggung Fanny menempel di dadanya, sehingga keduanya saling bertindihan dengan posisi tubuh Fanny terlentang di atas tubuh Pak Hasan, perut gendut Pak Hasan menekan punggung Fanny sehingga dada Fanny melengkung ke depan, membuat payudaranya mencuat menggemaskan sementara penis Pak Hasan mesih membenam di anus Fanny.
Dengan posisi demikian, Pak Jamal jadi lebih leluasa, dia kemudian memegangi pergelangan kaki Fanny, lalu kedua belah kaki Fanny diangkatnya tinggi tinggi ke udara dan dibentangkannya ke samping, sehingga membentuk huruf V. Posisi itu membuat liang vaginanya membuka. Tanpa menunggu lebih lama, Pak Jamal kembali melesakkan penisnya ke dalam liang vagian Fanny. Dan kembali tubuh mulus Fanny digenjot oleh kedua laki-laki gendut itu dari dua arah.
Genjotan demi genjotan penis kedua laki-laki itu pada anus dan vagiinanya benar-benar memaksa Fanny untuk kembali mengalami orgasme, tubuhnya mengejang-ngejang kuat, kedua tangan dan kakinya kembali meronta-ronta liar. Tapi kedua laki-laki itu tidak ingin Fanny terlalu cepat mencapai klimaksnya, sedapat mungkin mereka menahan agar Fanny tidak buru-buru mencapai orgasme. Selama hampir satu jam mereka menyetubuhi Fanny, tubuh mulus itu benar-benar sudah kepayahan, berulangkali orgasmenya tertahan membuat wajah Fanny memerah seolah akan meledak. Fanny berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali orgasme tapi selalu bisa dicegah.
‘Ohhgghhh… amm.. puunn. Paakk… oohh.. amm.. puuunnn.. sudaaah… oohh.. nggak tahaaaannn… ahhh.. mau sampai… ahh.. mau sampai…” Fanny merintih-rintih putus asa di tengah usahanya untuk bisa orgasme. Pak Jamal dan Pak Hasan tertawa-tawa mendengar rintihan Fanny yang tidak ubahnya seperti pelacur saja.
“Mau konak ya Neng.. tunggu bentar lagi.. Bapak belum puas..” kata Pak Jamal di telinga Fanny, keduanya terus-menerus menggenjot Fanny yang sudah lemas. Tubuh fanny sekarang tidak ubahnya sebuah boneka kain yang terhentak-hentak dalam himpitan dua laki-laki tua yang sedang menyetubuhinya. Mata Fanny sudah sayu dan merem melek menerima kenikmatan yang rasanya tidak ada akhirnya. Badannya bergoyang erotis mengikuti sodokan penis kedua laki-laki tua itu pada vagina dan pantatnya.
Terlihat sekali Fanny sedang menikmati permainan tersebut, Fanny menjadi tidak peduli dengan sekelilingnya. Fanny sudah tidak mempedulikan lagi suara-suara desahan tertahan dari penonton yang ikut terangsang menyaksikan adegan persetubuhannya dengan dua laki-laki sekaligus. Fanny berada di dunianya sendiri, tubuhnya sudah sepenuhnya dikuasai dorongan seksual. Fanny menggelinjang liar dan erotis, tubuhnya dibiarkan mengikuti apa maunya kedua laki-laki tua itu. Banyak dari penonton yang beronani sampai menyemburkan spermanya di tempat karena tidak tahan menyaksikan tubuh yang begitu putih, mulus dan sexy itu dihimpit dua tubuh laki-laki tua berbadan gemuk dan hitam.
Setelah lebih dari satu jam dikerjai sedemikian rupa, akhirnya ketiganya tidak tahan lagi. Fanny lah yang pertama kali mencapai puncak orgasmenya. Tubuhnya mengejang luar biasa keras sambil kakinya menyentak-nyentak ke samping seperti kuda liar, tubuhnya melengkung seperti mendorong tubuh Pak Jamal yang berada di atasnya.
“Aaaahhhhhkkhhhh… Oohhhhhhhh…!!!” Fanny mengerang keras sambil tubuhnya menegang keras bagaikan patung batu, tangannya mengepal kuat-kuat, kepalanya sampai terdongak menengadah. Dari vaginanya kembali mengucur deras cairan kewanitaannya. Pada saat yang bersamaan Pak jamal dan pak Hasan juga mengejang. Keduanya menekan keras penis mereka kuat-kuat ke dalam vagina dan lubang pantat Fanny.
“Ohhhhkk… Ahhh…” Diiringi desa penuh kenikmatan, Pak Jamal dan Pak Hasan menyemburkan sperma mereka ke dalam vagina dan anus Fanny, ketiganya mencapai puncak orgasme mereka secara hampir bersamaan.
Tubuh fanny tergolek lemas di atas ranjang, setelah disetubuhi oleh tiga orang, tenaganya benar-benar habis. Fanny merasa seluruh tulang di tubuhnya seperti rontok dari sendinya, badannya terasa sakit skali, seolah baru saja dilindas oleh rombongan gajah. Pada saat itu, Ki Wongso, yang sekarang memakai kembali celana kolornya, mendekati Fanny yang terkapar leas sambil membawa sebuah piala perak berisi cairan hijau kental. Ki Wongso menegakkan tubuh Fanny dan menyodorkan piala itu ke bibir Fanny. Fanny dipaksa menelan cairan hijau aneh tersebut. Tenggorokan Fanny seperti terbakar oleh rasa pahit yang begitu pekat. Dia ingin memuntahkan kembali cairan itu, tapi Ki Wongso memaksanya menelan cairan itu.
Dan entah apa isi piala itu, tapi pengaruhnya sangat besar pada diri Fanny. Tubuh Fanny seolah dialiri sebuah tenaga tambahan yang begitu menggelora, seperti ada yang baru saja menyalakan mesin pendorong dalam tubuhnya, tubuh Fanny langsung segar dan bersemangat. Matanya yang tadi begitu sayu sekarang kembali bersinar. Fanny juga merasakan detak jantungnya bertambah cepat dan tubuhnya kembali menghangat seperti ada api yang menyala di dalam tubuhnya. Perlahan nafasnya mulai tersengal-sengal dan wajahnya mulai memerah. Fanny merasakan vaginanya kembali berdenyut-denyut, desakan seksualnya secara mendadak meledak lagi, dibangkitkan oleh cairan yang baru saja diminumnya.
Seketika Fanny mulai mendesah-desah dan berkeringat, gerakannya mendadak menjadi gelisah, Fanny perlahan mulai meremasi payudaranya sendiri dengan gerakan lembut.
“Ohh… ohh… ahh…” Fanny mengerang-erang lirih sambil terus meremasi payudaranya sendiri, kemudian dia juga mengelus-elus vaginanya, jari-jari tangannya dimasukan ke liang vaginanya sendiri dan mengaduk-aduk liang vagina itu sambil seskali mendesah dan mengerang. Melihat hal itu, Amar yang sudah terangsang berat naik ke atas ranjang.
“Ohh.. daripada Neng main sendirian, Neng main sama kita-kita yuk..” kata Amar sambil melepaskan celana kolornya. Seketika penisnya yang sudah sejak tadi tegang langsung menjulur keluar. Fanny yang terangsang berat tanpa ragu-ragu memegang penis itu dan mengocoknya dengan lembut. Sesekali penis Amar yang juga besar itu dijilatinya seperti sedang menjilati es krim, kemudian Fanny membuka mulutnya dan mengulum penis Amar yang berurat itu. Fanny menggoyangkan kepalanya maju mundur membuat penis Amar terkocok di dalam mulutnya.
“Ohh.. yeahh… ahhh.. teruss Neng.. ahhh… oohh..” Amar mengerang merasakan kenikmatan kuluman dan kenyotan bibir Fanny pada penisnya. Serentak, Pak Sarta Sekretaris Desa dan Pak Arman si mantri hutan ikut naik ke atas ranjang, masing-masing membuka celananya dan menyorongkan penisnya ke wajah Fanny tiga batang penis besar dan legam menjulur di wajah Fanny seperti senapan yang siap ditembakkan. Fanny yang sangat trangsang akibat pengaruh cairan hijau yang diminumnya segera meraih penis-penis itu. Penis Amar ada di dalam mulutnya, penis Pak Sarta dalam genggaman dan kocokan tangan kanan sedangkan penis Pak Arman dikocoknya dengan tangan kiri. Fanny sekarang benar-benar sibuk melayani ketiga batang penis dengan mulut dan tangannya, secara bergantian dikulumnya penis-penis itu dengan mulut mungilnya sambil tangannya tetap mengocok ketiga penis itu bersamaan. Pak Sarta, Amar dan Pak Arman melenguh-lenguh penuh kenikmatan mendapatkan pelayanan tangan dan bibir Fanny.
Kemudian Pak Arman yang penisnya paling besar diantara mereka bertiga mundur, dia menempatkan diri di belakang Fanny. Dia menyuruh Fanny untuk menunggingkan pantatnya sementara tangan dan mulutnya tetap sibuk mengocok dan mengulum penis Amar dan Pak Sarta. Posisi Fanny sekarang seperti merangkak dengan bertumpu pada lutut dan sebelah tangannya sedangkan tangan satunya lagi sibuk mengocok penis Pak Sarta dan bibirnya sibuk mengulum dan mengenyot penis Amar. Sambil mengocok dan mengngulum penis Pak Sarta dan Amar, Fanny merasa ada sesuatu yang basah di bawah sana, ternyata Pak arman sedang menjilati bongkahan pantatnya yang putih dan montok. Tubuh Fanny menggelinjang, apalagi waktu jari-jari tanagn Pak Arman bermain dengan vaginanya, setiap sentuhan jari pak Arman pada vagina Fanny membuatnya semakin terangsang.
Tiba-tiba Fanny menghentikan kuluman dan kocokannya pada penis Amar dan Pak Sarta sambil mengerang tertahan, dia lepaskan sejenak penis Pak Sarta dari mulutnya. Wajahnya meringis karena di belakang sana Pak Arman mendorongkan penisnya yang besar dan legam ke vaginanya.
“Aaahhh… oooohhh… oohh…!!” rintihnya dengan menengok ke belakang melihat penis itu pelan-pelan memasuki vaginanya. Fanny merasakan vaginanya penuh sesak oleh penis itu, benda itu bahkan menyentuh dinding rahimnya. Setalah diam beberapa saat, Pak Arman mulai menggenjot penisnya dengan cepat keluar masuk vagina Fanny. Fanny yang belum pernah vaginanya digenjot oleh penis sebesar penis Pak Arman hanya bisa mengerang-erang dengan mata tertutup dan mulut sedikit terbuka.
“Aaahhhh… Oohhhhhhh…. Ahhhh…..” Fanny mendesah-desah penuh nikmat sambil menggelinjang-gelinjang dan kedua tangganya meremas-remas kain seprei. Pak Arman semakin cepat memompa vagina Fanny dengan penisnya. Sementra Pak Sarta dan Amar kmbali menyodorkan penisnya untuk dikocok dan dikenyot lagi oleh fanny. Dari belakang Pak Arman menggenjot vaginanya, sedangkan dari depan, sepasang penis besar mendesak-desak di dalam mulutnya secara bergantian.
Setelah sepuluh menit pak Arman menggenjot vagina Fanny, dia memberikan isyarat untuk berganti posisi. Sekarang gliran Pak Sarta yang menyodok-nyodok vagina Fanny dengan penisnya. Pak Arman memompa vagina Fanny dengan kasar dan dalam tempo yang cepat.
“Aaaaghh… egghhhh……” teriak Fanny mendapat perlakuan kasar dari Pak Sarta, tapi Amar dan Pak arman segera menyumbat mulut Fanny dengan penis mereka, membuat desahan dan rintihan Fanny hanya berupa gumaman-gumaman tidak jelas. Mendengar Fanny merintih-rintih seperti itu justru membuat Pak Sarta malah semakin bersemangat dan semakin keras menggenjot vagina Fanny dengan penisnya dari belakang. Tangan Pak sarta memegang pinggang Fanny dan mulai menarik maju mundur badan Fanny, sehingga pompaan penisnya dalam vagina Fanny semakin keras dan cepat. Badan Fanny maju mundur mengikuti pompaan keras penis Pak Arman. Setiap kali Pak Arman memasukkan penisnya sampai mentok ke vagina Fanny, terdengar teriakan Fanny yang teredam oleh sumpalan penis Pak Arman dan Amar.
“MHGHH… ..MMHHHH… .OGHHH… ” suara erangan Fanny teredam oleh penis yang memenuhi mulutnya. Semakin cepat Pak Sarta memompa penisnya semakin cepat dan keras erangan Fanny. Sepuluh menit kemudian mereka kembali bertukar posisi, kali ini Amar yang kebagian jatah menggenjot vagina Fanny. Amar menggenjot tubuh Fanny dengan tidak kalah brutalnya membuat tubuh mulus itu terhentak-hentak ke depan. Dan begitu seterusnya setiap sepuluh menit sekali meeka berganti posisi.
Karena terus menerus berganti-ganti posisi, maka mereka bertiga bisa bertahan sangat lama, entah berapa kali Fanny mengelepar-gelepar merasakan orgasmenya yang meledak berulang-ulang, tapi ketiga laki-laki tua itu seolah tidak akan berhenti menggenjot tubuhnya dari depan maupun belakang. Fanny merasa seperti sedang diperkosa oleh satu kompi tentara yang tidak pernah berhenti menggilir tubuhnya. Tiga jam lebih Pak Arman, Pak sarta dan Amar menyetubuhi Fanny, membuat tubuh Fanny tidak kuasa lagi bergerak, dia hanya mengikuti irama setiap genjotan pada tubuhnya tanpa daya, sementara orgasmenya entah sudah berapa kali terjadi. Perkosaan itu baru berakhir setelah keiga pria itu merasa benar-benar puas, mereka lalu menyemprotkan spermanya di dalam rahim Fanny secara bergantian.
Tidak terasa hampir enam jam lamanya Fanny disetubuhi secara non stop oleh tujuh orang sekaligus. Tubuhnya serasa sudah mati, hanya rintihan lirih yang keluar dari bibir Fanny sementara dia hanya bisa terbaring di ranjang dengan lemas. Fann pun tidak mampu berbuat apa-apa ketika Ki Wongso mengumumkan, bagi siapapun yang tidak bisa menahan nafsunya dibolehkan untuk menyemprotkan spermanya ke tubuh Fanny ang terbaring telanjang. Maka berbondong-bondong, ratusan warga desa yag memang sejak tadi tidak kuat menahan eakulasinya secara bergantian mengocok-ngocok penis mereka di atas tubuh Fanny, lalu mereka menyemprotkan spermanya ke sekujur tubuh Fanny, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Setelah selesai acara persembahan itu, tubuh Fany sudah benar-benar tidak berdaya, sekujur tubuhnya yang putih mulus dan telanjang itu penuh berlumuran sperma, seolah Fanny baru saja mandi sperma. Upacara baru benar-benar selesai mejelang matahari terbit. Fanny hanya bisa menangis setelah kesadaranya kebali pulih. Penderitaan yang dialaminya semalam telah menghancurkan dirinya luar dalam, dia merasa benar-benar hina, lebih hina dari pelacur yang pling rendah, apalagi ketika teringta berapa banyak sperma yang disemprotkan ke dalam rahimnya, Fanny merinding dengan kemungkinan dirinya akan hamil mengingat malam itu adalah masa suburnya. Kalau dirinya hamil, dia tidak pernah tahu siapa yang menghamilinya diantara ketujuh pemuka desa itu.
------------------
4 Tanggapan ke “Malapetaka KKN VI : Gadis Persembahan”
- Oke banget cerita nya
- di/pada Juli 14, 2008 pada 2:53 pm samuel da costawah enaakk…… bener tuh para pemuka desanya ……….
emang beruuntung tuh orang……
yah,,,,,. seru nih ceritanya……,,,,,,,,,,,, - di/pada Juli 30, 2008 pada 8:56 am rikkomantap neh jangan diselesaiin dulu dong serinya
final gang bang donk…
fanny, lia n bella digarap beberapa pria
pasti keren … - di/pada Januari 2, 2009 pada 6:53 am BastionWah, nanggung amat ya….???
Harusnya sekalian diterusin, ini jadinya si Fanny akhirnya hamil apa kagak. Tapi bagus kalo hamil, terus ngelahirin anak di desa itu tapi enggak jelas benih siapa yang menghamilinya, karena bukan cuma malam itu saja ia disetubuhi ketujuh pemuka desa, tapi tiap malam terus-terusan. Jadinya setelah Fanny lulus kuliah, ada kenang-kenangannya, yaitu anak (-anak)nya hasil tiap hari ia disetubuhi oleh para pemuka desa. Ada 3 orang misalnya, tiap orang anak dari benih yang berbeda. Kan asyik banget tuh….. - andi
om shu , yang the legend continuesnya dong cepet di post !!!!
ada lanjutanya gak nih
BalasHapus